Pada kencan ketiga kami, tepat di tengah taman manula---dia yang memilih tempat ini dan aku setuju saja karena tidak mungkin aku mengatakan tidak padanya---aku berbisik, " Aku mencintaimu."
"Aku mencintaimu, Penelope, dan itu membuatku sakit kepala," kataku.
"Apa?" dia bertanya dengan mimik ketakutan, seolah-olah itu adalah hal terburuk yang bisa dikatakan seseorang kepadanya.
"Aku mencintaimu," aku mengulanginya lagi dengan suara padat dengan sangat bersemangat.
"Tidak bisa," katanya tegas. Penelope memang begitu, mengucapkan hal-hal dengan jelas seolah-olah itu adalah fakta dan tidak boleh diperdebatkan.
"Buktinya aku bisa."
"Tidak, kamu tidak bisa!" Dia nyaris berteriak, dan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Mengapa tidak bisa?" aku bertanya bingung.
Dia menarik napas dalam-dalam dan berjalan mondar-mandir sebelum menghadapku, seolah-olah mengumpulkan semua keberanian yang dia miliki untuk menjawab pertanyaanku.
Buatku ini aneh. Penelope yang kukenal adalah orang yang tak pernah mengenal takut. Aku pernah melihatnya mendaki tebing curam dan terjun payung dari pesawat, dan ini masih kencan ketiga kami.