Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 22)

18 September 2022   09:05 Diperbarui: 18 September 2022   09:06 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Yang benar saja, Pandita Resi! Mana ada kisah yang berakhir seperti itu?" Ubai yang duduk bersila, memprotes sang brahmin peracik ramuan dari tumbuh-tumbuhan. "Dewi Shinta tidak mungkin hilang begitu saja ditelan bumi hanya karena kecemburuan Sri Paduka Rama."

Resi Umbara tersenyum sedih. "Cerita ini sepenuhnya merupakan kisah nyata. Hidup bukanlah serupa saloka gubahan Resi Walmiki. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan dan terkadang kita mati tanpa bisa memenuhi keinginan dan kehendak kita."

Ubai menggelengkan kepalanya pertanda kecewa.

"Jadi maksudmu, Dewi Shinta yang cantik, yang setia, yang dicintai raksasa, bala wanara, manusia empat kasta, dan juga para dewa-dewi kahyangan ditelan bumi begitu saja? Kematian yang memalukan!"

Pandita tabib ahli pengobatan itu mengangguk sebagai jawaban. Ubai yang masih belum puas melanjutkan, "Tapi bukan itu yang diceritakan kepadaku semasa kecil. Jadi aku telah dibohongi sepanjang hidupku. Kita telah dibohongi dari kecil!"

Sambil melirik pria raksasa yang berbaring di sampingnya, dia bersuara dengan getir, "Batar, kamu dengar, tidak? Dewi Shinta tidak hidup bahagia selamanya. Si Tua Gaek Sakata sudah membohongiku. Bagaimana dia bisa menatap mata kami, cucu-cucunya dan berbohong kepada kami seperti itu? Aku selalu menghormati dan menjunjung tinggi-tinggi dia, tetapi hari ini, aku menemukan kenyatakan setelah kematiannya, dia adalah seorang pembohong besar!"

Ganbatar bergumam acuh tak acuh, seakan tak mendengarkan perkataan rekannya. "Aku perlu melakukan sesuatu. Seluruh sendi di badanku pegal linu, kulitku bagai mati rasa dan jari-jari saya gatal untuk menebas leher musuh, pengawal kerajaan atau begundal daru kedatuan. Aku bisa mendengar kapakku berbisik kepadaku bahwa mereka sudah lama tak mencicipi amis darah. Mengapa Janar dan Keti pergi begitu lama? Sudah selama lima kendi air dijerang bergantian habis menguap sejak mereka pergi!"

Palupi mengernyitkan alis kebingungan. "Ganbatar, mereka pergi belum juga sekali penjerangan teh. Dan untukmu ...," katanya sambil menoleh ke arah Ubai, "Dongeng yang sering diceritakan kepada anak-anak ibarat ramuan jamu temulawak pahit dicampur gula aren, karena anak-anak menyukai akhir yang bahagia. Dari tempatku berasal, dongeng tentang bocah sudra jelek membangun seribu candi dalam semalam untuk memenangkan sayembara menjadi suami seorang putri raja juga ada. Pada kenyataannya, dia adalah seorang kstaria titisan dewa, yang hanya sanggup membangun sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi. Saat hendak menyelesaikan candi yang ke seribu, digagalkan sang putri dengan memohon Betara Surya bangin lebih awal. Kalau kamu meneceritakan kepada seorang anak kenyataan kehidupan, orang-orang akan menyebutmu orang tua doraka yang tidak bisa mendidik anak-anaknya. Yang seharusnya dilakukan para orang tua hanyalah membiarkan anak itu tumbuh dan belajar sendiri, sebagai anak panah yang meninggalkan busurnya dan menancap ke titik sasarannya, atau tidak menancap sama sekali. Jadi jangan salahkan kakekmu, kalau dia memang kakekmu. dia hanya melakukan apa yang dia sendiri telah diajarkan, dan selain orang itu sudah mati dan mungkin abunya sudah kamu tebarkan di sungai Musi. Berhentilah meratap dan jangan membuat hal-hal yang menodai kenanganmu tentangnya."

Resi Umbara manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya, yang meskipun jarang-jarang tapi lumayan panjang. Terlihat dia sungguh-sungguh terkesan dengan kata-kata Palupi.

Ubai menghela nafas panjang. "Aku mengerti. Mungkin karena bagiku pribadi babad Ramayana adalah dongeng kesukaanku semasa kecil. Bagaimana Sri Rama menyelamatkan istrinya yang malang dari cengkeraman raksasa durjana dan Dewi  Shinta kebal dari api yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh para brahmin---maaf, Resi---atau pendekar paling sakti dari atap dunia yang pernah menghajar Ganbatar sekalipun, tentang perebutan cupu manik astagina yang mengubah manusia menjadi kera, dan bagaimana keturunan mereka mungkin sekarang telah pindah ke sini untuk menguasai  rimba Tulang Bawang lalu menggantikan kedudukan manusia di Kerajaan Sriwijaya. Dari apa yang baru saja Resi Umbara katakan padaku, aku benar-benar terkejut mengetahui bahwa Sri Rama tega memibarkan Dewi Shinta ditelan tanah. Itu benar-benar suatu pengkhianatan. Sungguh kenyataan yang mengerikan."

BERSAMBUNG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun