Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 66: Fiksi adalah Kebenaran yang Cair dan Dibangun di Atas Kesadaran Pribadi dan Budaya

13 November 2022   08:00 Diperbarui: 13 November 2022   08:02 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari di bulan November lima tahun lalu, ibu tiriku menelepon dari Medan. Di antara isak tangis dan aksen Tapanuli yang kental, dia menggumamkan sesuatu, dan kemudian seorang lelaki berbicara. Dia memperkenalkan dirinya sebagai perawat di ruang ICU bapakku dan bilang aku harus segera datang.

Empat jam kemudian, aku berada di pesawat sambil memegang tas yang semalam diisi dengan beberapa baju dan celana karena di rumah sakit pasti dingin. Dan pakaian hitam, untuk berjaga-jaga...

Saat akan untuk mendarat di Kualanamu, aku baru menyadari bahwa aku buta arah, tidak tahu bagaimana menuju ke rumah sakit umum. Pikiranku kosong.

Penumpang di sebelahku menyarankan taksi online.

Setelah perjalanan yang melelahkan melalui lalu lintas jam sibuk, aku menjumpai bapak terhubung ke semua jenis tabung dan monitor di sayap ICU, nyaris tak tertutup selimut tipis. Ibu tiriku duduk di kafetaria dengan kepala bertopang tangan.

Aku meretas komputer bapak dan menghubungi teman-temannya. Selama dua minggu berikutnya, orang-orang datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Kakak dan saudara tiriku datang untuk berjaga bergantian bersama kami.

Setelah setiap hari di ranjang rumah sakit, kami kembali ke rumah mereka dan duduk mengelilingi meja dapur yang dimahkotai dengan semangkuk jeruk. Kami bercerita tentang bapak, waktunya di laut, petualangannya yang gila, dan saat-saat rapuh ketika dirinya yang sebenarnya mengintip dari balik fasad kapten laut yang berkerak.

Salah satu dari kami akan selalu mengupas jeruk, tertawa ketika kulitnya pecah. Tangan terulur untuk kenyamanan. Mata kami berkaca-kaca karena air mata.

Di pagi hari, sendirian dengan pikiranku, aku mondar-mandir di dapur, sampai tak mampu lagi berpikir.

Aku berjalan ke halaman belakang dan duduk di tepi kolam ikan koi yang dibangun bapak. Pada banyak malam, ibu tiriku datang dan duduk bersamaku di bawah pohon jeruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun