Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Luar

3 Januari 2023   06:30 Diperbarui: 3 Januari 2023   06:32 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun membebaskan.

Aku tidak berpikir, hanya lari. Melompati akar-akar yang berbonggol-bonggol dan menenun di antara batang-batang yang lebar dan retak. Tanah yang lembut melindungi kakiku, seolah-olah jalan setapak pun ingin menjagaku.

Dedaunan dan lumpur licin terasa di bawah kakiku, tapi aku tak takut. Momentum mendorongku ke depan. Jantungku berpacu, tapi bukan sebagai protes. Dia juga berteriak, "Aku hidup!" dan bergaung di antara pepohonan.

Aku melambat dan berhenti saat mencapai sungai. Airnya tinggi setelah hujan, dan tepian yang aku tahu terendam. Pohon-pohon di sini lebih muda. Kulit kayunya halus, batangnya lebih tipis dari pergelangan tanganku.

Pohon-pohon muda bersandar ke air, ke celah dedaunan dan janji akan cahaya. Aku mengangkat celanaku yang bernoda berlumpur dan mengambil jalan menuruni lereng menuju air. Arus dingin mengejutkanku. Aku menarik napas tajam, dan mataku terbuka semakin lebar.

Kakiku menjadi terbiasa dengan dingin saat aku berjalan ke hilir. Bebatuan halus dan bulat di atas kerikil halus. Arus di belakang pergelangan kaki memercik ke betis. Aku melepaskan celana dan kelimannya jatuh ke air. Kain yang basah kuyup menempel di kakiku, dan rasanya konyol bahwa aku memakainya sejak semalam. Air membasuh lumpur yang paling parah, hanya menyisakan noda tanah merah.

Aku memejamkan mata dan memalingkan wajahku ke langit. Kabut menempel di kulitku, awalnya tak terasa, dan kemudian tetesan air mulai berjatuhan.

Tik. Tik.

Hujan menerpa dedaunan dan juga aku, lalu semakin banyak dengan manik-manik yang berat.

Aku tetap berdiri di tengah arus, membiarkan hatiku bebas, membiarkan arus membasuh semua yang menahanku.

Aku terbuka untuk sesuatu yang baru dan tidak dikenal. Sudah waktunya untuk melepaskan masa lalu, rasa sakit, trauma. Sudah waktunya untuk mengambil tanggung jawab yang aku mampu dan bergerak maju, meskipun jalannya berkabut. Bahkan jika airnya lebih dalam dari yang disangka, bahkan jika itu adalah langkah berbatu menuju masa depan yang tidak pasti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun