Mohon tunggu...
Rolly Maulana Awangga
Rolly Maulana Awangga Mohon Tunggu... profesional -

Pengurus HMIF STT Telkom(2005); Ketua Informatics Research Community STT Telkom(2005); Ketua Linux User Group STT Telkom(2006); Bendahara Klub Linux Bandung dan Advokasi Ubuntu Indonesia(2007); Pengurus Bandung Kota Blogger (2008); Team Competitive Intelligence, Marketing & Sales PT. Telkom Divre III(2008-2010); Founder Penerbit Kreatif(2010); Dosen Professional IT Telkom(2010); Dosen Luar Biasa Politeknik Telkom(2010); Ketua Saung IT(2011); Wartawan Pikiran Rakyat rubrik gadget(2013); co-Founder Passion IT(2013); Dosen Tetap Poltekpos(2015); Mahasiswa Doktor, KK Biomedis. STEI ITB(2018);

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Segera Lakukan Test Ini, Ternyata Internet Bisa Menyebabkan Kecanduan dan Gangguan Kejiwaan

29 Desember 2018   19:08 Diperbarui: 29 Desember 2018   19:34 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Muh. Ibnu Choldun R, Sugondo Hadiyoso, Rolly Maulana Awangga.

Internet adalah  salah  satu  produk  teknologi  yang  menjadi  kebutuhan  dan  gaya  hidup  manusia  global  sejak  beberapa dekade terakhir termasuk di Indonesia. Tanpa kita sadari, internet telah mengubah gaya hidup, kebiasaan, sosial, ekonomi dan budaya kita [1] [2] [3]. Berbagai aspek kebutuhan dalam hidup dapat diakses melalui internet seperti komunikasi, bisnis, informasi, hiburan, pendidikan dan lainnya. Dengan berbagai aplikasi dan fitur yang disediakan menjadikan pengguna internet terus bertambah secara signifikan terutama di Indonesia. Berdasarkan hasil survey, pada tahun 2014 populasi pengguna internet sekitar 88 juta dan naik 2 kali lipat pada
 
rentang waktu yang  cukup  singkat  pada  tahun  2018  [4]. Penetrasi pengguna internet lebih dari 50 persen dari total jumlah penduduk Indonesia saat ini dan masih mempunyai peluang pertumbuhan jumlah pengguna hingga puluhan juta setiap  tahunnya.  Namun  pemakaian  internet  secara  massiv dan  terus-menerus  dapat  memberikan  dampak  positif  atau negatif yang signifikan bagi pengguna dan lingkugan sekitar. 

Banyak  pengguna  yang  dapat  memanfaatkan teknologi  ini untuk meningkatkan produktivitas pekerjaan mereka namun tidak sedikit yang mengalami hal sebalknya akibat penggunaan secara  intensif  hingga  meninggalkan aktivitas pekerjaannya serta memberikan dampak psikologis yang negatif. Kondisi dimana seseorang menggunakan internet secara intensif dan tidak mampu mengendalikannya sehingga menimbulkan kecenderungan negatif secara umum disebut kecanduan internet. Penelitian tentang adiksi internet pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Kimberly Young pada tahun 1996 yang memberikan
definisi terhadap adiksi internet [5].  Namun sebelumnya penelitian yang terkait dengan adiksi teknologi telah dilakukan oleh Shottong pada tahun 1991 yaitu adiksi komputer. Peneli- tian ini yang  mengawali  Young  untuk  mempelajari  adiksi teknologi yang lebih spesifik yaitu internet addiction. Menurut Young adiksi internet adalah penggunaan internet secara berlebihan hingga tidak dapat mengontrol perilakuanya untuk menghentikan kegiatan online-nya. Penelitian yang dilakukan young memunculkan banyak pertanyaan dan kontroversi bagi ahli medis maupun akademisi karena dipandang bias dan sulit untuk diukur secara empirik. Definisi kecanduan secara normal adalah jika seseorang  ketergantungan  terhadap  suatu  obat-obatan, alkohol atau bahan kimia lainnya. 

Namun paradigma ini secara perlahan berubah sejak dimulainya penelitian tentang kecanduan yang mengarah ke perilaku manusia seperti bermain game, menonton televisi dan makan. Jika kita pandang paradigma tersebut maka adiksi internet ini cenderung kategori adiksi berkaitan dengan perilaku. Penggunaan internet untuk hal non produktif secara terus-menerus dan berlebihan dapat memberikan pengaruh negatif bagi psikologis, mental dan masalah sosial. Beberapa studi telah dilakukan seperti efek adiksi internet terhadap psikologis, kehidupan sosial, penurunan performa kerja hingga terapi untuk penyembuhannya. 

Gagasan pertama bagaimana pengukuran dan diagnosa adiksi internet [6]. Dikembangkan kembali oleh Young dalam papernya tahun 1996 [5]. Young kemudian mengusulkan instrument diagnosa kecanduan internet yang dikenal dengan Young of the Internet Addiction Questionnaire (YDQI) dengan delapan item pertanyaan. 

Subjek yang menjawab yes sebanyak 5 dari 8 pertanyaan yang diajukan maka didiagnosa kecanduan internet. Namun instrument ini masih menimbulkan pertanyaan bagaimana validitasnya pada saat diberikan kepada subjek yang intensif menggunakan internet untuk pekerjaan mereka. Kemudian berkembang instrument lainnya untuk assement seperti Internet Addiction Test (IAT) sebagai revisi dari YDQI, Chens Internet Addiction Scale (CIAS) dan the Internet addiction scale (IAS) [7]. Survey adiksi internet melalui metode diatas pada kelompok usia yang beragam dan jumlah sampel yang berbeda telah dirangkum pada penelitian Roberto Poli [7]. Dari penelitian ini didapatkan nilai adiksi internet yang beragam, namun dapat diperkirakan populasi pecandu internet ada orang dewasa sekitar 2%.

[8]. Fokus penelitian lain adalah dampak penggunaan internet berlebihan terhadap kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi telah dilaporkan pada studi [9] [10] [11] [12].  Dampak lainnya yang juga diteliti adalah menurunnya kualitas terhadap hubungan interpersonal yang dilaporkan pada studi [13] [14]. Adiksi internet juga berdampak terhadap penurunan kinerja terhadap subjek dewasa telah dilaporkan pada [15].  Dampak negatif  adiksi internet  telah  menjadi  masalah  besar  oleh  hampir  seluruh dunia tentunya pencegahan dan treatment juga telah dilakukan untuk  mengobatinya.  

Ahli medis dan akademisi bersama-sama memberikan kontribusi dan solusinya untuk masalah ini termasuk di Indonesia dengan jumlah pengguna internet cukup besar memiliki angka potensi yang tinggi terhadap kecanduan internet. Pada studi ini telah dilakukan survey adiksi internet kepada sejumlah responden menggunakan instrument IAT. Studi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak responden yang diduga mengalami kecanduan internet atau sebaliknya yaitu mampu mengontrol penggunaan internet. Kami melakukan analisis terhadap pengujian Reabilitas dan hasil survey secara menyeluruh untuk menghasilkan simpulan yang dapat dijadikan acuan khususnya bagi penelitian adiksi internet. Pada studi ini juga dibahas tentang kontroversi, kritik dan masalah atas Konsep Adiksi Internet yang ditinjau dari sisi Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Teori Pendukung

A. Adiksi Internet

Internet addiction atau  adiksi  internet  adalah  salah satu gangguan kejiwaan yang ditandai dengan keasyikan yang berlebihan atau tidak terkontrol, mendesak atau perilaku tentang penggunaan komputer dan akses internet yang menyebabkan gangguan atau distres [16]. [17] menyebutkan bahwa adiksi internet didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu untuk mengontrol penggunaan internet, menghasilkan masalah berat dan ketidaklengkapan kerja otak atau mental fungsional dalam kehidupan sehari-hari. 

Adiksi internet merupakan sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam  menggunakan  internet dan tidak mampu mengontrol penggunaanya saat online. Menurut Orzack dalam [18] adiksi internet merupakan suatu kondisi dimana individu merasa bahwa dunia maya dilayar komputernya lebih menarik daripada kehidupan nyata sehari-hari yang dijalaninya. Internet addiction pertama kali dikemukakan Dr. Ivan Goldberg pada tahun 1996. Internet addiction adalah gangguan yang terjadi akibat penggunaan internet. 

Seperti kecanduan lainnya, internet addiction dipandang sebagai gangguan psikofisiologikal yang melibatkan tolerance, withdrawal symptom, gangguan afeksi dan tergang- gunya hubungan sosial. Tolerance adalah penggunaan internet dalam durasi yang sama akan menimbulkan respon kepuasan minimal sehingga durasi penggunaan internet harus ditambah agar dapat membangkitkan kepuasan dalam jumlah yang sama. Withdrawal symptom adalah sindrom penarikan diri yang terjadi saat menghentikan atau mengurangi penggunaan internet yang menimbulkan tremor, kecemasan, dan perubahan mood. 

Gangguan afeksi berupa depresi dan sulit menyesuaikan diri. Terganggunya hubungan sosial seperti menurun atau hilang hubungan sosial seseorang baik dari segi kualitas maupun kuantitas [19] [20] [21]. Gangguan ini tidak tercantum DSM IV TR. Namun, internet addiction secara resmi telah diakui sebagai gangguan oleh American Psychiatric Association (APA). Internet Addiction Disorder menurut APA adalah  individu yang menghabiskan banyak waktu pada aktivitas online yang menganggu kegiatan lain seperti karir, studi, hubungan keluarga, dan pastisipasi pada kegiatan masyarakat dan sosial. Hal penting yang perlu diingat bahwa para pecandu tergantung pada internet dan menggunakan internet berlebihan, sebagian besar tidak mampu mengontrol motivasi intrinsiknya untuk bermain walaupun terdapat efek negatif dari perlaku tersebut [22] Internet addiction disorder (kecanduan internet) menurut DSM-V, adalah mereka yang online lebih dari 38 jam per minggu, emosi ketika akses internet terputus, tidak dapat mengendalikan lamanya penggunaan internet, dan kehilangan ketertarikan atas aktivitas lain di luar dunia maya. 

Internet addiction menurut Young [17] merujuk kepada masalah penggunaan internet, termasuk berbagai aspek teknologi yang ada pada internet, seperti surat elektronik (e-mail) dan  World  Wide Web. Menurut Kamus Besar Berbahasa Indonesia (KBBI), adiksi adalah kecanduan atau ketergantungan secara fisik dan mental terhadap suatu zat. Namun, [23] berpendapat sekarang ada gerakan yang memandang sejumlah perilaku lain yang berpotensi adiktif. Adiksi internet adalah perilaku penggunaan komputer dan akses internet yang tidak  terkontrol  dengan baik dan menyebabkan keasyikan berlebihan, sehingga menyebabkan gangguan atau kesusahan [16]. Adiksi internet pertama kali diteliti di tahun 1996 oleh American Psychological Association (APA). APA meninjau lebih dari 600 kasus adiksi internet yang menunjukkan tanda-tanda klinis adiksi yang diukur melalui versi adaptasi kriteria  DSM-IV  untuk  judi

patologis [24].  Penelitian lain juga menghubungkan adiksi internet dengan gangguan adiktif, mengelompokkannya di samping pecandu alkohol dan obat-obatan, gangguan obsesif- kompulsif [23], dan gangguan kontrol impuls [25]. [26] meny- atakan bahwa adiksi internet dapat berupa adiksi terhadap jejaring sosial, e-mail, pornografi, judi online, game online, chatting, lain-lain yang berhubungan dengan internet. 

Menurut Brenner [27] individu dapat mengalami kecanduan ketika menghabiskan waktunya selama 19 jam per minggu, dimana dalam penggunaannya individu menunjukkan adanya keing- inan untuk menambah waktu penggunaan internet, adanya ketidaknyamanan yang dirasakan ketika individu tersebut tidak menggunakan internet, dan adanya keinginan untuk  secara terus-menerus menggunakan internet. 

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kecanduan internet meru- pakan suatu kondisi ketergantungan yang dirasakan oleh individu sehingga menghabiskan banyak waktu menggunakan internet, dimana melibatkan perilaku yang berulang-ulang untuk menggunakan internet dan tidak tertarik untuk melakukan aktivitas lainnya, merasa bahwa dunia maya di layar komputer lebih menarik dan  munculnya perasaan yang tidak menyenangkan ketika individu berusaha untuk menghentikan tingkah laku tersebut. Secara umum dari pengertian di atas Internet Addiction adalah gangguan yang terjadi akibat penggunaan Internet, individu menghabiskan banyak waktu pada aktivitas online yang menganggu kegiatan lain seperti karir, studi, hubungan keluarga, dan pastisipasi pada kegiatan masyarakat dan sosial dan menampilkan perilaku yang kontraproduktif. Mereka juga sebagian besar tidak mampu mengontrol dirinya untuk online walaupun terdapat efek negatif dari perlaku tersebut.

B. Gejala Adiksi Internet

Ada enam komponen yang menunjukkan adiksi  internet menurut [28], di antaranya:

1)  Salience: Keadaan dimana penggunaan internet menjadi aktivitas terpenting dalam kehidupan dan cenderung untuk mendominasi pikiran, perasaan, dan perilaku. Hal ini bahkan bisa terjadi saat orang tersebut tidak sedang mengakses internet.

2)  Modifikasi mood: Adanya perubahan emosi setelah pen- gaksesan internet sebagai strategi koping atau sesuatu yang menenangkan. Inilah pengalaman subyektif yang dilaporkan orang sebagai konsekuensi terlibat dalam game online dan dapat dilihat sebagai strategi penanggu- langan (yaitu, mereka mengalami 'buzz' atau 'high' atau paradoxically tranquilizing 'feel escape or numbing').

3) Toleransi: Hal ini menunjukkan terjadi proses pen- ingkatan intensitas pengaksesan internet untuk mencapai efek modifikasi mood.

4)  Reaksi penarikan (withdrawal) Perasaan tidak menye- nangkan dan/atau efek fisik yang terjadi saat akses internet dihentikan atau tiba-tiba berkurang (misalnya gemetar, moody, mudah tersinggung, dll.).

5) Konflik: Konflik antara orang-orang di dunia maya maupun orang-orang di sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dengan kegiatan lain (pekerjaan, peker- jaan sekolah, kehidupan sosial, dan hobi) atau dari dalam individu dirinya sendiri (konflik intrapersonal), yang berkaitan dengan menghabiskan terlalu banyak waktu dalam game online).

6) Kekambuhan: Kecenderungan untuk mengulangi pe- makaian internet secara terus-menerus.

Adiksi internet terbagi menjadi enam aspek yang didasarkan Internet Addiction Test (IAT) menurut Young (1996), yaitu:

1)  Salience. Biasanya dikaitkan dengan pikiran-pikiran yang berlebihan secara mencolok terhadap internet, berkhayal atau berfantasi mengenai internet.

2)  Penggunaan yang berlebihan (excessive use). Penggu- naan internet yang terlalu berlebihan biasanya dikaitkan dengan hilangnya pengertian tentang penggunaan waktu atau pengabaian kebutuhan-kebutuhan dasar dalam ke- hidupannya. Individu biasanya menyembunyikan waktu online (waktu yang digunakan untuk mengakses inter- net) dari keluarga atau orang terdekat.

3) Pengabaian pekerjaan (neglect to work). Individu mengabaikan pekerjaannya karena aktivitas internet, se- hingga produktivitas dan kinerjanya menurun karena berinternet.

4) Antisipasi (anticipation). Internet digunakan sebagai strategi coping dari masalah, yaitu sarana untuk melarikan diri atau mengabaikan permasalahan yang terjadi dikehidupan nyata.  Akibatnya, lama-kelamaan aktivitas internet menjadi aktivitas yang paling penting dalam hidup sehingga mendominasi pikiran, perasaan, dan perilaku.

5)  Ketidakmampuan mengontrol diri (lack of control).

Ketidakmampuan dalam mengontrol diri sendiri men- gakibatkan bertambahnya waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas dengan internet, baik dalam bentuk frekuensi maupun durasi waktu.

6)  Mengabaikan kehidupan sosial (neglect to social life).

Individu mengabaikan kehidupan sosialnya, yaitu sen- gaja mengurangi kegiatan sosial atau rekreasi demi mengakses internet. Individu yang banyak menggunakan waktunya untuk melakukan aktivitas yang ada kaitannya dengan internet, akan mengurangi aktivitasnya diluar aktivitas yang berkaitan dengan internet.

C. Kriteria Diagnostik Adiksi Internet

Kriteria diagnostik Internet addiction [20] mengemukakan kriteria  diagnostik  dari  Internet  Addiction  Disorder  (IAD) yaitu  penggunaan internet  yang  maladaptif yang  mengarah pada perusakan atau distress yang signifikan secara klinis dan terwujud melalui tiga atau lebih dari hal-hal berikut, yang terjadi kapan saja dalam periode 12 bulan:

1)  Toleransi, didefinisikan dengan dua cara. Pertama, demi mencapai kepuasan, jumlah  waktu  penggunaan  inter- net meningkat secara mencolok.Kedua, Kepuasan yang diperoleh dalam menggunakan internet secara terus menerus dalam waktu yang sama, akan menurun secara mencolok. 

2)  Withdrawal (penarikan diri), terwujud dari sindrom pe- narikan diri atau menghindari simpton penarikan diri tersebut. Sindrom penarikan diri (withdrawal syndrome) dibagi menjadi tiga bagian. Pertama penghentian atau pengurangan internet terasa berat dan lama kemudian dua atau lebih dari hal-hal berikut ini berkembang dalam beberapa hari hingga satu bulan:

*  Agitasi psikomotor

*  Kecemasan

*  Pemikiran yang obsesesif mengenai apa yang terjadi di internet

*  Khayalan-khayalan atau mimpi-mimpi tentang in- ternet

*  Gerakan jari seperti mengetik secara sadar maupun tidak sadar.

Dan terakhit Simptom-simptom pada kriteria 2 menye- babkan distress atau rusaknya fungsi sosial, pekerjaan, ataupun fungsi-fungsi penting lainnya.

3)  Internet sering digunakan lebih sering atau lebih lama dari yang direncanakan.

4)  Terdapat keinginan yang persistent atau  usaha  yang gagal dalam mengendalikan penggunaan internet.

5)  Menghabiskan  banyak  waktu  pada  aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan internet, misalnya membeli buku internet, mencoba mencoba browser WWW baru, meneliti vendor Internet, mengorganisasikan file yang diperoleh dari download di internet.

6) Kegiatan-kegiatan yang penting pada  bidang  sosial, pekerjaan, atau rekreasional dihentikan atau dikurangi karena penggunaan internet.

7)  Penggunaan internet tetap dilakukan walaupun menge- tahui adanya masalah fisik, sosial, pekerjaan, atau psikol- ogis yang timbul dan kemungkinan besar disebabkan atau diperburuk oleh penggunaan internet (kurang tidur, masalah-masalah pernikahan, terlambat masuk kerja, meninggalkan tugas-tugas pekerjaan, atau pasangan atau keluarga merasa diabaikan).

Dalam klasifikasi diagnostik gangguan mental terbaru (DSM-5), IAD masih dimasukkan ke dalam section III, artinya IAD masih membutuhkan banyak penelitian dan pengalaman untuk dianggap sebagai suatu gangguan dalam bidang keji- waan." Namun secara umum, kriteria diagnostik untuk IAD dapat dipahami dengan 8 kondisi di bawah ini:

1)  Pikiran terus menerus terfokus (preokupasi) pada inter- net.

2)  Adanya kebutuhan untuk menggunakan internet dengan durasi yang semakin panjang.

3)  Usaha untuk menghentikan penggunaan internet yang berlebihan selalu mengalami kegagalan.

4) Gelisah, emosi yang tidak stabil (moody), kesal dan mudah marah bila berusaha untuk menghentikan penggunaan internet.

5)  Online lebih lama dari pada kebutuhannya.

6)  Membahayakan atau mengorbankan hubungan dengan orang-orang yang bermakna dalam kehidupannya, pekerjaan, pendidikan dan karir demi internet.

7)  Berbohong kepada keluarga, terapis dan orang lain untuk menutupi kebiasaan penggunaan internet yang berlebi- han.

8)  Menggunakan internet sebagai pelarian.

Metode

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian analitik observational (non eksperimen) dengan pendekatan cross sectional karena hanya mengukur variabel pada satu waktu dengan pengisian kuesioner.

B. Instrumen Penelitian

Skor kecanduan internet diukur dengan kuisioner yang diadaptasi dari Youngs Internet Addiction Test yang telah divalidasi dan dinilai reliabilitasnya pada penelitian sebelum- nya. Kuisioner terdiri atas 20 pertanyaan. Pertanyaan dijawab dengan menggunakan metode Likert, yaitu pernyataan yang diikuti beberapa alternatif jawaban yang menyatakan kesesua- ian subjek terhadap pernyataan.

*  Selalu : Skor 5

*  Sering : Skor 4

*  Berkali  kali : Skor 3

*  Kadang  kadang : Skor 2

*  Jarang : Skor 1

Blueprint kuesioner adiksi internet terlihat di tabel I.

Norma yang dipakai dalam pengukuran menggunakan skala

Youngs Internet Addiction Test yaitu:

  • 0  - 30  : normal
  • 31  -  49 :  mild
  • 50 -- 79 :  moderate
  • 80- 100  :  severe

C. Uji Validitas

Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat in- strumen bersangkutan yang mampu mengukur apa yang akan diukur [29]. Sedangkan menurut [30] validitas merupakan tingkat keakuratan suatu alat ukur dalam mengukur hal yang ingin diukur. Suatu alat  ukur dikatakan valid jika alat  ukur tersebut mampu mencapai tujuan pengukuran yang dikehen- daki  dengan  tepat. Menurut [31],  uji  validitas  adalah  suatu langkah pengujian yang dilakukan terhadap isi (content) dari suatu instrumen, dengan tujuan untuk mengukur ketepatan instrumen yang digunakan dalam suatu penelitian. Uji validitas pada penelitian ini dilakukan terhadap instrumen IAT. 

Item disebut valid jika nilai korelasinya minimal 0,3. Validasi dilakukan terhadap 32 orang, di mana mayoritas berusia di bawah 21 tahun. Dari 20 pernyataan tersebut, terdapat satu item yang tidak  valid  yaitu  item  nomor  7  (nilai  korelasi 0,188), sedangkan yang lainnya mempunyai skor korelasi antara 0,334 sampai 0,942. Setelah dianalisis item nomor 7, diduga bahwa pertanyaan pada item tersebut kurang cocok untuk  orang  berusia  muda,  oleh  karena  itu  dilakukan  uji coba kembali dengan menyebarkan kuesioner terhadap 31 orang  di  mana  mayoritas  berusia  di  atas  30  tahun. 

 Dari 20 pertanyaan, semua item valid (item nomor 7 korelasinya 0,546) sedang item lainnya mempunyai skor korelasi antara 0,625 sampai 0,810.  Pertanyaan untuk item nomor 7  agar lebih berlaku umum untuk selanjutnya bisa diperbaiki dengan menyesuaikan kalimatnya, misalnya menjadi: 'Seberapa sering Anda memeriksa e-mail/ Line/ Path/ whatsapp/ instagram/ Facebook/ twitter/ shopee/ tokopedia/ JD-ID/ bukalapak/ SMS/ Lazada/ Blibli/ Zalora/ Hijup dulu sebelum melakukan hal lain?' Karena semua item pertanyaan valid, semua item dapat digunakan untuk pengukuran dan analisis lebih lanjut.

D. Uji Realibilitas

Reliabilitas suatu tes adalah seberapa besar derajat tes mengukur secara konsisten sasaran yang diukur. Reliabilitas dinyatakan dalam bentuk angka, biasanya sebagai koefesien. Koefisien tinggi berarti reliabilitas tinggi. Sedangkan menurut [30] reliabilitas merupakan  ukuran  sejauh  mana  hasil  suatu proses pengukuran dapat dipercaya. Tujuan dari pengujian realibitas ini adalah untuk menguji apakah skala yang dibagikan benar-benar dapat diandalkan  sebagai  alat  ukur. 

Uji reliabilitas dilakukan terhadap instrument adiksi internet. Uji realibitas pernyataan skala penelitian ini menggunakan Cronbach Alpha. Semakin koefisian alpha mendekati angka 1, maka semakin baik. Nilai Cronbach Alpha pada kuisioner adiksi internet pada uji coba I adalah sebesar 0,886 sedangkan pada uji coba II adalah sebesar 0,951. Karena mempunyai nilai Cronbach Alpha yang tinggi, maka dapat dikatakan IAT mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi.

E. Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis statistik-deskriptif dan statistik-inferensi. Kedua analisis ini dilakukan untuk melihat profil umur, jenis kelamin, dan skor adiksi internet sehingga memberikan informasi yang berguna. Statistik-inferensi digunakan untuk penarikan kesimpulan terhadap informasi dari hasil analisis statitik-deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

A. Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek yang terlibat dalam uji coba alat ukur, baik pada pengujian pertama (32 orang) maupun pada pengujian ke dua menandatangani terlebih  dahulu  lembar  kesediaan (informed consent) untuk menjadi subjek penelitian. Penandatanganan ini sebagai salah satu upaya untuk menjunjung etika penelitian. Jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian adalah 345 orang terdiri dari 200 laki-laki dan 145 perempuan. Berdasarkan umur, subjek 117 orang berusia 21 tahun atau kurang, dan sebanyak 228 subjek berusia di atas 21 tahun.

Kuisioner Youngs Internet Addiction Test dibagikan kepada semua responden untuk mengisinya yang bertujuan untuk mengukur skor adiksi internet. karakteristik subjek penelitain meliputi usia siswa dan jenis kelamin siswa terlihat pada tabel II.

Dokpri
Dokpri
Berdasarkan  tabel  II,  jenis  kelamin  subjek  terdiri  dari laki-laki  sebanyak  200 (57,97%)  dan  perempuan  sebanyak 145 (42,03%). Sedangkan bila dilihat berdasarkan umur subjek penelitian, umur subjek  dibawah  21  tahun  sebanyak 117 (33,91%), sedangkan umur subjek diatas 21 tahun se- banyak 228  (66,09%). Gambar 1 memperlihatkan data demografi.

Dokpri
Dokpri
B. Gambaran Adiksi Internet

Dari 345 subjek, nilai korelasi masing-masing item dengan skor total berkisar antara 0,370 sampai 0,719 dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,905. Untuk skor adiksi internet, terkecil adalah 20  dan  terbesar  adalah  100,  dengan  nilai rata-rata 37,157. Berdasarkan panduan penggunaan Youngs Internet Addiction test, maka dibuatlah skala untuk mengelompokkan tingkat adiksi internet ke dalam 4 kelompok, yaitu normal, mild, moderate, dan severe. Berikut tabel pengelompokan adiksi internet:

Dokpri
Dokpri
Dari tabel III, yang direpresentasikan pada gambar 2. Dapat diketahui bahwa mayoritas subjek masuk kategori mild yaitu sebanyak 185 orang (85,22%), kategori normal sebanyak 31,60 %, kategori moderate 14,20%, dan kategori severe hanya 2 orang (0,58%).

Dokpri
Dokpri
Kategori adiksi internet berdasar jenis kelamin dan umur dapat dilihat pada tabel IV serta ilustrasi pada gambar 3 dan 4

screen-shot-2018-12-29-at-18-47-57-5c275ea2bde575090e2accc3.png
screen-shot-2018-12-29-at-18-47-57-5c275ea2bde575090e2accc3.png
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
C. Perbedaan Skor Adiksi Internet berdasar  Jenis Kelamin

Perbedaan skor adiksi internet berdasar jenis kelamin dapat  diketahui melalui  uji  statistik  Independent  Sample  T-test jika  persebaran data  normal atau  Mann  Whitney  Test  jika persebaran data tidak normal,  serta  melihat  rata-rata  skor kedua variabel pada masing- masing jenis kelamin. Hasil dari tabel V menunjukkan bahwa subjek laki-laki memiliki rata-rata skor adiksi internet lebih tinggi dibanding perempuan.

Dari uji normalitas skor adiksi internet baik untuk laki-laki atau perempuan tidak berdistribusi normal (lihat lampiran), sehingga uji beda menggunakan Mann  Whitney Test. Dari uji ini didapatkan nilai signifikansi adalah 0,013(

D. Perbedaan  Skor Adiksi Internet berdasar  Golongan Usia

Perbedaan skor adiksi internet berdasar golongan usia dapat diketahui  melalui  uji  statistik  Independent  Sample  T- test jika  persebaran data  normal  atau  Mann  Whitney  Test  jika persebaran  data  tidak  normal,  serta  melihat  rata-rata  skor kedua variabel pada masing- masing golongan usia.

Hasil dari  tabel  VI  menunjukkan  bahwa  subjek  berusia 21  tahun  ke  bawah  memiliki  rata-rata  skor  adiksi  internet lebih tinggi dibanding usia 21 tahun ke atas . Dari uji normalitas skor adiksi internet untuk golongan I berdistribusi normal, sedangkan golongan II tidak berdistribusi normal (lihat lampiran). Karena tidak semua golongan berdistribusi normal maka uji beda menggunakan Mann Whitney Test. Dari uji ini didapatkan nilai signifikansi adalah 0,00(

Dokpri
Dokpri
E. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kategori Adiksi

Jenis kelamin mempunyai skala nomimal, sedangkan kategori adiksi mempunyai skala ordinal. Untuk melihat hubungan antar kedua variabel tersebut, maka harus mengikuti skala yang terendah. Salah satu teknik untuk mengetahui hubungan antar variabel nominal adalah dengan uji Chi Square. Dari uji Chi Square didapatkan hasil nilai signifikansi adalah 0,197 (>alpha=0,05) berarti hubungan tidak signifikan. Berarti dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kategori adiksi internet.

F.  Pembahasan

Penelitian dilakukan terhadap 345 subjek. Instrumen yang digunakan adalah kuisioner Youngs Internet Addiction Test (IAT). Berdasarkan pengolahan data dan pengujian statistik yang telah dijelaskan di atas, didapatkan hasil bahwa subjek laki-laki memiliki skor adiksi internet yang lebih tinggi daripada subjek perempuan. 

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian [32] yang menyatakan bahwa bahwa rerata tingkat kecanduan internet subjek laki-laki lebih tinggi dari subjek perempuan. Menurut Weiser (2000), sebagaimana dikutip oleh [33] dalam penelitiannya tentang perbedaan gender terhadap pola penggunaan internet dan aplikasi internet yang sering diakses menyimpulkan gender mempengaruhi jenis aplikasi yang digunakan dan penyebab individu tersebut mengalami ke- canduan internet. Dari hasil di atas diperoleh bahwa kelompok usia di bawah atau sama dengan 21 tahun mempunyai rata-rata skor adiksi internet lebih besar dibanding kelompok umur di atas 21 tahun.

Diskusi

A. Pendalaman dan Penyempurnaan terhadap Konsep Adiksi Internet

Lebih dari dua dekade konsep adiksi internet yang dike- mukakan oleh Young terus mengalami pengembangan dari ahli medis maupun akademisi. Namun hingga sampai saat ini terus dilakukan pendalaman dan penyempurnaan untuk mencapai kemapanan sebagai sebuah sains baru. Berikut adalah beberapa pendalaman kajian serta usulan penyempurnaan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

  • Definisi:  Definisi addiction dalam penggunaan internet menjadi kontroversi sejak pertama kali digagas oleh Young. [17] memberi definisi addiction sebagai bentuk ketergantungan secara psikologis seseorang dengan suatu yang tidak selalu berupa suatu benda atau zat. Berbeda dengan Konsep addiction di dalam kedokteran jiwa dikenal sebagai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSMIV) [36]. DSMIV didefinisikan sebagai ketergantungan seseorang terhadap substance atau zat yang merugikan tubuh (substance abuse). Hal yang sama dengan APA, Walden memberikan definisi addic- tion sebagai compulsion, menurutnya addiction (kecanduan) adalah tindakan yang melibatkan masuknya zat asing ke dalam tubuh manusia dan mempengaruhi keadaan tubuh [19]. Hingga pada akhirnya definisi addiction mengarah kepada 'behavioral addiction' yaitu bentuk kecanduan yang melibatkan suatu keharusan dalam perilaku tertentu yang tidak terkait dengan konsumsi zat aditif atau narkoba. Konsep definisi ini akhirnya disepakati oleh Grohol, Hansen, dan Young [37] [38] kemudian dijadikan sebuah nomenklatur baru.
  • Klasifikasi pengguna internet berdasarkan intensitasnya: [39] memberikan klasifikasi penggunaan internet menurut intensitas penggunaannya. Jenis pertama adalah gangguan perilaku berupa penggunaan internet secara berlebihan. Jenis kedua adalah penggunaan internet secara fungsional karena alasan pekerjaan,  untuk  hal  produktif,  dan berguna bagi hidup. Jenis ketiga adalah penggunaan internet untuk mendapat kepuasan seksual dan atau mendapat keuntungan sosial hal ini biasanya dilakukan orang yang pemalu atau introvert untuk bersosialisasi atau mengekspresikan fantasinya pada dunia maya. Jenis yang keempat adalah individu yang tidak atau hanya sedikit tertarik pada internet. Menurut Pratatelli, jenis yang pertama adalah yang disebut kecanduan intemet. Namun hal ini menimbulkan kontroversi, jika kita meman- dang adiksi internet adalah pengguna yang melakukan akses internet secara berlebihan bagaimana dengan pengguna yang pekerjaannya memang membutuhkan internet dengan inten- sitas tinggi. Apakah pengguna dengan jenis yang kedua ini dapat dikategorikan sebagai pecandu internet. Oleh karena itu perlu kategori atau pengklasifikasian yang lebih tepat yang digagas oleh ini Babington [40]. Menurut Babington kecanduan (addiction) dibedakan ke dalam 3 kategori, yaitu kecanduan yang dapat dikatakan sehat (healthy), kecanduan tidak sehat (unhealthy), dan kecanduan yang merupakan kombinasi dari keduanya. Konsep inilah yang mungkin lebih tepat untuk menggambarkan klasifikasi pengguna internet meskipun masih menjadi pertanyaan tentang bagaimana kategori menggunakan internet yang sehat dan tidak sehat. Apakah seseorang yang menggunakan internet dengan intensitas lebih untuk menye- lesaikan pekerjaannya itu dikatakan sehat. Atau  sebaliknya apakah yang menggunakan internet secara sehat itu adalah pengguna yang produktif. Jadi diperlukan sebuah definisi komprehensif tentang internet sehat dan tidak sehat sebelum dapat melakukan klasifikasi terhadap pengguna internet.
  • Pendeteksian  gejala  kecanduan  internet:   Terdapat  beberapa  cara  untuk  mendeteksi gejala  internet addiction. Gejala-gejala yang banyak digunakan oleh para ahli psikologi mengenai kecanduan internet ini masih berpangkal kepada kriteria pathological gambling yang tercantum di dalam DSM IV. Beberapa kriteria tersebut dituangkan kedalam kuesioner untuk menguji seseorang apakah internet addiction. Kriteria ini kemudian terus mengalami modifikasi dan pengembangan oleh ahli  psikologi untuk  mendapatkan hasil yang relevan. Uji adiksi internet menggunakan instrument yang ada menimbulkan masalah yang paling utama yaitu sulitnya untuk menjamin keobjektifan dari selfreport mengenai kecanduan, karena beberapa kriteria mempunyai kemungkinan untuk disembunyikan oleh subjek uji. Kriteria atau pertanyaan yang dimaksud misalnya apakah anda merasa gelisah, murung, depresi, atau mudah marah ketika berusaha mengurangi atau menghentikan penggunaan internet. Kriteria ini cenderung disembunyikan oleh subjek uji. Oleh karena itu diperlukan sebuah metode atau skenario khusus untuk menjamin objektifitas pengujian ini.
  • Kriteria Diagnostik:  Adanya realitas umum dibidang psikologi klinis bahwa seseorang yang diduga mengalami kecanduan tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan satu gejala kecanduan saja.  Perlu dilakukan pemeriksaan secara detail aspek psikologis lainnya untuk mendapatkan hasil yang lebih valid.
  • Perlunya validasi dengan instrument medis lain:   Adanya pemikiran bahwa IAD  belum  sampai  kearah  diagnosa  klinis  karena  masih sulit untuk divalidasi atau diverifikasi dengan uji klinis lainnya. Penelitian dasar komprehensif harus perlu dibangun dan dikombinasikan untuk mengamati fenomena IAD, mungkin secara neurofisiologis, neurokognitif, psikologis, dan sosiologis.
  • Perlunya Perbaikan atau penyesuaian kuesioner:  Kami telah melakukan analisis terhadap hasil survey dari sejumlah responden. Pada point pertanyaan nomor 7 yaitu Seberapa sering Anda memeriksa email dulu sebelum melakukan hal lain? mayoritas responden yang kami survey menjawab Jarang. Sebagimana kita ketahui, kondisi pada saat ini orang lebih sering melihat media sosial semisal what app, Instagram, facebook, situs belanja online sebelum melakukan kegiatan lainnya.
  • Psikolog atau Psikiater:   Bagi  seseorang  yang  sudah mengalami adiksi internet parah penanganannya menjadi tang- gung jawab psikolog atau psikiater belum ada pemisahan yang jelas. Seharusnya jika orang yang mengalami adiksi internet parah, namun tidak ada gejala lain yang mengarah ke psikosis penyelesaian permasalahan menjadi tanggung jawab psikolog melalui konseling atau terapi psikologis. Jika orang yang mengalami adiksi internet parah disertai gejala-gejala psiko- sis yang menyertai maka penyelesaiannya menjadi tanggung jawab psikiater.

B. Adiksi Internet dari Sudut Pandang Kuhn

Menurut Thomas Kuhn, revolusi ilmu pengetahuan melalui tahapan-tahapan: fase pra-paradigma, fase sains normal, fase anomali, dan fase munculnya paradigma baru. Pada fase pra-paradigma, sains masih terus berkembang. Fase ini disebut juga dengan fase immature science (ilmu pengetahuan yang belum matang). Fase ini merupakan sebuah periode yang memakan waktu lama. Pada periode ini juga muncul berbagai macam aliran pemikiran yang saling bersaing dan meniadakan satu sama lain, memiliki konsepsi-konsepsi yang berbeda mengenai masalah-masalah dasar disiplin ilmu dan kriteria apa yang harus digunakan untuk mengevaluasi teori-teori. Saat ini konsep, teori, dan penelitian tentang adiksi internet masih terus berkembang.

Banyak definisi tentang adiksi internet yang dikemukakan oleh para ahli. Kriteria diagnostik juga masih terus ditegakkan untuk mencapai kemapanan (misalnya adiksi internet yang belum ada di DSM IV, mulai dimasukkan dalam DSM V walaupun masih dalam bagian III, yang artinya masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat dikatakan sebagai gangguan jiwa. Berdasarkan tahapan-tahapan revolusi pengetahuan Kuhn, dengan memperhatikan perkembangan teori dan penelitian tentang adiksi internet, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan sains adiksi internet, berada pada fase pra-paradigma.

Menurut Kuhn bahwa pengalaman subjektif ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan suatu disiplin yang relatif. Demikian juga dengan konsep adiksi internet, misalnya definisi yang dikemukakan beberapa ahli juga tergantung latar belakang pakar, misalnya apakah sebagai psikolog atau sebagai psikiater.

C. Adiksi Internet dari Sudut Pandang Popper

Menurut Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi seperti anggapan mereka, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan melalui berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau  suatu  teori  dapat bertahan  melawan  segala  penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut corroboration. Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya. 

Selanjutnya Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan sementara (conjecture),  tidak  akan pernah  ada kebenaran  final.  Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat. Terkait hal ini, ia lebih suka memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang teori, hanya semata-mata didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia menegaskan bahwa suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia memiliki kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). 

Demikian juga konsep dan teori adiksi internet juga bersifat hipotetis, yang akan terus diuji/difalsifikasi dengan penelitian-penelitian mendatang. Misalnya berkaitan dengan alat ukur adiksi, seperti IAT yang terus menerus diuji validitas dan reliabilitasnya sebelum digunakan dalam pengukuran. Dari pengujian validitas pada masing-masing item pertanyaan instrumen IAT dapat disimpulkan bahwa seluruh item pertanyaan dapat dinyatakan valid. Uji realibitas juga dilakukan untuk menguji apakah skala yang dibagikan benar-benar dapat diandalkan  sebagai  alat  ukur. 

Nilai Cronbach Alpha pada kuisioner adiksi internet pada uji coba I adalah sebesar 0,886 sedangkan pada uji coba II adalah sebesar 0,951. Dapat disimpulkan IAT mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi dan dapat diandalkan. Kedua pengujian ini merupakan salah satu cara untuk memperkokoh konsep adiksi internet dapat diterima sebagai sains normal.

Walaupun sudah hampir 20 tahun sejak pertama kali disusun oleh Young, ternyata IAT masih tetap valid dan andal untuk digunakan sebagai alat ukur. Kriteria-kriteria diagnostik juga terus disempurnakan dan dipakai sebagai acuan untuk menyusun alat ukur, dan kemudian dilakukan pengujian/falsifikasi terhadap alat ukur tersebut. Ketika pengujian terhadap alat ukur adiksi internet sudah dilakukan berkali-kali dalam jangka waktu panjang, dan menunjukkan bahwa alat ukur tersebut masih valid dan andal, menunjukkan alat ukur tersebut makin corroborated (dikuatkan)

D. Adiksi Internet dari Sudut Pandang Teori Realitas

Dalam teori  realisme  sains.  realitas dalam  sains  dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1)  Realitas Objektif

2)  Realitas dalam Persepsi

3)  Realitas konstruksi

Ketiga realitas ini tidak bisa lepas dari para penemu saintifik. Sains seringkali mendeskripsikan dirinya di dunia yang benar- benar nyata. Yang bebas dari apa yang di pikirkan. Bahwa terdapat  suatu  deskripsi  tunggal  dari  dunia  itu.  Faktanya, sains sebenarnya dibangun dari realitas objektif, realitas dalam persepsi dan realitas yang dikonstruksi. Tidak selalu bebas dari apa yang kita pikirkan dan inginkan. Terdapat banyak deskripsi dan dunia(Pluralisme). dalam fisika modern tidak pernah bisa mengukur secara objektif. Semua eksperimen memilii margin of  error. Paul-Michel Foucault menyatakan dalam definisi gila, gila di dirikan oleh masyarakat kapitalis pada kaum-kaum non-produktif. Sehingga definisi gila adalah realitas yang di konstruksi. 

Dalam kutipan dari Philip Stokes di Philosophy: 100 Essential Thinkers (2004)'The theme that underlies all Foucaults work is the relationship between power and knowledge, and how the former is used to control and define the latter. What authorities claim as scientific knowledge are really just means of social control. Foucault shows how, for instance, in the eighteenth century madness was used to categorise  and  stigmatise  not  just  the  mentally  ill  but  the poor, the sick, the homeless and, indeed, anyone whose ex- pressions of individuality were unwelcome' [35]. 

Bagaimana dengan universalitas saint itu sendiri yang mendeklarasikan berlaku  secara  universal di  seluruh  ruang  dan  waktu  serta tidak tergantung nilai. Realitasnya, sains tidak selalu universal. Kadang tergantung ruang dan waktu serta sering tergantung nilai. Sebagai contoh hukum newton misalnya, berlaku untuk memodelkan dan membangun sebuah bangunan agar kokoh. Akan tetapi, hukum newton tidak berlaku lagi ketika mema- suki fisika modern dan teori relativitas einstein.

Universalitas sains seharusnya tidak tergantung konteks atau invarian makna dan bersifat kumulatif. Sebagai contoh yang lain adalah adiksi game. Apakah adiksi hanya berlaku untuk permainan saja? bagaimanakah dengan adiksi belajar? Ukuran kesehatanlah yang menjadi tolak ukurnya. Kemudian adiksi bekerja atau yang mencari uang yang sering disebut sebagai workaholic. Menurut Floyd itu juga merupakan adiksi.

Adiksi internet merupakan realitas objektif karena memang di dunia nyata ada orang-orang yang tidak bisa terlepas dari penggunaan internet dalam kehidupan sehari-hari sehingga menimbulkan perilaku yang kontraproduktif, misalnya: menjadi malas belajar, konflik dengan teman atau keluarga, dll.

Para ahli memandang adiksi internet dari sudut pandang yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang para ahli, menunjukkan bahwa adiksi internet adalah realitas dalam persepsi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa penggunaan internet dalam jangka waktu lama tidak selalu menimbulkan perilaku negatif, justru malah menimbukan perilaku produktif(misalnya berjualan online, youtuber). 

Untuk mencapai kesepakatan di antara para ahli atau peneliti tentang adiksi internet maka perlu disusun suatu pedoman atau alat ukur yang dapat digunakan bersama. Kriteria-kriteria diagnostik (misal dalam DSM V) adalah sebagai upaya untuk membuat konsensus bersama yang disepakati para ahli. Alat ukur adiksi internet juga disusun supaya ada acuan bersama untuk mengukur adiksi internet. Adanya kriteria diagnostik dan alat ukur ini menunjukkan bahwa adiksi internet merupakan realitas yang dikonstruksi.

Berdasarkan tinjauan dari pandangan Kuhn, pandangan Popper, pandangan dari sudut pandang realitas, dapat dikatakan bahwa adiksi internet adalah realitas saintifik yang terus dapat difalsifikasi, dan di masa mendatang dapat berada pada fase sains normal.

E. Pembahasan Komprehensif

Studi ini bertujuan untuk memberikan penjelasan menyelu- ruh tentang kerangka teoritis adiksi internet. Kami melakukan pembahasan landasan historis, gejala, metodologi dan instru- ment diagnose, kritik dan kontroversi adiksi internet. Kami juga melakukan survey sederhana terhadap 345 subjek melaui kuesioner IAT untuk mengetahui reabilitas dan prevalensi fenomena  ini.

Sudah  dua  dekade  sejak  pertama  kali  kon- sep adiksi internet dipublikasikan telah banyak yang mem- berikan feedback positif namun tidak sedikit pula menim- bulkan beragam kritik dan kontroversi. Konsep adiksi inter- net merupakan sebuah gagasan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan sains, psikologi maupun kedokteran. Sebagai sebuah konsep baru tentunya banyak menimbulkan perdebatan salah satunya adalah karena adiksi lebih erat kaitannya den- gan masuknya zat tertentu kedalam tubuh kemudian menim- bulkan kecanduan dan ketergantungan. Namun konsep ini terus diperkokoh dengan pengembangan instrument-instrument un- tuk menguji dan memperbaiki validitasnya. 

Hingga pada akhirnya  konsep  internet  addiction bergeser  kepada  behav- ioral addiction yaitu bentuk kecanduan yang melibatkan suatu keharusan dalam perilaku tertentu yang tidak terkait dengan konsumsi zat aditif atau narkoba. Konsep ini kemudian di- jadikan sebuah nomenklatur baru. Sebagaimana kita ketahui keberadaan  internet  telah  memberikan  banyak  kemudahan dan  keuntungan bagi  kehidupan dari  segi  sosial,  ekonomi, pendidikan, budaya dan menjadikan individu yang produktif. 

Di lain sisi, internet juga memberikan dampak negatif pada kasus penggunaan yang berlebihan sehingga diduga men- galami  adiksi  internet atau  mengalami masalah behavioral. Akan tetapi masalah muncul ketika seseorang menggunakan internet secara intensif dengan durasi yang relatif lama na- mun untuk kegiatan yang produktif apakah dianggap sebagai adiksi internet. Pada kasus seperti ini, sangat dimungkinkan mempunyai hasil survey yang sama dengan subjek yang kemungkinan besar  positif  adiksi  internet.

Oleh  karena  itu dimungkinkan adanya paradigma baru dengan memunculkan konsep internet engagement bagi mereka yang menggunakan internet intensif namun berdampak positif. Konsep ini tentunya memerlukan pengembangan kriteria penilaian untuk mendapatkan kesimpulan ini. Konsep penyakit adiksi internet juga dihadapkan pada persoalan bagaimana verifikasi diagnosa klinis. 

Seseorang dinyatakan mempunyai penyakit tertentu setelah merasakan gejala-gejala dan dikuatkan dengan satu atau beberapa pemeriksaan medis atau laboratorium. Pada kasus adiksi internet, seseorang dinyatakan sebagai pecandu internet hanya melalui kuesioner atau melihat secara visual gejala pada subjek. 

Sampai saat ini belum dapat dilakukan verifikasi dan falsifikasi melalui pemeriksaan laboratorium seperti teknik pencitraan, neurofisiologi atau reaksi kimiawi. Oleh karena itu sebagai sebuah nomenklatur baru selama dua dekade, konsep adiksi internet ini terus dikembangkan dan disempurnakan khususnya penguatan pada validitas pengujian untuk dapat berjalan sebagaimana sains normal. Hal ini dilakukan karena konsep adiksi internet masih terus menjadi kontroversi serta rentan terhadap upaya pelemahan, kritik, peniadaan atau pergeseran ke pseudo-science.

Kesimpulan

Pada studi ini telah dilakukan survey adiksi internet terhadap 345 responden menggunakan instrumen Young's Internet Addiction Test. Tujuannya adalah untuk memperkirakan prevalensi kecanduan internet serta menguji validitas instrumen tersebut. Pengujian terhadap instrumen IAT untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya sebelum digunakan dalam pengukuran. Dari pengujian validitas pada masing-masing item pertanyaan instrumen IAT dapat disimpulkan bahwa seluruh item pertanyaan dapat dinyatakan valid. 

Uji realibitas juga dilakukan untuk menguji apakah skala yang dibagikan benar-benar dapat diandalkan  sebagai  alat  ukur. Nilai Cronbach Alpha pada kuisioner adiksi internet pada uji coba I adalah sebesar 0,886 sedangkan pada uji coba II adalah sebesar 0,951. Dapat disimpulkan IAT mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi dan dapat diandalkan. 

Dari hasil survey terhadap 345 orang dewasa diperoleh populasi pada kategori adiksi   normal 31,60%, mild 53,62 %, moderate 14,20% dan severe hanya   2 orang  (0,58%).  Hasil uji beda berdasarkan jenis kelamin menggunakan Mann Whitney Test menunjukkan rata-rata skor adiksi internet untuk  laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan, namun dari uji Chi Square diperoleh hasil nilai signifikansi adalah 0,197((>a=0,05). Hasil ini menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kategori skor adiksi internet.

Kami juga melakukan kajian teori adiksi internet ditinjau dari filsafat ilmu khususnya teori filsafat Karl Popper dan Thomas Kuhn. Hingga sekarang konsep, teori, dan penelitian tentang adiksi internet masih terus berkembang. Banyak definisi tentang adiksi internet yang dikemukakan oleh para ahli. Kriteria diagnostik juga masih terus ditegakkan untuk mencapai kemapanan (misalnya adiksi internet yang belum ada di DSM IV, mulai dimasukkan dalam DSM V walaupun masih dalam bagian III, yang artinya masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat dikatakan sebagai gangguan jiwa. 

Berdasarkan tahapan-tahapan revolusi pengetahuan Kuhn, dengan memperhatikan perkembangan teori dan penelitian tentang adiksi internet, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan sains adiksi internet, berada pada fase pra-paradigma. Selain unsur objektfitas, konsep adiksi internet tidak lepas dari subjektifitas, misalnya definisi yang dikemukakan beberapa ahli juga tergantung latar belakang pakar, misalnya apakah sebagai psikolog atau sebagai psikiater.

Jika kita lihat dari sudut pandang filsafat Karl Popper, konsep dan teori adiksi internet juga bersifat hipotetis, yang akan terus diuji/difalsifikasi dengan penelitian-penelitian mendatang. Misalnya berkaitan dengan alat ukur adiksi, seperti IAT yang terus menerus diuji validitas dan reliabilitasnya sebelum digunakan dalam pengukuran. Dari pengujian validitas pada masing-masing item pertanyaan instrumen IAT dapat disimpulkan bahwa seluruh item pertanyaan dapat dinyatakan valid. pengujian ini merupakan salah satu cara untuk memperkokoh konsep adiksi internet dapat diterima sebagai sains normal.

Walaupun sudah hampir 20 tahun sejak pertama kali disusun oleh Young, ternyata IAT masih tetap valid dan andal untuk digunakan sebagai alat ukur. Kriteria-kriteria diagnostik juga terus disempurnakan dan dipakai sebagai acuan untuk menyusun alat ukur, dan kemudian dilakukan pengujian/falsifikasi terhadap alat ukur tersebut. 

Ketika pengujian terhadap alat ukur adiksi internet sudah dilakukan berkali-kali dalam jangka waktu panjang, dan menunjukkan bahwa alat ukur tersebut masih valid dan andal, menunjukkan alat ukur tersebut makin corroborated (dikuatkan). Jadi dapat disimpulkan bahwa adiksi internet adalah realitas saintifik dan bukan pseudosains, karena penentuan kriteria-kriteria diagnostik, penyusunan alat ukur, dan juga pengujian-pengujian terhadap alat ukur dilakukan dengan mengikuti tahapan-tahapan ilmiah, misalnya dalam pengujian alat ukur  menggunakan pengujian dengan berpedoman pada konsep dan aturan statistik.

Referensi

[1]  J. A. Bargh and K. Y. McKenna, "The internet and social life," Annu. Rev. Psychol., vol. 55, pp. 573--590, 2004.

[2]  P.  Ekasari and  A.  H.  Dharmawan, "Socio-economic impacts by  the internet usage of teenagers in villages," Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, vol. 6, no. 1, 2012.

[3]  R. Katz, "Social and economic impact of digital transformation on the economy," International  Telecommunications Union, p. 41, 2017.

[4]  A. A. K. S. Putri et al.,  "Analisis pengaruh sikap generasi milineal terhadap minat beli online pada situs jejaring sosial," Master's thesis, Universitas Islam Indonesia, 2018.

[5]  K.  S.  Young, "Internet addiction: The  emergence of  a  new  clinical disorder," Cyberpsychology & behavior, vol. 1, no. 3, pp. 237--244, 1998.

[6]  A. P. Association et al., "Diagnostic and statistical manual of mental disorders fourth edition, text revision," Arlington: American Psychiatric Association, 2000.

[7]  R. Poli, "Internet addiction update: diagnostic criteria, assessment and prevalence," Neuropsychiatry, vol. 7, no. 1, pp. 04--08, 2017.

[8]  S. Sussman, N. Lisha, and M. Griffiths, "Prevalence of the addictions: a problem of the majority or the minority?" Evaluation & the health professions, vol. 34, no. 1, pp. 3--56, 2011.

[9]  N.  Dewi  and  S.  K.  Trikusumaadi, "Bahaya  kecanduan  internet  dan kecemasan komunikasi terhadap karakter kerja sama pada mahasiswa," Jurnal  Psikologi, vol. 43, no. 3, pp. 220--230, 2017.

[10]  Y.-J. Kim, H. M. Jang, Y. Lee, D. Lee, and D.-J. Kim, "Effects of internet and smartphone addictions on depression and anxiety based on propensity score matching analysis," International  journal  of environ- mental research and public health, vol. 15, no. 5, 2018.

[11]  W. D. T. Sari, E. Herawati, and S. KJ, "Hubungan antara tingkat adiksi internet dengan derajat depresi pada siswi di smk 1 batik surakarta," Ph.D. dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017.

[12]  A. Seifi, M. Ayati, and M. Fadaei, "The study of the relationship between internet addiction and depression, anxiety and stress among students of islamic azad university of birjand," Int. J. Econ. Manag. Soc. Sci, vol. 3, pp. 28--32, 2014.

[13]  B. X. Tran, N. D. Hinh, L. H. Nguyen, B. N. Le, V. M. Nong, V. T. M. Thuc, T. D. Tho, C. Latkin, M. W. Zhang, R. C. Ho et al., "A study on the influence of internet addiction and online interpersonal influences on health-related quality of life in young vietnamese," BMC Public Health, vol. 17, no. 1, p. 138, 2017.

[14]  W. W. K. Ma and A. Wu, "Internet addiction: An interpersonal perspec- tive," International Journal of Journalism & Mass Communication, vol.

2016, 2016.

[15]  S. S. Alam, N. M. H. N. Hashim, M. Ahmad, C. A. C. Wel, S. M. Nor, and N. A. Omar, "Negative and positive impact of internet addiction on young adults: Empericial study in malaysia," Intangible Capital, vol. 10, no. 3, pp. 619--638, 2014.

[16]  M. Shaw and D. W. Black, "Internet addiction," CNS drugs, vol. 22, no. 5, pp. 353--365, 2008.

[17]  K. Young, "The evolution of internet addiction disorder," in Internet addiction.    Springer, 2015, pp. 3--17.

[18]  M. G. Duran and M. Garcia, "Internet addiction disorder," AllPsych Journal,  vol. 14, 2003.

[19]  J. C. Watson, "Internet addiction diagnosis and assessment: Implications for counselors." Journal  of Professional Counseling: Practice,  Theory & Research, vol. 33, no. 2, 2005.

[20]  I. GOLDBERG, "Internet addiction--internet addiction support group," MORAES, GTB; PILATTI, LA; SCANDELARI, L. Comportamento pa- tolo gico  provocado  pelo  uso  indevido  de  Internet:  uma  leitura  do ambiente produtivo e social. XXV  Encontro Nacional  de Engenharia de Produca o--Porto Alegre, RS, Brasil, vol. 29, 1996.

[21]  F.  Salicetia,  "Internet  addiction  disorder  (iad),"  Procedia-Social  and Behavioral Sciences, vol. 191, pp. 1372--1376, 2015.

[22]  W. Chin-Sheng and W.-B. Chiou, "The motivations of adolescents who are addicted to online games: A cognitive perspective," Adolescence, vol. 42, no. 165, p. 179, 2007.

[23]  M. Griffiths, "Technological addictions," in Clinical psychology forum. Division of Clinical Psychology of the British Psychol Soc, 1995, pp. 14--14.

[24]  M. M. Fenger, "Internet addiction. neuroscientific approaches and ther- apeutical interventions," 2015.

[25]    N. A. Shapira, T. D. Goldsmith, P. E. Keck Jr, U. M. Khosla, and S. L. McElroy, "Psychiatric features of individuals with problematic internet use," Journal of affective disorders, vol. 57, no. 1-3, pp. 267--272, 2000.

[26]    J. J. Block, "Issues for dsm-v: Internet addiction," 2008.

[27]   C.  A.  Essau,  Adolescent addiction:  Epidemiology, assessment,  and treatment.    Elsevier, 2008.

[28]    M. Griffiths, "Internet addiction: does it really exist?" 1998.

[29]   A. Suharsimi, "Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik," Jakarta:     Rineka Cipta, 2006.

[30]    S. Azwar, Penyusunan Skala Psikologi.   Pustaka Pelajar, 2006.

[31]    D. Sugiyono, "Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif r&b," 2010.

[32]   T. Ratnasari, "Pengaruh gender terhadap jenis kecanduan internet implikasinya bagi bimbingan dan konseling pada siswa sma negeri di kabupaten  pekalongan," Ph.D.  dissertation, Universitas Negeri  Semarang, 2017.

[33]    C.  C.  Frangos,  K.  C.  Fragkos,  and  A.  Kiohos,  "Internet  addiction among greek university students: Demographic associations with the phenomenon, using the greek version of young's internet addiction test," 2010.

[34]   E. B. Hurlock, Istiwidayanti, R. M. Sijabat, and Soedjarwo, Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga, Jakarta, 1990.

[35]    P. A. Stokes, Philosophy, 100 essential thinkers.  Enchanted Lion Books,2003.

[36]   A. P. Association et al., Diagnostic and statistical  manual of mental disorders (DSM-5).   American Psychiatric Pub, 2013.

[37]    J. M. Grohol, "Internet addiction guide," Recuperado el, vol. 6, pp. 25--6,1999.

[38]   S. Hansen, "Excessive internet usage or internet addiction? the implica- tions of diagnostic categories for student users," Journal  of Computer Assisted Learning, vol. 18, no. 2, pp. 235--236, 2002.

[39]   M. E. Pratarelli, B. L. Browne, and K. Johnson, "The bits and bytes of computer/internet addiction: A factor analytic approach," Behavior Research Methods, Instruments, & Computers, vol. 31, no. 2, pp. 305--314, 1999.

[40]    L. Babington, M. Christensen, and C. Patsdaughter, "Caught in the web of internet addiction," Nursing spectrum, vol. 4, no. 3, pp. 10--12, 2000

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun