Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saatnya untuk Beranjak Pergi

17 Mei 2021   20:01 Diperbarui: 17 Mei 2021   20:13 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat bertugas untuk sebuah majalah musik yang sudah tak terbit lagi, Lala menyaksikan seorang musisi tampil dan kemudian mewawancarainya untuk artikel fitur sepanjang dua ribu kata. Kekasihnya sedang keluar kota akhir pekan itu.

Selama pertunjukan dia berdiri di tengah klub, di belakang sekelompok laki-laki yang-menurutnya-seolah bergaya untuk foto band di majalah musik. Di bar dia berbasa-basi dengan seorang gadis muda yang menanyakan umurnya, dan ketika Lala berkata tiga puluh tiga, gadis yang lebih muda itu mengangguk dengan cara seakan-akan berkata: ya, kamu memang terlihat setua itu.

Setelah pertunjukan, masih di dalam klub, si musisi memberi tahu Lala bahwa terlalu berisik, dan Lala setuju itu. Dia hampir tidak bisa mendengar. Lalu dia menyarankan mereka menyelesaikan wawancara di apartemennya. "Tidak jauh. Sepuluh menit berjalan kaki," kata Lala.

Dia dan musisi itu berbelok ke kanan di blok berikutnya, menyeberang melalui jembatan penyeberangan, dan berada di jalan pulang dengan sederetan rumah sederhana berwarna pastel dan blok apartemen bata merah.

Bangunan yang ditempati Lala dikelola perusahaan daerah, manajer properti yang acuh tak acuh, yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar negeri dan sulit untuk dihubungi.

Di dalam, sang musisi duduk di sofa dan menyalakan sebatang rokok. Flat itu berantakan karena Lala dan kekasihnya punya kebiasaan membiarkan entropi berlangsung berminggu-minggu, sampai tumpukan pakaian kotor menelan kursi dan sepatu bersekongkol di pojok.

"Apartemenmu bagus," kata musisi itu. Lala mengajukan pertanyaan standar tentang pekerjaan lama musisi, dan dia menceritakan sebuah kisah tentang tahun-tahun dia bekerja sebagai tukang kuda di Parangtritis, di mana dia memanen mushroom kotoran kuda setiap bulan Mei, sebelum Lala memperhatikan bahwa speaker home theater telah diputar 180 derajat, kabel merah terlihat jelas. Woofer jatuh miring. Ada dua buku di atas karpet. Lala tidak pernah meninggalkan buku di lantai.

Dia menanyakan dua pertanyaan lagi. Lalu dia membuang muka. "Tunggu sebentar," katanya, mengintip ke dalam laci dapur tempat dia menyimpan paspor, folder dokumen penting, dan obat penghilang rasa sakit. "Ada yang hilang," katanya pada musisi itu. Dan sang musisi berkata, "Mungkin pacarmu meninggalkanmu?"

Lala menanyakan pertanyaan berikutnya. "Apa arti musik untuk Anda? Secara politis atau dengan cara lain, apa fungsi musik, dan yang saya maksud adalah musik rock kontemporer tiga menit?" Dia bertanya sambil memeriksa lemari.

"Tapi bukankah seharusnya kamu menuliskan ini? Bukankah seharusnya kamu merekam ini?" kata musisi itu. Suara laci-laci yang terguncang dan pintu lemari yang dibanting tak berhenti sampai Lala mengerti apa yang telah terjadi. Dia berkata, "Kami telah dirampok."

Kotak sepatunya yang berisi benda-benda masa lalu tidak lagi berada di bawah tempat tidur. Laptopnya tidak ada di ruang kerja. Semua benda dengan simbol apel digigit lenyap. Musisi itu terus bertanya, "Kita akan melanjutkan wawancaranya, bukan? Saya benar-benar perlu mempromosikan karya saya." Lala menggelengkan kepalanya. Dia ragu-ragu antara kesal dan kasihan untuk si pencuri-dan juga untuk si musisi.

***

Bertahun-tahun kemudian, Lala akan menceritakan kisah ini saat wawancara kerja untuk menggambarkan mengapa dia tidak suka mempraktikkan bentuk promosi dibalut jurnalisme, memublikasikan film dan album serta tur dan festival musik-dan mengapa dia sekarang ingin bekerja di bidang hubungan masyarakat yang sebenarnya. Mungkin akan terasa lebih jujur menjadi humas, katanya. 

Lala tidak menyebutkan bahwa gajinya tidak berubah dalam lima tahun-dia malu dengan fakta ini-dan dia tidak pernah memberikan nama musisi, karena tidak terlalu penting dalam ceritanya karena musisi itu tidak terkenal. Akhirnya dia mendapatkan pekerjaan sebagai public relation seperti keinginannya. Ada konsekuensi lain dari perampokan itu. 

Setelah kejadian, dia dan kekasihnya pindah ke gedung yang lebih aman di bagian kota yang lebih tenang, di mana mereka berteman dengan tetangga di lantai atas, seorang pria dengan nama yang dia anggap kuno: Dodo. Pria itu menebak dengan benar, bahwa nama panjangnya Lalamentik. Semut api. Dia jatuh cinta dengan Dodo dan mereka menikah, dan memiliki satu anak gadis. Perampokan itu, menurut Lala, adalah malam yang menentukan takdir pertemuannya dengan Dodo. Ketika putrinya berusia 15 tahun pulang dari sekolah dan bertanya tentang cinta, meminta Lala untuk memberi contoh bagaimana dua orang dapat bertemu dan menikah, kisahnya dimulai dengan malam dia dirampok.

***

Di kota lain, di tempat yang lebih dingin, sang musisi juga teringat pada malam saat Lala meninggalkan wawancara mereka. Tidak seharusnya hidup menjadi pelik. Selama beberapa tahun dia bermusik, dia juga mengerjakan hal lain. Namun untuk alasan yang bagus, tidak mungkin untuk berlanjut jika hatinya sudah tidak lagi di situ. Kemudian dia melakukan hal lain selama sisa hidupnya. Lala adalah orang terakhir yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang musik, dan itu membuatnya ngeri memikirkan bagaimana dia akan menjawab. 

Sejauh yang dia tahu, anak-anaknya tidak pernah mendengarkan CD lamanya. Dia tidak bermain musik lagi, tidak sama sekali. Mengatakan pada dirinya sendiri bahwa rumahnya terlalu kecil untuk anak-anak serta alat musik lamanya, terlalu kecil untuk dirinya yang dulu. Dia meninggalkan musik tanpa rasa sakit sama sekali. Setelah mendapatkan pekerjaan sebagai paramedis, putri bungsunya menyebutnya sebagai Papa Ambulan, seolah-olah dia adalah pahlawan super yang mengatasi semua masalah. 

Pada malam hari sepanjang perjalanan pulang ke rumah, mantan musisi itu membayangkan flat tua Lala: speaker surround yang salah letak, novel terbuka di lantai, suara berisik lemari digeledah, lalu dia diam-diam beranjak pergi.

Bandung, 17 Mei 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun