Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tarian Air dan Api

20 Mei 2019   18:20 Diperbarui: 20 Mei 2019   19:09 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://physicsbuzz.physicscentral.com

Telaga tempatku dilahirkan dan dibesarkan lebih pantas disebut rawa dan dihuni oleh ribuan serangga. Aku tidur beralaskan lumut bintang dan Ibu membisikkan lagu pengantar tidur yang mengalun bersama arus lembut. Ibu lahir di laut, dan dia membenci telaga kami. Terlalu banyak kenangan tentang Ayah yang mengendap di dasar telaga, lama setelah musim kemarau panjang mengambilnya.

"Kenapa kita tidak kembali ke laut?" aku bertanya pada Ibu.

"Aku terlalu tua," katanya. "Aku tak lagi mengalir dengan lancar, dan menunggang awan hanya untuk orang muda. Sekarang pergilah bermain."

Tidak ada mambang air selain aku dan Ibu, maka aku bermain dengan anak-anak mambang tanah. Dengan mantra sihir kami membuat prasukan dari tanah, air dan lumpur rawa. Setiap malam, para tentara menjadi basah dan hancur luluh, mengakhiri pertempuran sampai kami menciptakan mereka lagi keesokan sorenya.

Aku sedang membuat prajurit lumpur saat pertama kali bertemu Mikaila. Dia adalah mambang api, penuh rasa ingin tahu dan berani, tertarik pada permainan kami karena dia belum pernah melihat sihir lumpur. Muncul dengan berkedip-kedip cemerlang kuning dan merah kesumba. 

Ketika aku mengundangnya untuk bergabung dengan kami, dia menari di sekitar kolam. Nyala api mengubah lumpur menjadi batu, dan para tentara bau bertarung selama berminggu-minggu tanpa meleleh sebelum saling beradu berkeping-keping.

Bosan bermain prajurit lumpur, kami membuat naga dan kereta kencana. Dia bertanya bagaimana aku bisa bernapas di bawah permukaan air, dan aku bertanya apakah dia tetap ada ketika matahari bersinar lebih terang dari dirinya.

Lalu suatu hari orang tuanya datang dan menyeretnya pergi  sambil mengepulkan asap hitam. Mereka mengatakan kepadanya bahwa dia terlalu tua untuk bermain di luar kaumnya.

***

Telagaku yang dulunya nyaman kini terasa sumpek dan sempit. Aku merindukan permukaan air yang terhampar luas dan arus deras. Aku lelah bersembunyi dari orang tua Mikaila. Ibu menceritakan kisah masa kecilnya di laut. Dia mendorongku untuk pergi ke samudra luas, untuk menemukan mambang air lain dan memulai sebuah keluarga, tetapi aku tidak ingin pergi.

Mikaila mengunjungi telaga di malam hari. Kami berbincang tentang sihir dan tempat-tempat yang jauh dan apa yang akan dilakukan orang tuanya jika mereka tahu dia sedang bersamaku. Uap mengepul saat jari kami bersentuhan. Nyala Mikaila memantul indah di atas permukaan air, dan aku mengaku padanya bahwa aku mencintainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun