Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas-Tak-Bertuan (IX)

18 November 2022   18:00 Diperbarui: 18 November 2022   18:02 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Alira menyesap lebih banyak lagi tuak, memejamkan matanya saat alkohol mencambuk ujung sarafnya. Ujung jarinya yang berkeringat menelusuri permukaan meja yang bersih melukiskan pola abstrak, meninggalkan jejak berminyak. Malin dengan cepat menghapusnya secepat dia menggambarnya.

"Kekuasaan keluargaku atas lembah semakin menguat. Kami memperoleh keuntungan, tetapi di sekitar kami dunia menjadi kacau. Rupa pegunungan berubah, kurang bergerigi, lebih rendah, lebih gelap. Kami ingin tahu apa yang dilakukan para pedagang di atas sana. Kelompok yang terdiri dari lima puluh orang dari kami pergi mengadakan tamasya ke gunung. Para pedagang menambang kekayaan mereka di lubang yang dalam dan redup, menggali pegunungan. Kami menemukan mereka, sibuk mencari kekayaan, begitu yang semua mereka katakan padaku. Mereka memaksa kami untuk tinggal. Memaksa kami untuk bergabung dengan Bayangan. Makhluk yang di sana." Dia mengacungkan ibu jarinya ke pojok terdekat.

Bayangan gelap pekat semakin mendekat. "Pernahkah kalian mendengar tentang mereka? Mereka telah mencari mitra selama beberapa dasawarsa. Bayangan tidak bisa hidup sendiri. Apakah kalian tahu itu? Mereka menemukan kami, Manusia Air. Mereka memberi akibat efek buruk. Keinginan-keinginan yang lebih gelap, hasrat-hasratku yang tergelap lepas dan mengambil alih setiap pikiran dan tindakanku. Lebih gelap dari yang bisa dilakukan seorang Manusia Air sendirian."

Malin menarik-narik sabuk tali yang menahan celananya. Badannya bergoyang-goyang, mencoba mengabaikan bayang-bayang gelap di kedainya yang berputar-putar. Dia berusaha menelan kegelisahan dan menyesuaikan lampu di atas meja untuk menerangi sudut-sudut.

Si Gadis Insang terkekeh. "Begitulah caranya, peramu tuak. Begitulah caranya. Cahaya tidak akan banyak membantu. Lihat saja. Aku mengejar keuntungan sebanyak banyaknya dengan menggali batu dan bongkah cadas di pegunungan. Tidak peduli seberapa kerasnya, cangkul dan beliung akan menembus ke dalamnya. Aku mengambil apa yang menjadi milikku. Keserakahan menggerogotiku. Dia yang menjadi suamiku sangat menginginkannya. Saat itulah dia mengawiniku, Dia tidak harus menikahiku, tetapi dia melakukannya. Dan ternyata dia cukup pantas untuk emndapatkanku. Kami menjadi pasangan yang kompak, mengumpulkan lebih banyak Bayangan, menggali lebih dalam dan lebih dalam lagi, bergelimpangan zamrud dan mirah delima. Batu mulia. Hidup kami menjadi lebih baik. Untuk sementara. Bayangan menopang kami semua, tetapi akhirnya kami jatuh ke hal-hal yang suram itu. Mereka juga menginginkan sesuatu, hal-hal yang jauh di lubuk hati yang tak seorang manusia air pun ingin mendatanginya. Tempat-tempat yang kami berusaha keras untuk menjauhinya. Tetapi mereka tidak mengizinkan kami."

Kegelapan beringsut lebih dekat, lebih berani. Salah satu sisi dinding kedai Malin hilang, dicerna warna hitam pekat. Apapun itu, mereka gembira dengan cerita Alira, membuat Malin membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kamu sudah selesai?" Dia menambahkan lampu.

Tertawa, Alira menggelengkan kepalanya.

"Gunung yang berubah karena penambangan mempengaruhi cuaca dan lembah. Kegelapan tumpah ke dalamnya, mengambil alih keluargaku yang masih berada di sana. Nafsu paling purba kami dilepaskan. Kami tidak bisa berhenti. Kegelapan di Werlang mendorong keluar sifat hewani kita. Tidak akan membiarkan kita berhenti. Berakar dalam diriku tidak pernah lepas lagi. Ketenangan, kewarasan di lembah tenggelam dalam banjir bayang-bayang."

Gumpalan hitam terlepas dari dinding, menyusut di lantai. Lalu meluncur ke atas kursi si Gadis Air dan melingkar di pangkuannya. Alira membelainya tanpa sadar saat dia melanjutkan, "Saat itulah perang saudara dimulai, ketika siang berubah menjadi malam. Tanpa senjata. Kami menggunakan apa saja, batu, cangkul atau beliung. Ibuku, abangku, kakak dan adikku menguasai lembah. Bapakku, suamiku, dan aku memerintah gunung. Tidak ada yang bisa melepaskannya. Kaum Bayangan semakin kuat. Lembah terpapar lebar menjadi gurun tandus. Gunung-gunung runtuh karena begitu banyak terowongan yang digali untuk mengambil batu mulia telah melemahkan ketahanan, meledak menjadi puing-puing. Di lembah lebih buruk. Ganggang darat tak lagi tumbuh. Kelaparan menghabiskan kami yang serakah dan rakus, tetapi tidak mengakhirinya."

Bayangan itu melingkari pergelangan tangannya. Dia mendesis. "Kami terus berjuang. Kecenderungan amoral menelan dunia yang semakin gelap. Bayangan kejahatan yang kita buat sendiri, Kegelapan memanjat keluar cermin dari sisi lain alam semesta. Bayangan itu menyebar."

BERSAMBUNG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun