Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dokter Boleh Gak Ngomel ke Pasien?

11 Mei 2014   21:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata si tuan A tambah menjadi-jadi hingga akhirnya rekan saya mencoba tuk berkomunikasi dengan keluarga yang mengantar, sepertinya yang ada saat itu anak si tuan A.

"Mba...tolong dibantu bapaknya. Kalau begini terus saya tidak bisa memeriksa beliau" namun ternyata si tuan A salah tangkap dan malah mengira rekan saya memarahi anaknya.

"Eh dokter jangan bawa-bawa dan marahi anak saya ya. Siapa dokter kok berani bentak-bentak anak saya"

Dan rekan saya pun layaknya manusia yang punya batas kesabaran, mencoba dengan senyum menjawab si bapak.

"Saya juga anak bapak saya ya. Siapa anda berani bentak-bentak anak orang juga. Kalau bapak mau dihargai, silakan hargai orang lain juga" dan untuk menghindari emosi yang masih memanas, rekan saya mundur ke belakang alias ke ruang jaga. Kebetulan sebentar lagi jam operan jaga IGD yang artinya akan ada dokter pengganti. Kebetulan juga dokter pengganti ini punya daya sabar di atas rekan saya itu.

Dan....ternyata, si dokter pengganti pun tidak "mendiagnosa" pasien emosional tadi karena hal yang sama dengan yang pasien lakukan terhadap dokter. Pasien menolak dokter menyentuh, memeriksa bahkan bertanya-tanya sementara dia ingin diobati. Hingga akhirnya pasien yang tidak jelas keluhannya itu pulang dengan sendirinya. Kalau dilihat dari segi kegawatdaruratan mungkin tidak terlihat secara jelas karena pasien tipe seperti ini sebenarnya bisa menunggu untuk periksa di poli atau berkunjung ke dokter spesialis di praktek pribadi.


Dalam kasus ini, diagnosis pasien tidak dapat ditegakkan karena pasien tidak dapat diajak berkomunikasi.Keluarganya pun memilih membawa pulang pasien lantaran malu si bapak bikin heboh IGD dengan marah-marah. Kita pun tidak dapat mengatakan adanya gangguan kejiwaan yang diderita pasien karena hasil diagnosis belum sempurna. Salah-salah memberikan obat penenang malah bisa berakibat fatal.

Komunikasi Dua Arah

Ibarat pasangan hidup, dokter dan pasien sebenarnya dapat dikatakan saling membutuhkan. Dokter tidak mungkin bisa jadi dokter kalau tidak ada pasien yang menjadi tempatnya mengabdikan diri. Keduanya mungkin seperti pasutri yang harmonis di awal saja namun ketika berantem dapat berakhir mengerikan. Keduanya sama-sama berawal dari komunikasi yang kurang baik. Hanya bedanya, dokter lebih membutuhkan segala informasi dari pasien terkait apa yang dikeluhkan agar mampu menegakkan diagnosis.

Bahwa ilmu kedokteran sangat luas dan seperti seni itu adalah benar. Sama-sama datang dengan batuk boleh jadi satunya hanya rawat jalan, satunya pengobatan enam bulan berturut-turut, atau malah satunya lagi berakhir di ICU. Satu gejala tidak dapat menjelaskan langsung kemana arah diagnosis. Oleh karenanya, penting untuk pasien setiap hadir berobat didampingi oleh keluarga atau orang yang dipercaya agar dapat membantu dokter untuk mendapatkan informasi penting terkait sakit yang dirasakan.

Tidak Benar-Benar Marah Kok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun