Mohon tunggu...
Aviva Lyla
Aviva Lyla Mohon Tunggu... -

(dulu) senang baca, menulis, makan, melamun, dan tidur. punya blog di: kalamata.me & doktr.in

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Katartik - Siklon

27 Januari 2012   14:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:23 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13276769481484579603

Atap gedung pencakar langit, jam 11.49 malam.

Hampir tengah malam setelah hujan reda. Langit masih menyembunyikan bintang-bintang dan permukaan bumi masih menyebarkan semerbak tanah yang basah dan lembab.

Dua orang laki-laki berhadapan dalam jarak tiga langkah di sebuah atap datar gedung pencakar langit yang sangat tinggi. Karena tingginya, suara bising kendaraan tak berkesudahan yang merayap dan berlari di jalanan tidak lagi terdengar. Hanya kelap-kelip lampunya yang masih terlihat liar dan menyisakan ironi keheningan pada gemuruh hidup yang tak pernah menyerah.

Laki-laki pertama, berdiri risau. Wajahnya tegang. Tangannya sedikit bergetar. Mencoba menguatkan dirinya, memulai membuka mulutnya, “Apa yang kau inginkan? Di mana anak-anakku? Apa yang kau lakukan pada mereka?”

Laki-laki kedua, berdiri tenang. Wajahnya datar. Tangannya memegang pistol. Dengan suara tenang dia menjawab, “Tenang, tenanglah, mereka baik-baik saja. Mungkin saat ini mereka sedang tidur nyenyak bersama ibu mereka di rumahmu. Itu tadi hanya untuk menarik perhatianmu, agar kau mau mengikutiku ke sini. Lalu tentang apa yang kuinginkan, akan dapat segera kau penuhi. Di sini.”

“Mintalah apa saja, lakukan apa saja. Tapi tolong, jangan sakiti mereka !”, laki-laki pertama memohon.

“Tentu saja aku tidak akan menyakiti mereka. Aku bukan monster. Mereka masih terlalu muda, masih banyak waktu mereka untuk menghidupi kehidupan. Aku di sini hanya untuk meminta satu hal saja. Hidupmu.”

Segera setelah selesai mengucapkannya, jari telunjuk laki-laki kedua dengan cepat menekan dua kali pelatuk pistol yang dipegangnya. Terdengar dua kali desingan angin yang hampir bersamaan. Shlesh. Laki-laki pertama itu tidak dapat lagi menahan tubuhnya. Kakinya seperti terpotong. Lututnya dengan cepat membentur lantai atap. Dua buah peluru tepat menembus dua tempurung lututnya. Ia masih mencoba menguatkan dirinya, berdiri dengan kedua lututnya.

“Tttt..tunggu dulu. Apa yang kau lakukan ? Kenapa kau ingin membunuhku ?”, ucap laki-laki pertama dengan tergetar.

“Semua yang hidup pasti mati. Kau hidup dan pasti akan mati. Entah sekarang atau nanti. Kalau bukan aku yang membunuhmu sekarang, suatu saat nanti kau juga pasti akan mati. Jika tidak olehku, mungkin kau akan dibunuh oleh yang lain, teman, keluarga, saudara, musuh, penyakit, umur, atau waktu. Semuanya adalah kepastian. Terimalah dan sadarilah. Aku hanyalah sekedar jalan yang dipilih Tuhan untuk mengakhiri hidupmu.”

“Ooo, jadi orang seperti kau juga percaya pada Tuhan, ya ?”, laki-laki pertama mencoba tegar. Darah mulai mengalir dari kedua lututnya. Perih mulai merajam kedua kakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun