Terhenyak diam selama beberapa menit, akhirnya Halida bersuara. "Aku tidak tahu harus berkata apa padamu, Kuntum. Pertengkaran antar suami istri sesekali adalah hal yang biasa. Namu kalau kamu merasa pertengkaran akan mengancam keutuhan rumah tanggamu, memang seharusnya segera dicari jalan keluarnya."
"Ya, Halida. Aku menyadarinya, tetapi beberapa bulan terakhir ini situasi terlalu pelik bagi kami, dan aku pikir kami berdua menyadarinya. Aku tidak melihat apa salah yang aku lakukan sampai membuatnya begitu marah. Sepanjang waktu, dan dia tidak benar-benar melakukan hal-hal untuk membuat aku marah sejauh yang aku ingat, hanya saja aku tidak tahu apa yang aku memang tidak tahu.Â
Awang mengatakan agar aku tidak melakukan hal-hal yang sepertinya tidak mungkin tidak kulakukan. Bukannya aku melakukannya untuk menentangnya, itu hanya hal-hal yang aku rasa harus kulakukan, dan aku tidak akan membiarkan dia melarangku untuk tidak melakukannya. Mungkin terdengar kekanak-kanakan, tapi selayaknya seorang istri meminta perhatian lebih dari suaminya."
"Mungkin kamu harus mendengarkan apa yang dia katakan sejenak dan melihat apakah pertengkaran berhenti. Jika ya, kamu akan tahu apa masalahnya, dan kalian akan dapat membuat semacam kesepakatan.Â
Jika tidak, mungkin ada sesuatu yang salah dengan hubungan kalian yang membutuhkan bimbingan pakar, dan aku bukan seorang ahli. Aku tak dapat membantumu. Cobalah, dan lihat apa yang terjadi. Setidaknya ketika kalian berdebat kamu sedang berbicara dan dia tidak pergi dengan mobilnya ke suatu tempat."
Nasihat Haalida berhail membuat Kuntum tersenyum. "Ada satu hal lain yang aku lupa katakan padamu, Halida. Awang mendapat mimpi buruk malam itu, dan ternyata ada hubungannya dengan rumah duka. Aku takut sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan bahkan tidak ingin memikirkan apa yang mungkin terjadi.Â
Tempat itu adalah titik gelap yang pasti dalam hidupnya, dan sepertinya kami tidak bisa menyingkirkannya. Jika kami tidak segera menjualnya, menurutku lebih baik menjual rumah ini dan pindah dari sini sehingga kita tidak perlu melihatnya setiap hari."
Halida berdiri dan menyerahkan cangkir kopi kosongnya, lalu memeluk Kuntum. "Semasa kecil aku memang mendengar bebrbagai kisah tentang rumah duka itu, tetapi aku tidak menyadari bahwa tempat lama memiliki cerita yang lebih baru. Meski begitu, aku bukan tipe orang yang percaya takhayul, dan aku rasa seharusnya kamu jangan terlalu mengkhawatirkannya.Â
Aku yakin jika kamu terlalu mengkhawatirkan sesuatu, pikiranmu dapat memunculkan segala macam ide liar."
"Kurasa kamu benar, tapi bulu kudukku masih meremang hanya karena memikirkan tempat itu, dan lebih buruk lagi, terkadang aku sangat membenci keputusan Awang untuk pindah ke sini. Kita bisa menemukan rumah di mana saja, dan mewarisi tempat-tempat ini tidak membantu keuangan kami."