Aku membeli jiwa seorang perempuan hari ini. Rambut putihnya bernoda nikotin. Kerutan wajahnya seperti garis patahan lempeng bumi simpang siur di wajahnya. Dia kehilangan tiket busnya, jadi aku menawarkan untuk menanggung ongkosnya, tetapi dia bersikeras aku mendapatkan sesuatu sebagai balasannya. Seratus tiga puluh ribu untuk jiwa yang begitu tua.
Dia menyimpannya di tas tangannya, dalam kotak satin ungu yang cukup besar untuk sebuah cincin kawin. Aku mencoba menolak, mengatakan kepadanya bahwa aku akan dengan senang hati mengikhlaskan bantuan sekecil itu, tetapi dia menekannya ke tanganku, mengatakan hanya itu yang dapat dia tawarkan.
Kepalanya mengangguk tajam dan setengah tersenyum ketika pintu bus diam-diam menutup dan aku melihatnya bus pergi menempuh perjalanannya, sementara aku menunggu perjalananku dimulai. Aku memasukkan kotak itu ke dalam sakuku.
Ketika transportasiku tiba aku mencoba tenang dan mendengarkan musik, tetapi jari-jariku terus membelai kotak perhiasan berbahan mewah itu, khawatir akan isinya.
Aku berencana untuk meninggalkannya di saku jaket ketika hendak bekerja, hanya akan mmemikirkannya ketika di rumah. Tetapi tidak bisa berhenti memikirkannya, bertanya-tanya seperti apa rupa dan rasanya.
Kuletakkan kotak itu di mejaku. Jemariku masih menyentuhnya seolah tak tega melepaskannya. Benda itu mulai mengeluarkan suara yang meraung tajam, seperti hewan yang terluka. Mungkin itu normal untuk jiwa. Aku tidak akan tahu.
Aku menarik napas dalam-dalam dan merasakan kosong menyebar dan mendorong tulang rusukku hingga lepas. Aku meraih pisau pembuka surat dari perak, benda lain yang kusangka takkan pernah kugunakan, dan menguji ujung tajamnya.
Kotak itu membakar jari-jariku, tetapi tetap tak bisa melepaskannya. Getarannya semakin keras, membuatku mengernyitkan mataku dan menggertakkan gigiku. Aku membuka tutupnya, mencengkeram pisau dan bersiap untuk memberi ruang untuk sesuatu yang tak pernah kuketahui telah hilang dariku.
Bandung, 5 Oktober 2022