Motorku masih di jalan masuk. Aku sendiri yang membongkarnya seminggu lalu, jadi aku tahu apa yang bisa dia lakukan: secepat peluru. Dan menyusur jalan aspal hotmix melintas batas provinsi. Sinar mentari sore di punggungku, aku tahu aku akan menjumpainya. Lalu, apa?
Aku membayangkan diriku berdiri di sampingnya seperti polisi patroli jalan raya. Dia akan turun dan bersandar di spakbor depan tangan disilangkan dan aku akan meninjunya. Dia tidak akan menduganya. Aku, abangnya yang pendiam. Bekerja di satu perusahaan selama sepuluh tahun. Dia akan jatuh dan aku akan menekan lehernya dengan lututku. Sebuah mobil akan berhenti, melihat kami, tapi aku tidak peduli. Aku melakukan apa yang harus kulakukan.
"Mau ke mana?" tanyaku.
"Aku pergi."
"Tidak, kau tak boleh pergi."
Dia akan menangis. "Aku tidak sanggup lagi."
"Jadilah laki-laki sejati," aku akan berteriak ke telinganya, "JADILAH LAKI-LAKI!"
Lalu aku melihat jip Freddy dua ratus meter di depan. Aku mengedipkan lampu jauh, tapi dia tidak melihat ke belakang. Menambah kecepatan untuk mengejarnya. Mesin motor menderu, serangga menabrak wajahku seperti batu kerikil. Aku hampir saja mengejarnya ketika seekor kucing keluar dari semak-semak dan menyeberang di depan kami, lalu berhenti. Menatapku. Terlambat untuk mengerem, maka aku mencondongkan tubuh ke kanan, menghindari makhluk itu. Hanya berjarak sedepa di antara wajahku dan dia. Matanya mengilat dan baunya memenuhi rongga hidungku. Entah bagaimana, aku tidak menabraknya.
Dengan susah payah aku berdiri dan menoleh ke belakang. Hewan sialan itu telah lenyap. Aku menoleh ke depan. Sekilas terlihat lampu rem, lalu Freddy juga menghilang.
Dan entah mengapa aku memikirkan tentang saat kami mendaki bukit ke tempat pembuangan sampah untuk mengambil barang-barang yang masih bisa diolah. Pulang ke rumah, kami harus menyeberangi sungai yang deras. Dia berhasil dan aku terjebak ke bagian yang dalam. Aku tenggelam dalam air kecokelatan yang dingin. Kesulitan bernafas. Dia mengulurkan tangan dan menarikku keluar seakan-akan tubuhku hanyalah sebatang ranting hanyut, dan kemudian memapahku pulang. Aku menggigil dan baru merasa hidup kembali setelah mandi air panas. Ayah dan Ibu tidak pernah tahu apa-apa.
Aku menatap sepeda motorku dan memikirkan apa yang akan kukatakan kepada anak-anaknya yang sedang menonton TV-ku.