Saat memasuki ruang kerja Tuan Joko Seng, seperti biasa aku berpikir bahwa tempat ini sungguh tak layak menjadi pusat berbagai misi rahasia yang sering berujung pada kematian yang mengerikan.
Tinggi dan luas dengan lantai marmer impor dan rak buku yang dipasang di dinding. Beberapa sofa santai berlapis kulit ditempatkan secara strategis di sekeliling meja modern dengan telepon antik bergagang emas.
Di belakang meja, duduk seorang pria berusia awal lima puluhan. Penampilan rapi, mengenakan setelan abu-abu gelap yang pas dan tidak mencolok. Sepintas mirip pengusaha sukses. Baru setelah dia berbicara, orang-orang akan menyadari bahwa Joko Seng memiliki kualitas tertentu yang akan terbuang sia-sia di dunia bisnis dan perdagangan.
Dia bangkit ketika aku masuk melewati pintu, mengangguk dan tersenyum ramah penuh welas asih, dan memberi isyarat agar aku duduk. Aku memilih duduk di kursi yang paling dekat dengan pintu.
Joko Seng mengaggukkan kepalanya ke arah seorang pria yang sedang bersantai di salah satu kursi kulit di dekat jendela.
"Aku ingin kamu berkenalan dengan Prima Dasa, Han. Dia akan menjadi rekanmu dalam kasus ini".
Joko melemparkan pandangan geli pada pria itu. "Dia tidak sepenuhnya percaya kalau kita punya kasus sama sekali. Atau apakah sinisme hanya untuk menutupi bahwa tak malas menangani kasus, Prim?'
Prima tersenyum sinis. "Malas, Bos? Seperti yang dikatakan Konfusius 'Jalan dibangun untuk pejalan kaki bukan sebagai tujuan.' Bagaimana wanita bisa berjalan jauh dengan dengan hak stiletto akan selalu menjadi misteri bagiku."
Dia berdiri dan menggenggam tanganku dengan erat. "Apakah kau tahu berapa banyak museum yang ada di Shanghai, Han?"
Aku tersenyum tanpa menjawab pertanyaan semacam itu, dan dia kembali duduk di kursinya.