Toxic positivity, kata-kata ini asing bagi sebagian orang namun sering kali diterapkan oleh banyak orang, tidak terkecuali orang tua. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran seseorang pada dirinya sendiri akan apa yang dibutuhkan dalam kesulitan yang sedang dialaminya, sehingga mereka menerima semua saran yang diberikan tanpa 'disaring' terlebih dahulu.
Psikolog Konstantin Lukin dari Amerika menyatakan bahwa Toxic Positivity adalah sebuah konsep yang menerangkan bahwa berpikir positif merupakan cara tepat untuk menjalani hidup dan hal itu termasuk menolak segala sesuatu yang dapat memicu hadirnya emosi negatif. "Jangan nyerah ya!", "Semua bakal baik-baik aja", dan "Kita ambil sisi positifnya aja ya" merupakan kata-kata yang seringkali dilontarkan seseorang maupun diri sendiri dengan tujuan memberi semangat kepada orang yang sedang mengalami kesulitan. Tidak jarang juga ditemukan orang yang membandingkan kesulitan yang dialaminya dengan orang lain. Tanpa kita sadari, itu merupakan salah satu sikap toxic positivity yang dapat membuat orang lain merasa tertekan.
Self-love adalah sikap seseorang dapat menerima dan mencintai diri sendiri. Sikap ini sangat penting dalam aspek kesehatan mental pada remaja. Lalu, apa hubungannya self-love dengan toxic positivity?Â
Kata-kata penyemangat yang dilontarkan bisa menjadi racun bagi penerimanya dan mengubah self-love tersebut menjadi self-blame yang dimana orang tersebut akan mencintai dirinya hanya dalam kondisi yang 'baik' dan menyalahkan dirinya sendiri saat sedang dalam kesulitan.
Dampaknya, seseorang akan merasa terisolasi dan dapat memicu berbagai kesehatan mental seperti depresi, anxiety, ataupun PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Mereka akan sulit dalam mengungkapkan emosi-emosi negatif yang sedang dialami karena sudah menuntut diri mereka sendiri untuk terus berpikir positif, dan hal tersebut dapat memperlambat proses penyembuhan mereka secara emosional.
Data dari WHO (World Health Organization) menunjukkan 1 di antara 7 anak berusia 10-19 tahun mengalami masalah kesehatan mental. Juga survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menunjukkan sebanyak 15.5 juta atau sekitar 34.9% remaja mengalami masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, sangat penting adanya kewaspadaan terkait toxic positivity karena dapat memicu masalah mental yang serius.
Solusi dalam menghindari toxic positivity ini adalah dengan berusaha memahami, bukan menghakimi orang yang sedang mengalami kesulitan. Daripada melontarkan kata-kata "jangan nyerah ya!" lebih baik diubah menjadi "Gapapa, nangis bukan berarti kamu lemah kok, keluarin aja". Mulailah jujur pada diri sendiri terhadap apa yang sedang dirasakan.
Bagaimana jika seseorang tidak bisa menghindari kata-kata tersebut dan mulai merasa tertekan? Di saat mulai menyadari bahwa mereka tidak baik-baik saja, sebaiknya dibawa untuk berkonsultasi ke psikolog maupun psikiater. Mereka akan dianjurkan untuk menulis jurnal mengenai apapun yang sedang mereka rasakan.Â
Kesimpulannya, toxic positivity hanya menciptakan ilusi self-love yang memberikan kebahagiaan sesaat dan dapat berujung self-blame karena mereka hanya mencintai diri mereka dalam keadaan 'baik-baik saja'. Self-love yang sehat adalah menerima diri sendiri apa adanya baik dalam kesulitan maupun tidak. Remaja harus lebih meningkatkan kesadaran diri bahwa emosi negatif juga dibutuhkan dalam diri sendiri.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI