Tenggorokannya berjuang untuk mengucapkan kata itu, tetapi rasanya seperti mencoba menelan udara yang beracun.
"Mahesa? Bukankah kamu ingin bicara?"
Suara yang parau tersedak bagai salah satu saluran pembuangan yang tersumbat oleh jamur mengejar menusuk otak melalui saluran telinga Mahesa, menuju ke seluruh tubuhnya dan ke dalam celah terdalam jiwanya bercampur tawa angin kering badut iblis.
Mahesa lumpuh diserang radang dingin yang menjalar. Dia melemparkan pesawat telepon sekuat tenaga, menyaksikan benda itu meluncur dalam gerak lintasan parabola dan meledak dengan bunyi dering terakhir yang memekakkan telinga di dinding. Lalu Lampu padam.
Sekejap kemudian, Lampu-Lampu berada di atasnya dan marak lebih terang dari supernova. Mahesa kecil merasakannya dengan cara yang tidak bisa dirasakan oleh yang lain, merasakan Cahaya Lampu menembus cangkang lembut jiwanya dan mengisinya bukan dengan kegelapan biasa yang merupakan ketiadaan cahaya, tetapi kegelapan busuk berupa aspal dan lumpur. Dia merasakan jiwanya tenggelam dalam lumpur seperti dinosaurus kecil, tapi apa yang bisa dia lakukan selain membiarkannya?
Kesadaran itu menjadi inti yang memancar dalam gelombang, menerangi setiap sudut pikirannya dengan ketakutan yang paling menyakitkan. Lampu-Lampu menyala dengan intensitas maksimum membuat Mahesa hanya ingin berbaring idan berhenti. Dia hanya ingin berbaring dan membiarkan mereka mengambil semua yang mereka inginkan.
Dan Mahesa melakukan persis seperti itu. Dia membiarkan Lampu-Lampu menyerap kepura-puraan dan membiarkannya layu.
Mahesa bukanlah pahlawan. Dia hanyalah anak kecil yang lembut dan bisu yang terjebak dalam jubah manusia super jaket kumal. Pahlawan tidak ada, kata mereka.
Tidak ada yang nyata.
Tidak sama sekali.
Rasa sakit itu lambat laun mereda. Mahesa terduduk. Matanya berputar seperti kincir angin di balik kelopak mata, berdesir memunculkan bintang biru bagai film animasi, dan kepalanya berdebar-debar karena rasa sakit yang menusuk ke inti pikirannya.