Steben memiringkan topinya ke belakang kepala dan menatapku tak percaya. “Piston macet! Serius? Pertama kau lupa tentang iklan yang kau buat, dan sekarang kau tak tahu berapa kau mau jual mobil ini?”
“Yah, aku tidak terlalu memikirkannya,” kataku enteng. “Aku memutuskan untuk menjualnya secara mendadak.”
“Kalau kau tidak tahu harganya, aku akan memberi tawaran. Seratus juta.”
Aku ragu-ragu.
“Harga bagus untuk mobil tua seperti ini, kau tahu,” lanjut Steben. “Kau tidak akan mendapatkan harga lebih tinggi di tempat lain. Pegang kata-kataku.”
“Oh, aku tidak yakin,” kataku.
“Ya,” kata Steben meyakinkan. “Seratus juta. Bagaimana?”
Aku masih ragu. "Apakah itu yang tertinggi?"
Mata Steben menyipit. “Aku tidak bilang begitu, kan? Kau bilang kau tidak terlalu memikirkannya, jadi aku kasih harga. Tidak bisa bilang lebih bagus dari itu, kan? Dalam bisnis ini aku bukan untuk bersenang-senang.”
Aku berpura-pura merenungkan masalah ini secara mendalam. “Sorry,” aku membuang napas panjang, “Aku rasa seratus juta tidak menarik buatku.”
Wajah Steben berubah keruh. “Oh, jangan brgitu. Nah, kau harus tahu berapa yang kamu minta. Beri aku angka.”