Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 9)

14 September 2022   17:35 Diperbarui: 14 September 2022   17:43 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Aku mengundang Gumarang untuk makan siang bersama kita," kata Kuntum menyadari tatapan tajam yang menyorot dari wajah Awang. "Aku harap kamu tidak keberatan, Awang. Hari sudah larut dan kupikir kau tidak akan berhasil sampai di sini."

"Tidak, tidak, tidak apa-apa. Sedikit tidak terduga, tapi tidak apa-apa," Awang terpaksa menyahut dengan tampang gelisah. Dia seharusnya sudah bisa menduga, tetapi tetap saja selalu mengejutkannya dengan mental yang sama. Hal yang baik untuknya, tak memiliki temperamen yang buruk.

Gumarang yang tidak mampu atau tidak mau melihat kebencian dan rasa jijik dalam ekspresi Awang, dengan penuh semangat terlibat dalam percakapan dengan Kuntum, tentang rumah duka dan segala hal lain. Rangkaian percakapan membuat Awang semakin marah di detik berikutnya. Mereka tak melibatkannya dalam diskusi kecil eksklusif mereka, mendorong kemarahannya hingga batasnya. Bukan karena Gumarang sangat licik, atau bahkan Awang sangat membencinya. Faktanya, dia dan Gumarang berteman baik sejak kecil di sini, Taluk Kuantan, dan bahkan pernah menjadi teman sekamar selama setahun di asrama Universitas Kebangsaan Melayu Raya.

Kemarahan yang sebenarnya tertuju kepada Kuntum. Awang hanya tidak percaya bahwa istrinya bertindak dengan mengabaikan perasaannya. Dia harus menjauh dari mereka sebelum dia mengamuk di depan seluruh pengunjung kedai yang penuh dengan pasiennya.

"Sayang, aku harus pergi. Aku akan bicara denganmu nanti. Yuk, Gum," setengah mencebik dia pamit menjauh dari meja.

"Jangan pergi dulu, Sayang," kata Kuntum dengan sedikit rasa bersalah. "Kamu bahkan belum makan."

"Aku sudah tidak lapar. Sampai jumpa lagi."

Awang bahkan pergi tanpa mencium istrinya.  Perasaan menang mengisi dadanya. Kali ini dia berhasil membuat istrinya malu, dia yakin akan hal itu. Dia pantas mendapatkannya karena membawa penyusup dalam sedikit waktu yang mestinya hanya dinikmati berdua. Dia dan Kuntum harus membicarakannya malam ini, kalau Awang tidak nongkrong di kedai kopi sebelum pulang.

Mestinya, Gumarang Koto menganggap Awang sebagai orang normal, baik hati, dan tidak ingin menyakiti siapa pun.

Setelah lulus dari Universitas Kebangsaan Melayu Raya bersama dengan Kuntum dan Awang, fokus Gumarang dalam hidup adalah untuk berhasil dalam pekerjaan yang dimilikinya, dan tentu saja menikmati saat melakukannya. Kuliah lebih merupakan caranya untuk melarikan diri dari rumah untuk sementara waktu, karena dia memiliki gerai busana milik ayahnya yang akan menjadi tanggung jawabnya setelah lulus kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun