Tangannya memegang perut tetapi tak terlihat, karena tertutup jeroan merah kental yang menjuntai keluar dari tubuhnya tetapi masih terhubung ke dalam. Rasanya panas di tangannya dan dia bisa merasakan denyut debar kehidupan, bisa merasakan sesuatu seperti hewan pengerat kecil menggeliat di dalam saluran ususnya yang berlendir.
Dia mengoleskan darah hangatnya ke wajah dan bahunya, bintik-bintik muncul di dada dan pipi. Kulitnya hanyalah lembaran keriput yang terbentang di atas bingkai kawat, wajahnya berkerut seperti mayat tua dan cairan gelap tajam mengucur dari matanya dari matanya yang bengkak. Rambutnya rontok menjadi serpihan rapuh seperti daun kering yang rontok di musim kemarau.
Lebih buruk lagi, dia bisa melihat kantung kosong dari kulit lamanya tergantung di kait seperti mantel, benda mengerikan dan yang menganga dengan lubang hitam di mana mata, mulut dan hidungnya berada. Sesaat kemudian cangkang elastis itu hancur menjadi debu hitam seolah-olah berusia seribu tahun.
Dan bayangan di cermin itu adalah Maya Sumangando yang asli: kerangka yang mempersembahkan isi perutnya untuk apa pun yang akan membebaskannya dari semua kotoran, korban dari obsesi kesempurnaan ragawi dunia.
***
Ruangan itu menyalak dengan suara gemuruh guntur, dan Gibran tua yang galak mengayunkan tongkatnya bagai orang gila. Marahnya terlalu sehingga dia benar-benar mengira benda yang dia pukul adalah lutut dan tengkorak anak-anak sialan itu.
Ketika dia menyadari yang terdengar bukan teriakan kesakitan permohonan belas kasihan tetapi suara kaca pecah berkeping-keping, Gibran tua membeku. Tongkat di atas kepalanya bagai palu godam Thor, nafasnya tersengal-sengal mengi saat butiran keringat lemak berkilauan di alisnya yang beruban.
Gibran menurunkan tongkatnya dengan wajah dungu ketika melihat bahwa dia berdiri di atas tumpukan tangan dan kaki serta wajah keramik yang pecah, sisa-sisa jutaan boneka porselen mungil yang hancur.
Boneka-boneka itu berserakan bagai lautan menggapai ke langit-langit di dinding, dengan gaun berenda merah muda, topi lebar putih, dan mata marmer. Mereka adalah rakyatnya, hamparan sempurna, cangkang tanpa jiwa untuk mendiami dunianya yang sempurna dan tak bernyawa.
Mata yang tidak bergerak menatapnya dari segala arah, tidak pernah meminta untuk dicintai dan tidak pernah mengkhianatinya. Semuanya hanya menatap, dan menatap.
Ketika dia mundur ke pintu terkunci di ceruk kecilnya yang kosong, boneka-boneka itu berkumpul bersama seolah-olah mereka satu makhluk hidup, membentuk dinding tipis di hadapannya. Denting porselen, tembok penghuni dunia yang tidak dapat merasakan. dan tidak bisa mencintai, pembatas warga yang hanya diam dan menatap pemiliknya saat mereka tidur. Dinding tipis itu pecah berantakan dan boneka-boneka itu roboh menimpa Raja mereka, menenggelamkannya di lautan tangan yang sedingin es, rambut kuning muda dan bibir merah delima yang kaku.