Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyimpang Jalan

14 Januari 2022   14:57 Diperbarui: 14 Januari 2022   15:18 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpapersafari.com

Sesungguhnya serigala, bukanlah nenek, yang sakit. Yang membuat si Tudung Merah masuk jauh ke dalam hutan.

Siang malam lolongannya bergema, terdengar menyedihkan mengisi rimba. Pada saat Tudung Merah menemukannya, malam telah tiba dan darah di salju tampak hitam.

Di bawah sinar rembulan, dia mencabut cakarnya dari perangkap besi yang berkarat. Serigala lari menjauh darinya. Mengapa tidak? Tudurng Merah adalah sama saja dengan yang memasang jebakan itu, seorang manusia.

Serigala tertatih-tatih menerobos semak-semak. Ekornya melengkung di antara kedua kaki belakang. Jika ada bertanya pada gadis itu kapan dia mulai jatuh cinta, dia akan menjawab: malam itu. Pada saat itu, yang dia tahu hanyalah bahwa serigala telah terluka dan itu membuat hatinya mencelos.

Malam itu, Tudung Merah menatap mata kuningnya dari jauh, di balik tumpukan kayu di tepi hutan. Malam berikutnya, dia meninggalkan daging panggang di tumpukan kayu paling bawah. Menjelang pagi, panci daging itu telah dijilat hingga bersih.

Begitulah selama musim dingin.

Saat hari semakin dingin dan persediaannya berkurang, Tudung Merah mengurangi porsi dagingnya sendiri. Dia bisa saja datanag tanpa membawa apa-apa, tetapi serigala itu masih belum sembuh sepenuhnya.

Kini, ketika dia berjalan di hutan, Tudung Merah tidak pernah takut pada begal atau penebang kayu yang nakal. Ketika para pria menggodanya, akan terdengar lolongan seekor serigala jantan yang begitu menyeramkan. Begal atau penebang kayu akan meninggalkan cangkir kopi mereka setengah penuh dan sisa juadah yang tidak dimakan.

Ketika akhirnya salju mencair dan matahari bersinar menghangatkan bumi, Tudung Merah mandi di sungai di belakang rumah. Tidak ada yang berani mengganggunya. Setiap malam, dia membuat daging panggang. Setiap pagi, dia mengambil panci kosong.

Kecuali pada suatu pagi, daging panggangnya masih utuh. Lalat berdengung di sekitarnya, menempel dan mengunyah dengan mulut dan cakar mereka yang mungin. Dia mengenakan tudungnya dan pergi ke hutan sendirian.

Jejak serigala mudah untuk diikuti. Tetesan darah, jumbai bulu abu-abu, semakin jauh ke dalam hutan. Semakin jauh dia berjalan, semakin lambat langkahnya.

Apa yang ditakutkannya, terjadilah. Kini yang bisa dia lakukan hanyalah mengharapkan yang terbaik dari yang terburuk, meski setiap kali dia memejamkan mata, yang dia lihat hanyalah bulu berlumuran darah dan jejak cakar yang pincang, terlalu banyak untuk dihitung.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, dia tidak memasak daging panggang.

Terdengar goresan di pintu ketika bara di perapian hanyalah bara api.

Di pintu duduk serigalanya, berlumuran darah tetapi masih siaga untuk bertarung. Dia memiringkan kepala seolah bertanya, Di mana daging panggangku?

Tudung Merah membenamkan wajahnya di bulu kelabu, lengannya erat memeluk lehernya dan menangis sampai kotoran di bulunya menjadi aliran sungai lumpur.

Ketika penduduk kota datang membawa kapak dan tali, dia membukakan pintu untuk mereka.

Mengapa tidak? Dia tidak melihat si serigala sama sekali akhir-akhir ini. Buktinya, dia tidak lagi berjalan melalui hutan karena takut pada hewan itu. Sekarang dia hanya merawat neneknya di sini, di pondoknya sendiri.

Para pria berjingkat-jingkat memeriksa seluruh ruangan, tidak ingin membangunkan perempuan tua itu. Para wanita menggosok celah antara nidung dan bibir atas mereka, berharap usia tua tidak akan membuat kumis mereka panjang seperti itu.

Setelah itu, tak ada lagi pemburu yang datang berkunjung. Meskipun Tudung Merah menawarkan daging panggang jika mereka melintas, tatapan manik-manik mata neneknya yang kekuningan meresahkan.

Orang-orang melupakan Tudung Merah dan neneknya, yang meskipun selalu sakit, tidak pernah meninggalkan dunia ini untuk kehidupan berikutnya. Namun pada malam yang diterangi cahaya bulan purnama, penduduk kota yang terhuyung-huyung dari kedai minum bersumpah mereka melihat bayangan abu-abu keperakan dan kilasan merah berkelebat di hutan di luar alun-alun kota, diiringi gaung gelak tawa dan lolongan panjang, menembus dinginnya udara malam.

Bandung, 14 Januari 2022

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun