Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pajak dan Orang Mati

6 Januari 2022   19:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   20:03 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku mengetuk pintu tak sabar. Lelaki yang membukakan pintu tampangnya dan tampak murung. Matanya memeriksa sekeliling dengan gugup saat dia membuka pintu depannya dan bertanya, "Kamu orangnya?"

"Ya," aku menjawab setuju, mengangkat tas kerjaku. "Saya punya kontraknya, di sini."

"Bagus." Lelaki itu membuka pintu cukup lebar agar aku bisa menyelinap masuk. "Mari kita tanda tangani saja. Penilai pajak akan tiba di sini satu jam lagi."

"Anda suka menjadwalkan sesuatu menjelang detik-detik terakhir, ya?" tanyaku sambil membuntutinya ke dapur.

Sebetulnya buatku hal biasa. Permintaan paling banyak untuk layananku selalu menjelang batas akhir pembayaran pajak.

"Cukup waktu untuk memanggil hantu, bukan?"

Aku meletakkan tas kerjaku di atas meja tua reyotnya, membuka kaitnya, dan mengeluarkan setumpuk kertas.

"Seperti yang saya jelaskan melalui telepon, semakin jauh saya harus mencari hantu yang bersedia menghantui rumah Anda, semakin lama waktu yang dibutuhkan."

"Tapi kuburan hanya tiga ratus meter dari sini!"

"Kuburan yang dikelilingi oleh beberapa lahan properti bergengsi di kota ini."

"Yang artinya?"

"Hantu-hantu yang baik telah ada yang mengambilnya."

Pria itu mengerutkan kening. "Jadi aku bukan orang pertama yang memikirkan ini?"

Aku berhasil menahan tawa. Apakah dia pikir aku menulis tujuh puluh tiga halaman kontrak hanya untuk satu pelanggan?

"Tentu saja bukan."

"Tapi para penilai pajak---"

"Tidak peduli bagaimana hantu itu bisa masuk ke sini. Bagi mereka, rumah hantu adalah rumah yang tidak berharga. Akhir dari cerita."

"Oh. Anda sempat membuat saya khawatir. "

Untuk kepentingan bersama---supaya tehindar dari tuntutan malpraktik---aku memperingatkannya. "Untuk klaim asuransi, di sisi lain---"

"Tunggu, apa?"

"Sebagian besar perusahaan asuransi secara khusus mengecualikan kerusakan yang dilakukan oleh hantu yang dipanggil."

Bukannya lelaki ini punya properti yang layak untuk diasuransikan sejak awal. Ada beberapa sentuhan samar yang pernah dibuat seorang wanita di situ. Namun satu-satunya barang berharga yang tersisa di rumah itu tampaknya adalah TV layar datar yang mahal.

"Oh." Pria itu tampak tercengang. "Anda tidak akan memanggil hantu yang jahat, kan?"

"Saya dapat meyakinkan Anda bahwa saya tidak akan memanggil poltergeist, tetapi di luar itu adalah risiko Anda sendiri."

Pria itu menatapku, kosong. "Maksud Anda?"

"Hantu itu akan sepenuhnya menguasai kemampuan mental dan emosionalnya. Semuanya ada dalam kontrak. Omong-omong..." Aku mengulurkan kontrak padanya.

Dia memasukkan tangannya ke sakunya dan menatap kontrak itu. "Oh. Begitu."

Ini bukan pertama kalinya aku harus berbicara dengan klien dengan sikap profesional yang dingin pada menit terakhir.

"Apakah Anda ingin duduk dan membaca semuanya dari awal? Saya akan dengan senang hati menunggu."

Saya dengan hati-hati tidak menyebutkan hantu yang datang akan berbarengan dengan para penilai pajak.

Mata pria itu berkedip ke arah pintu depan, tetapi dia masih ragu-ragu. "Tidak. Tidak, itu tidak perlu."

"Sungguh, jika Anda membutuhkan waktu untuk berpikir, kita dapat menjadwal ulang---"

Pria itu merebut kontrak dari tanganku dan menandatanganinya dengan tergesa-gesa. Orang yang serakah.

"Pembayaran di muka," aku mengingatkannya.

Dia menggerutu sedikit, lalu menyerahkan uang tunai. "Apakah Anda membutuhkan ruang ritual, atau lilin, atau apa?"

"Tidak, aku datang dengan persiapan."

Aku mengeluarkan anglo dari tas kerjaku, meletakkannya di atas meja, dan mengisinya dengan kemenyan. Pria itu mengeluarkan pemantik rokok dari saku celana jins, menawarkannya kepadaku. Sikap yang bagus, tapi itu tidak akan memberinya diskon. Aku menyalakan anglo dan menyerahkan pemantik itu kembali padanya.

Kemenyan segera terbakar, mengeluarkan asap membumbung ke plafon sebagai jawaban atas pemanggilan arwah yang cukup mengejutkanku. Bulan lalu, aku melakukan pemanggilan hanya lima rumah dari sini dan membutuhkan setengah jam untuk mendapatkan hantu yang bersedia dipanggil.

"Apakah itu hantunya? Sudah datang?" Lelaki itu menunjuk ke arah asap yang mulai membentuk tubuh manusia.

"Rupanya ada satu yang dekat."

Terlalu dekat?

"Hei." Wajah lelaki itu menjadi sangat pucat dan keringat mulai bercucuran dari jidatnya saat dia mundur dari meja.

"Ada masalah?" Aku menjaga suaraku tetap santai saat memasukkan kontrak dan uang tunai ke dalam tas kerjaku, lalu menguncinya. Untuk berjaga-jaga.

"Itu... itu terlihat sangat mirip dengan mantan istriku..."

Aku meraih tas kerjaku. "Selamat tinggal. Saya akan pergi sebelum penilai pajak muncul."

"Hai, sayang," sapa hantu itu, saat ia menjadi sosok wanita paruh baya. Pisau daging tertancap di dadanya. "Aku pulang."

Aku nyaris gagal keluar dari rumah itu sebelum terdengar teriak ketakutan yang membuat bulu kuduk berdiri.

Bandung, 6 Januari 2022

Sumber ilustrasi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun