Mohon tunggu...
Andi W. Rivai
Andi W. Rivai Mohon Tunggu... Penulis - Penolog

Mengejar cinta Allah 'azza wa jalla www.navatour.co.id al Habsy Management

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Cara Narapidana Merayakan Hari Raya

12 Juni 2019   11:02 Diperbarui: 12 Juni 2019   11:09 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rasanya seperti tidak kebagian lebaran jika tidak bisa pulang kampung. Maka tidak heran jika tidak sedikit dari kita yang memaksakan diri untuk bisa mengikuti ritual tahunan ini. 

Perjalanan yang melelahkan sepanjang ratusan kilometer, bahkan mungkin lebih dari seribu kilometer, dengan aneka warna kemacetan, tidak menyurutkan keinginan untuk menyambangi tanah kelahiran. 

Juga, sepertinya tidak harus merasa sayang untuk menghabiskan sebagian uang tabungan hasil kerja setahun atau mungkin beberapa tahun, juga sedikit uang tunjangan hari raya (jika ada), untuk ongkos perjalanan, membeli baju lebaran, dan membawakan oleh-oleh buat orang rumah, saat ingin merayakan hari kemenangan di kampung halaman.

Tapi tahukah kita, jika ada ribuan orang didalam sana yang terpaksa memendam mimpi dan harapan untuk bisa menengok kampung halaman? Mereka memendam mimpinya itu untuk satu, dua, tiga, lima, sepuluh, atau mungkin selama dua puluh tahun. 

Mereka simpan rapat-rapat mimpi itu, hingga nanti jika saatnya tiba, baru mereka akan membukanya. Dan selama saat itu belum tiba, mereka hanya bisa bermimpi dan menanti.

Dan bahkan, bagi sebagian dari mereka, pulang ke kampung kelahiran sudah dihapus dari daftar keinginan. Jangankan menginginkan, untuk memimpikannya pun sudah tidak berani. 

Ya, mereka sudah tidak berani bermimpi tentang pulang ke kampung halaman; kampung dimana mereka lahir dan dibesarkan; kampung dimana sebagian kenangan hidup dirajut dalam kebersamaan berbalut kasih sayang. Mereka telah benar-benar mengubur mimpi tentang pulang ke kampung halaman.

Siapakah mereka? Merekalah orang-orang yang terpenjara, para narapidana. Mereka yang oleh negara (penguasa) dirampas kemerdekaannya, dan dipaksa untuk hidup dibalik terali besi.

 Mereka adalah orang yang 'terasing' yang tidak punya kuasa lagi untuk hidup sebagaimana yang mereka inginkan; ada tembok yang membatasi, ada aturan yang harus dipatuhi. Dan keluar dari batasan ini merupakan pelanggaran.

Namun demikian, tidak berarti momen lebaran tidak melewati tembok penjara (lapas). Karena, mereka yang hidup didalamnya tetap mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid. 

Mereka diperbolehkan untuk menabuh bedug atau menghiasi malam lebaran dengan serangkaian ibadah. Hampir semua hal diperbolehkan bagi mereka dalam menyambut datangnya hari kemenagan. Hanya satu yang tidak boleh lakukan oleh mereka, pulang kampung! Apa jadinya jika narapidana diperbolehkan pulang kampung?

Maka, sebagai gantinya, pada saat hari kemenangan itu tiba, mereka diperbolehkan mengajak orang tua, sanak saudara, dan handai taulan merayakan lebaran di dalam lapas. 

Mereka boleh menjadikan lapas sebagai "rumah" mereka. Mereka boleh menggelar acara kumpul bareng keluarga untuk saling bersalaman, makan ketupat lebaran sambil melepas rindu. Inilah momen "kunjungan bebas" saat lebaran.

Pada saat kunjungan ini, mereka punya waktu yang lebih longgar. Jika biasanya waktu kunjungan dibatasi hanya selama 15 menit, maka dalam momen lebaran dipanjangkan menjadi paling sebentar 30 menit. 

Dan jika pada hari biasa mereka hanya boleh dikunjungi oleh dua atau tiga orang saja, maka pada saat lebaran keluarga satu rt pun diperkenankan untuk berduyun-duyun merayakan lebaran di dalam lapas. Semua itu dilakukan semata-mata agar narapidana juga dapat merasakan bahagia.

Tetapi jangan juga dibayangkan jika kunjungan bebas ini dilakukan didalam ruangan yang nyaman dan berpendingin, dengan deretan kursi dan meja yang berhias jajanan lebaran. Yang seperti itu, tidak tersedia. 

Yang ada hanyalah karpet atau tikar dibawah naungan tenda besar, dan kipas angin sekedarnya. Mereka berkumpul disana, berbaur dalam keriuhan, dan tanpa batas penyekat. Sudah pasti gerah dan berkeringat. 

Tapi percayalah, itu semua tidak mengurangi hasrat mereka untuk berlama lama. Raut bahagia jelas tampak diwajah mereka. Mereka bahagia karena masih bisa berkumpul dengan keluarga. Karena, tidak ada hal yang paling membuat mereka bahagia selain keluarga yang masih menganggap mereka ‘ada’.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun