Mohon tunggu...
Auvi Alfiani
Auvi Alfiani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Prodip 1 Spesialisasi Pajak BDK Balikpapan 2014

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jangan Tinggal, Singgah Saja Sudah Cukup

28 Juni 2015   10:04 Diperbarui: 28 Juni 2015   10:04 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Terik siang dan guyuran hujan yang silih berganti tak menentu ini agaknya menggangu aktivitas Nona, apakah Tuan demikian ? Nona harap tidak, Tuan. Tuan, tahukah bahwa kini ada rasa yang tak karuan dalam hati Nona, layaknya rinai hujan dan terik panas yang tak tentu ini ? Tapi Nona tak berani mengakui apa itu. Akan tetapi, maukah Tuan mendengarkan sedikit saja gundah yang memenuhi relung hati Nona ? Nona dan Tuan agaknya dipertemukan Tuhan dengan cara demikian, yang Nona rasa sedikit mirip dengan kisah-kisah klasik ala sepantaran Tuan dan Nona. Memang, Nona tak mengenal betul siapa Tuan, namun yang Nona tahu Tuan adalah seorang yang begitu punya ketegasan walau kadang ketegasan itu Tuan hadirkan hingga membuat orang sekitar bergumam, beraut tak suka. Lama pula memang, hati dan pikiran Nona dipenuhi oleh ketidaksukaan Nona pada cara bersikap Tuan, apalagi perkataan yang keluar dari mulut Tuan. Maafkan jika Nona mengaku demikian, namun apa daya Tuan memang demikian adanya. Selang waktu bergulir, lama pula Tuan dan Nona memulai berjalan beriringan. Tak jarang pula Tuan dan Nona berjalan bersama diiringi liku gejolak adu mulut. Nona rasa itu biasa terjadi di kalangan sepantaran Tuan dan Nona, terlebih lagi pada Tuan dan Nona yang baru saja berjalan beriringan. Tuan memanglah Tuan yang demikian, begitu pula Nona. Berjalan beriringan memang tak selamanya selalu mulus, akan ada rintikan hujan atau bisa jadi pelangi yang menyapa. Kiranya Tuanlah yang menciptakan itu semua, dan kiranya pula Tuan mengiyakan. Bagi Nona, itu bukan. Kenapa Nona menolak rinai hujan serta pelangi yang menyapa ? Nona hanya tak ingin terbang lebih tinggi lagi, sudah lelah Nona pergi ke awan jika pada akhirnya hanya batuan yang menjadi alasnya kala terhempas jatuh nantinya. Tapi kicauan di sekeliling Tuan dan Nona berkata lain daripada hati Nona, kicauan itu berulang kali meyakinkan Nona bahwa Tuan memang menciptakan pelangi itu hadir setelah rinai hujan menghampiri Nona. Tapi sekali lagi, Nona menolak. Senja yang menyingsing di ufuk barat, kembali mengingatkan Nona akan Tuan yang sekali lagi dengan intensitas yang cukup tinggi datang menghampiri Nona dengan segala kepayahannya mencoba menghadirkan pelangi yang nyata untuk meyakinkan Nona. Entah mengapa, hati Nona mulai meluruh. Nona mengiyakan jika pelangi itu hadir untuknya, Nona mengakuinya. Entah yang keberapa kalinya Tuan dan Nona berjalan beriringan di atas dunia fana ini, mulai terlihat langit cerah di mata Tuan dan Nona. Membuat kicauan sekitar makin melengkingkan suaranya. Tuan dan Nona pun telah sedia mengembangkan senyum untuk berdua. Berdua saja. Tapi tiba-tiba saja gemuruh mulai datang, mungkin hujan akan turun. Tetapi Tuan dan Nona meyakinkan satu sama lain, bahwa Tuan dan Nona adalah dua yang sama-sama paham akan aturan, semoga tidak bebal untuk melanggarnya. Jika di antara Tuan dan Nona ada yang mulai salah atau melampaui batas, tolong ingatkan. Benar-benar tolong ingatkan. Demikian Tuan dan Nona saling berikrar, bersama langit cerah yang kembali menyapa. Berjalan beriringan, siapa yang tak menginginkan itu terus berlangsung ? Tanpa sadar, Tuan dan Nona sendirilah yang membuka jalan pintas untuk segera mengakhiri keberiringan itu, menjadi berpikir untuk segera saling berjalan berbeda arah di persimpang depan. Realita yang telah menjadi takdir tertulis, bahkan sejak Tuan dan Nona belum mengenal dunia ini. Takdir bahwa keadaan yang melekat pada diri Tuan dan Nona bagaimanapun juga tak akan mengantar Tuan dan Nona beriringan hingga akhir. Bagaimanapun, aturan itu tak akan ingin dan tak kan mampu Tuan dan Nona lawan. Karena kembali pada ikrar terdahulu bahwa Tuan dan Nona adalah dua yang sama-sama paham akan aturan, yang selalu mensemogakan untuk senantiasa tidak bebal untuk melanggarnya. Nona memang paling peka akan keadaan itu, hingga mulai ancang-ancang untuk tidak lagi berpayah-payah berjalan beriringan lagi. Tapi Tuan, tidak tersirat sama sekali pada rautnya untuk memahami takdir ini. Entah Tuan yang berpura-pura tak hiraukan realita ini, atau hanya memalingkan muka karena tak ingin mengakhiri keberiringan ini sesegara mungkin. Namun kecemasan telah menggelayuti hati dan pikiran Nona. Nona hanya tak ingin rasa ini makin menancap, hingga harus berpayah-payah untuk menghapusnya kala waktu perpisahan itu tiba. Hanya saja memang, jarak kini mulai tercipta. Tuan dan Nona tak akan lagi sesering dahulu berjalan seiring, mungkin Nona melangkah cepat di depan atau Nona yang bertahan melangkah lambat di belakang Tuan. Rupanya Tuan juga menahan segala jarak yang sengaja tercipta ini. Nyatanya, Tuan dan Nona kini hanya mampu memandang dari jauh. Hanya berani merindu lewat angin yang berhembus. Hanya berani berucap rindu lewat do’a, melewati sujud panjang di sepertiga malam. Entah, hanya saja Nona ingin sekali meminta tolong pada Tuan. Tolong ciptakan makna bagi Nona, apa saja tentang saat ini. Apa, mengapa, dan bagaimana saat ini antara Tuan dan Nona ? Rintikan hujan, bahkan rerumputan di pekarangan yang bersanding dengan bunga yang menguncup pun tahu, Tuan dan Nona saling menunggu tapi tidak saling tahu. Bukankah menyedihkan ? Kapan kita ke mana lagi ? Nona ingin, Tuan. Tapi jangan, jangan ciptakan lagi kedekatan antara Tuan dan Nona. Kembali lagi, Tuan dan Nona sama-sama tak ingin berpayah-payah nantinya, hanya demi melepas rasa yang tertanam, yang sama-sama Tuan dan Nona ciptakan sendiri. Sudahlah Tuan, jangan lepas pemahaman aturan yang telah Tuan dan Nona genggam selama ini. Berpayah-payah hingga berdarah-darah pun, tak akan Nona mampu melangkahi takdir yang tak tertulis ini. Nona harap Tuan mengerti. Semoga senja ini, mampu melukiskan betapa Tuan dan Nona masih saling menggenggam hati satu sama lain. Namun, cepat atau lambat hati harus rela saling melepas, lalu saling meninggalkan. Nona harap, Tuan beranjak dengan senyuman, karena senyuman itu yang akan menjadi kenangan terakhir yang akan Nona simpan baik-baik di sudut ruang kosong hati Nona. Sebab ruang kosong dalam hati Nona selamanya tak akan pernah benar-benar terisi, hanya karena penghuninya tak akan pernah berputar arah kembali. Cukup Tuan dan Nona saling singgah, jangan tinggalkan apapun, cukup jejak kenangan saja. Selamanya, Tuan dan Nona akan memahamkan diri akan hal itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun