Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sumini

12 Agustus 2021   22:52 Diperbarui: 12 Agustus 2021   23:35 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menuangkan secangkir kopi dan berpikir. Ingatan itu kembali.

Sumini adalah seorang pengasuh anak. Pengasuhku. Saat itu umurku sembilan tahun, dan yakinlah, aku tidak membutuhkan seorang pengasuh. Transmigran dari seberang, sepupu jauh dari kerabat jauh. Orang tuaku mempekerjakannya karena upahnya murah.

Aku tidak menyukainya. Sangat. Aku membencinya.

Aku tidak bisa memahaminya kata-katanya. Pakaiannya lusuh, dan dia bau bawang. Yang terburuk, dia sangat disiplin. Apa yang dia perintahkan---tidur, gosok gigi, makan sayur---harus kulaksanakan. Tidak boleh membantah. Tidak ada tanya jawab.

Aku sangat membencinya hingga ingin membuatnya mati. Tapi aku berumur sembilan tahun. Apa yang dapat kulakukan?

Suatu malam, orang tuaku pulang terlambat. Aku seharusnya sudah tidur, tetapi seperti biasa mendengarkan dari atas tangga. Sumini memberi tahu orang tuaku bahwa dia ketakutan. Saat itu bulan purnama. Roh jahat dan setan berkeliaran. Ayahku terkekeh dan meyakinkannya bahwa dia akan pulang ke rumahnya dengan selamat.

Roh jahat? Setan?

Besoknya, aku ke kios yang menjual surat kabar dan membeli majalah film edisi khusus film horor. Aku menggunting gambar-gambar monster mulai dari Drakula hingga gremlin.

Setiap kali Sumini datang ke rumah, aku menyelipkan gambar-gambar itu untuk ditemukannya. Di kursi, di dompet, atau dalam saku jaketnya. Aku mengira dia akan membuangnya. Tapi tidak. Dia menatap gambar-gambar itu. Menatap dan kemudian berlutut untuk berdoa.

Gambar tidak cukup. Seekor tikus mati dengan tali menjerat di lehernya, boneka tanpa kepala, pertanda buruk apa pun yang bisa diciptakan oleh pikiran kekanak-kanakanku.

Aku menyiksanya. Untuk setiap horor yang kuciptakan, Sumini semakin linglung. Dia tidak lagi tersenyum, penampilannya semakin acak-acakan. Keuntungannya buatku, dia kehilangan minat untuk mengatur diriku. Tentu saja aku senang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun