Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas-Tak-Bertuan (VII)

16 November 2022   16:30 Diperbarui: 16 November 2022   16:28 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Angin dingin bertiup menampar punggung Malin bagai sebuah peringatan. Embusan kencang menerpa menerobos pintu, menggetarkan udara pengap dan bayangan yang teronggok di pojok.

Satu makhluk kecil kurus datang bersama angin. Angin yang bertiup berikutnya sedikit lebih kencang, mengancam akan menerbangkannya hingga ke Tiluwaskita.

Jubah kedodoran menyembunyikan separuh wajah Lalika dan membungkus tubuhnya hingga melewati jari kakinya. Malin tahu itu Lalika dari ukurannya dan busana luarnya yang besar dan unik, yang lebih pantas disebut karung pembungkus manusia, penuh tambal sulam dari berbagai warna dan kain.

Lalika benar-benar serupa ulat dalam kepompong. Dia tidak pernah suka berhadapan dengan dunia.

Ketika pertama kali tiba di Pelabuhan Langkaseh, butuh waktu hampir enam purnama untuk membuatnya mengucapkan sepatah kata dan menatap mata Malin, dan sejak saat itu dia bekerja dan tinggal di kedainya.

Kedua tangannya yang mungil disimpan dalam lengan bajunya, dan wajah bagian bawahnya selalu disembunyikan leh kerah tinggi. Main sempat berpikir bahwa memang pikir mulut dan dagu Lalika tak berkembang seperti lengannya, tapi itu tidak menghentikan Malin untuk merasakan kasihan padanya.

Malin melambaikan tangannya. "Bawakan sesuatu untukku?"

Gadis itu terhuyung-huyung menyeret tapak kakinya sampai dia tidak bisa bergerak lebih dekat ke Malin karena meja peramu menghalangi. Tangannya yang kapalan mencabut beberapa sayuran dari kantong jubahnya. “Kem-kembang ke-kol. Cuaca tak ba-bagus.” Kalimat yang keluar sudah terlalu panjang untuk Lalika.

Malin memeriksa rambut pendek dan kasar penuh debu yang mencuat ke segala arah dan mata hijau berair untuk menentukan apakah gadis itu baik-baik saja. Berbedak debu dan pasir, tetapi tidak lebih dari itu.

Sejak Malin sepakat untuk memberinya pekerjaan, dia merasa bertanggung jawab terhadapnya. Dia ingat paraji yang membawa Lalika padanya, seorang perempuan yang sangat dia hormati dan dia rayu untuk menjadi istrinya. Meski tidak berhasil dengan si dukun bayi, tapi sekarang ada Lalika dan dia berniat untuk melamarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun