Namun sebelum GBKP sepenuhnya mengelola kegiatan pelayanan di gereja, Jepang sudah tiba di Sumatera. Kedatangan Jepang ke Sumatera membuat Belanda merasa terdesak dan akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Tepatnya pada tanggal 12 Maret 1942 Jepang akhirnya tiba di Pantai Cermin dan dengan sangat mudah masuk ke wilayah Sumatera Timur. Kedatangan Jepang ke Sumatera khususnya ke Tanah Karo seakan-akan menjadi mimpi buruk bagi Moderamen yang baru saja terbentuk.Â
Pasalnya Jepang menawan semua warga Belanda termasuk para pendeta, guru agama, dokter, dan suster. Tidak hanya itu Jepang juga mencurigai kalau masyarakat Karo yang menganut agama Kristen berada di pihak Belanda. Karena masyarakat Karo tidak mau menyembah Kaisar Jepang dan tidak mau membungkuk ke arah matahari terbit. Jepang juga mengeluarkan peraturan yang mengharuskan masyarakat Karo untuk menanam padi, jagung, ubi, dan kapas untuk kebutuhan perang Asia Raya. Serta mengambil alih kepemilikan Loemboeng Kristen Si Sampat-Sampaten (LKSS) milik masyarakat Desa Singgamanik dan Munthe.
Kedatangan Jepang membuat keadaan sosial ekonomi Moderamen menjadi semakin buruk. Apalagi Jepang menawan semua warga berkebangsaan Belanda termasuk Pdt. Van Muylwijk, Pdt. W. Smith, dan Pdt. H. Vuurmans yang mengakibatkan kekosongan dalam kepengurusan Moderamen. Sehingga untuk mengatasi kekacauan dalam tubuh GBKP akibat pendudukan Jepang dilaksanakanlah Sidang Sinode kedua di Sibolangit pada tanggal 23 September 1943. Adapun hasil Sidang Sinode kedua yaitu: pertama menerjemahkan tata gereja ke dalam bahasa Karo. Kedua memilih pengurus Sinode yang baru: ketua Pdt Thomas Sibero, wakil ketua Pdt Palem Sitepu, sekretaris Guru Injil Ng. Munthe dan bendahara Pertua Pa Murmur beserta dua orang anggotanya.
Sidang Sinode kedua proses kemandirian GBKP mulai menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, karena GBKP sudah dipimpin oleh tokoh Kristen Karo serta sudah menggunakan tata gereja ke dalam bahasa Karo. Walaupun sudah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan namun GBKP juga dihadapkan ke dalam situasi yang berat. Karena pada masa kekuasaan Jepang semua tenaga penginjil baik dari pendeta maupun guru agama yang berkebangsaan Belanda ditangkap, sehingga membuat GBKP kekurangan tenaga penginjil. Selain itu pada masa kekuasaan Jepang masyarakat dipaksa untuk menanam bahan makanan untuk kebutuhan perang Asia Raya yang membuat masyarakat Karo tidak mampu memberikan persembahan kepada gereja, sehingga berdampak terhadap pendanaan di gereja. Pada masa kekuasaan Jepang ada beberapa tenaga penginjil yang mengundurkan diri, karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi. Namun ada juga yang mengambil dua peran sebagai guru agama di gereja dan juga guru agama di sekolah.
Pada tahun 1945, Setelah proklamasi kemerdekaan pemuda di Tanah Karo membentuk organisasi-organisasi anti terhadap Kolonial Hindia Belanda. Organisasi ini terbentuk karena rasa sakit hati masyarakat kepada penguasa lokal yang telah bertindak tidak adil terhadap para pekerja kebun, karena sudah memaksa pekerja kebun untuk menanam perbekalan untuk perang Asia Raya dan juga mengambil lumbung persediaan makanan milik masyarakat Karo yang mengakibatkan masyarakat Karo kekurangan bahan pangan.Â
Organisasi pemuda ini juga beranggapan bahwa masyarakat Karo yang beragama Kristen merupakan komplotan Belanda, sehingga banyak masyarakat Karo yang beragama Kristen ditangkap bahkan Pdt. Pasaribu dan guru agama Simatupang dibunuh. Penderitaan GBKP semakin parah setelah Belanda kembali memasuki Tanah Karo pada tahun 1947, karena Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) yang anti terhadap republik.Â
Sehingga selama pendudukan Belanda di Tanah Karo masyarakat Karo melakukan strategi taktik bumi hangus, agar Belanda tidak bisa memanfaatkan desa-desa di Tanah Karo sebagai tempat persinggahannya. Dengan dilakukannya taktik bumi hangus memicu terjadinya pengungsian besar-besaran dan membuat pelayanan Moderamen terhenti sementara. Kemudian Pada tanggal 17 Januari 1948 dilakukan perjanjian Renville. Masyarakat Karo keluar dari pengungsian dan mulai membangun desanya masing-masing.
Setelah keluar dari pengungsian Moderamen dan NZG melakukan sebuah pertemuan untuk membahas pembangunan kembali GBKP. Pertemuan ini dilakukan pada tanggal 21-22 September 1948. Pertemuan ini dihadiri 11 orang, 8 orang perwakilan Moderamen dan 3 orang perwakilan NZG. Dalam pertemuan ini kedua belah pihak menyetujui bahwa proses kemandirian GBKP sudah di mulai sejak tahun 1941. Sehingga segala bentuk tanggung jawab, mulai dari teologi, daya, dan dana sudah menjadi tanggung jawab GBKP. Sehubungan dengan kesepakatan itu maka; gereja, rumah pendeta, rumah guru agama, sekolah, rumah sakit, poliklinik dan kios-kios tempat menjual buku yang dibangun oleh NZG beralih kepemilikan menjadi hak milik GBKP.
Sejak pertemuan itu NZG menjadi mitra GBKP dalam mengabarkan Injil Kemudian untuk meresmikan kesepakatan antara perwakilan NZG dan perwakilan Moderamen tersebut dilaksanakanlah Sidang Sinode ketiga pada tanggal 13-14 Oktober 1948. Selain itu dalam Sidang Sinode ketiga ini juga menyusun pengurus Moderamen yang baru, adapun susunan kepengurusannya yakni ketua Pdt. Thomas Sibero, sekretaris Gr. Ng. Munthe dan bendahara Pengetua Albert Tarigan.
Referensi
Cooley, F. L., & Team Penelitian GBKP. (1976). Benih Yang Tumbuh IV. Lembaga Penelitian dan Study Dewan Gereja-Gereja Di Indonesia