Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Rumah Tua

10 Juni 2021   21:10 Diperbarui: 10 Juni 2021   21:14 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia di sekitarnya terasa kacau, sisi sudut pandang kabur dan berwarna seperti sedang mengintip melalui lensa yang tercemar air kotor.

Tidak ada lagi yang bersih normal, bahkan udara. Semuanya menggantung dan berat dengan aroma busuk lengket dari kabut yang mematikan. Semuanya buruk.

Mahesa berdiri. Otot-ototnya sakit karena demam yang menetap. Di lengannya muncul tato, bekas luka dengan hieroglif gelap kutukan purba. Dia memandangnya dengan kagum. Tanpa sadar kakinya yang telanjang dan kapalan melangkah ke arah cermin.

Berbeda dengan yang lain, pikiran untuk menjerit tidak terlintas di benaknya, karena dia tahu dengan kepedihan yang terkumpul dari semua frustrasi yang pernah dia rasakan. Dia tidak akan kuasa untuk menjerit.

Mahesa mengenakan tunik sutra putih era Yunani kuno, yang disatukan oleh cincin emas yang tergantung di bahu kanannya. Mahesa melihat logam di pundaknya tidak berharga dan ternoda.

Ini bukanlah hal pertama yang dia sadari.

Iblis duduk di bahunya, makhluk berbulu dengan dua sayap berbentuk bulan sabit yang berkepak hampir tak bernyawa di punggungnya yang berbulu dan kotor. Bertengger dengan dua kaki kurus cacat berujung cakar bersisik yang menari setiap kali bocah itu bergerak. Dua kakinya yang lain gemuk, berkuku, menjuntai sia-sia di sisi kiri makhluk itu.

Di lengan kecil berbulu yang keluar dari tubuhnya, binatang itu memegang tanduk baja melengkung yang berkarat karena usia. Mulutnya vakuola raksasa bergerigi yang menempel erat di belakang kepala Mahesa seperti lintah. Giginya tertanam di tengkoraknya sehingga benaknya terjebak dalam cengkeraman setajam pisau cukur. Makhluk tak berwajah, tapi di bulu-bulunya yang kusut lusinan mata hitam berkedip-kedip.

Makhluk itu duduk tenang di pundaknya tanpa bobot, menempati posisi yang hampir sepenuhnya tanpa menimbulkan rasa sakit, seolah-olah ingin memastikan tuan rumahnya nyaman senyaman mungkin.

Sejauh yang diketahui Mahesa, makhluk itu tidak berbahaya. Dan terlepas dari penampilannya, makhluk itu tampaknya melekat padanya bukan sebagai parasit, tetapi sebagai mitra abadi.

Makhluk itu adalah sahabatnya, mampu mendengarnya meskipun dia bisu. Dia merasa mereka berdua adalah insan di luar lingkup bahasa lisan. Mahesa tidak perlu berbicara untuk mengetahui bahwa dia dan makhluknya adalah sama, bahwa mereka bukan makhluk konvensional yang disalah mengerti, bahwa mereka saling melengkapi satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun