Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Janus Kedua Ribu Dua Puluh Dua

31 Desember 2020   14:46 Diperbarui: 1 Januari 2021   08:24 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun yang buruk jarang hanya dimulai dari Januari dan berakhir Desember.

Setahun lalu, banjir dan pilu melanda sebagian kita. Corona baru saja memproklamirkan diri di Wuhan sana.

Masa sulit tidak peduli pada jadwal kalender, dan kita semua sadar, tahun 2021 - setidaknya triwulan pertama - tidak akan jauh berbeda dengan tahun 2020. Belum apa-apa, ujar kebencian sang profesor kelam yang mengukuhkan bahwa George Orwell '1984' nyata adanya. Pagi jam 8 mengancam Big Brother di medsos, jam 10 sudah ditangkap.  

Mengancam Big Brother di Medan Merdeka? Hellooow!

Jadi, aku merasa sangat kesal setiap kali mendengar seseorang mengatakan sesuatu seperti "You know what? Pandemi tidak akan berakhir pada Malam Tahun Baru. Tahun depan akan sama buruknya." Aku paham bahwa apa yang mereka katakan itu benar, dan bahwa mereka mencoba menemukan pelampiasan untuk kesedihan dan frustrasi serta ketakutan mereka dengan cara yang sama seperti kita semua, tetapi aku juga sadar diri, dalam hati: kita semua sesungguhnya sudah tahu itu. Tahun depan bisa lebih baik atau bisa lebih buruk. Mustahil sama saja dengan tahun ini.

Memangnya menjelang pukul nol-nol nanti malam seseorang-atau sesuatu-menusuk lubang reset waktu, dosa pahala derita nestapa suka bahagia saldo debet kredit kembali ke titik awal? Terkadang kita beranggapan seperti itulah fungsi pergantian tahun.

Tahun baru kita butuhkan sebagai titik kartesian yang memisahkan satu tahun dari tahun lainnya, baik dari perspektif praktis, pengatur waktu, dan dari sisi psikologis.

Janus adalah dewa Romawi bermuka dua yang namanya diabadikan sebagai Januari, bulan pembuka tahun. Konon satu wajahnya menatap masa lalu dan yang lainnya memandang masa depan. Apa yang didapatnya dari balik pintu masa lalu yang tertinggal di belakang tanpa bisa memperbaiki yang sudah terjadi, dan apa yang dipikirkan kepala satunya lagi melihat kabut di balik gerbang masa depan yang tak pasti setelah melakukannya sebanyak dua ribu dua puluh dua kali?

Kita menghargai perubahan, awal yang baru, menutup satu bab dan membuka lembaran bab berikutnya.

Pandemi mungkin belum berakhir, tetapi 2020 sudah dalam hitungan mundur, dan setiap hari, minggu, bulan yang kita lalui membawa kita selangkah lebih dekat ke hari-hari yang (mungkin) lebih cerah. Bahkan jika kalian tidak percaya itu -- dan aku juga -- maka paling tidak, patut dirayakan adalah kita berhasil sampai sejauh ini.

Tetapi bagaimana kita bisa menulis bab berikutnya ketika keadaan masih terasa begitu suram? Vaksin sedang dalam perjalanan, tetapi kita tidak yakin kemangkusannya, kapan peluncuran yang sebenarnya atau bila akan aman untuk kembali ke kehidupan normal, bukan sekadar normal dalam kata-kata.

Kiita bergelut dengan masalah terdampak pandemi yang tidak akan segera teratasi: pendapatan yang menyusut atau bahkan hilang, lingkungan tempat tinggal genting dengan raungan sirene ambulans dan tatapan penuh curiga.

Kita bosan.

Kita kesepian.

Kita terjebak dalam keinginan mandi hujan yang kekanak-kanakan.

Kita bosan saling pandang melalui aplikasi Zoom.

Dalam kebosanan kita menghabiskan sisa simpanan dengan belanja online. Merekam video aksi goyang untuk tayang di aplikasi tik tok sialan. Mencoba membeli jalan menuju kebahagiaan bermimpi mencapai kesuksesan dari kuota jelajah dunia maya.

Setahun sudah, secara konsisten kita meningkatkan rutinitas dan ritual kehidupan berpandemi.  Kita harus menciptakannya sendiri, mencoba resep terbaru, menjajakannya di instagram, menulis genre yang terlupakan, mengikuti kursus dan webinar yang melenakan, jungkir balik di lantai ruang keluarga menjaga kebugaran ...

Aku sendiri menaikkan target menulis dari seribu kata sehari menjadi dua kali lipatnya. Dan sering pencapaianku melampaui ambang yang telah kutetapkan.

***

Hal-hal kecil yang sepertinya remeh membuat waktu berlalu tak terasa: mencabut rumput liar, mencuci piring, merapikan dokumen.

Membaca dan menulis.

Baca dan tulis.

Audio call dengan sanak saudara dan sahabat yang lama hilang meski hanya lewat suara.

Kedengarannya tidak banyak, tapi hal-hal ini membantuku memecahkan kebosanan saat terjaga, yang terkadang mengungkungku, bahkan ketika aku seharusnya menyelesaikan banyak soal, menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah ditata.

Meski tidak sempurna, tapi membuatku bertahan.

Bagaimana aku akan menikmati tahun yang baru dengan terus menantang diri sendiri, apakah ada rutinitas ritual yang dapat kutambahkan ke hari-hari mendatang. Aku sudah menganggap rutinitas sebagai sesuatu yang berguna dan ritual menyehatkan, meskipun sekarang aku tak tahu lagi perbedaan antara keduanya.

Apakah mencabut rumput liar atau mencuci piring  sudah menjadi ritual bagiku? Atau mungkinkan menulis lebih dari dua ribu kata setiap hari sebagai rutinitas? Apakah jiwaku tetap teguh sementara setiap harinya menelan sepotong obituari? Pandemi berulang tahun.

2021, awal baru yang aneh untuk berharap dan bertahan hingga akhir.

Satu-satunya cara adalah dengan terus berjalan ke depan.

Bandung, 31 Desember 2020

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun