Mohon tunggu...
Aura Saskia Faulin
Aura Saskia Faulin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Belanda

“One learns from books and example only that certain things can be done. Actual learning requires that you do those things.” – Frank Herbert

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Media di Belanda dan Indonesia terhadap Pelanggaran HAM "Peristiwa Westerling"

21 Juni 2022   08:45 Diperbarui: 21 Juni 2022   08:57 1798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembantaian Westerling. foto/www.dictio.id

Dari masa ke masa, media massa terus berkembang menjadi sarana komunikasi massa yang berperan sebagai komunikator dan penggerak perubahan di lingkungan masyarakat yang mempengaruhi dan menjangkau masyarakat melalui pesan berupa informasi. Isu HAM merupakan isu menarik yang perlu diperhatikan saat ini. 

Maka dari itu, media massa memiliki kemampuan untuk mensosialisasikan konsep HAM kepada publik, dengan harapan khalayak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu sosial, khususnya isu HAM. 

Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan menyebabkan beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia ,yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan perang. Pelanggaran HAM ini menyebabkan banyaknya tanggapan yang diberikan masyarakat di media massa tidak hanya di media Indonesia namun di media Belanda juga memberikan tanggapan terhadap hal itu.

Media massa di Belanda memiliki pandangan yang berbeda dalam menanggapi tragedi pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan. Masyarakat Belanda memiliki pandangan masing-masing dalam memperdebatkan fakta yang terdapat dalam peristiwa Westerling. 

Pendapat ataupun fakta yang mereka ketahui tentang peristiwa tersebut dituangkan dalam media massa yang berupa buku. Salah satu buku berbahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya” berisi tentang keterangan-keterangan sejarah yang ditulis oleh seorang anak pelaku yang menjadi bagian pasukan yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Seorang anak pelaku ini memiliki rasa ‘penasaran’ untuk mengetahui peranan ayahnya selama ayahnya menjadi bagian pasukan Westerling. 

Dalam buku ini diceritakan bahwa Peristiwa Sulawesi Selatan diartikan sebagai suatu peristiwa yang khas dalam sejarah Belanda, namun peristiwa itu (melibatkan aksi kekerasan yang dilakukan Kapten Westerling beserta pasukan ayahnya dan telah menyebabkan jatuhnya banyak korban tewas di Sulawesi Selatan) dinyatakan hanya sebagai kelanjutan dari pelatihan yang sebenarnya. 

Hasil penelitian yang ditemukan dalam buku ini adalah hal yang diungkapkan selama ini, tidak terpikirkan oleh sebagian bangsa Belanda maupun bangsa Indonesia juga.

Mengapa mereka orang Belanda tidak percaya atas pembunuhan rakyat Sulawesi Selatan yang kejam dalam jumlah yang besar dan mengapa tindakan pembunuhan itu harus terjadi?

Biasanya masyarakat hanya mendengarkan informasi sejarah dari satu sisi tanpa melihat sisi yang lainnya. Dapat disimpulkan dalam buku ini bahwa adanya kepercayaan penulis terhadap kekejaman yang dilakukan Westerling bersama pasukannya menelan banyak korban dan pembantaian yang dilakukan ini termasuk dalam pelanggaran berat HAM (termasuk dalam kejahatan perang). Buku ini akan membuka pikiran masyarakat Belanda tentang apa yang terjadi di Sulawesi Selatan dan dampak adanya perang yang dipaksakan oleh pemerintah Belanda di sana. 

Kebanyakan masyarakat Belanda ketika mengetahui betapa kejamnya pembantaian Westerling, mereka sulit mempercayai apa yang diungkapkan dalam buku ini. Buku ini tidak menganggap bahwa kekerasan sebagai fenomena yang biasa namun individu mungkin terjebak dalam situasi yang memaksa mereka untuk mengikuti kemanusiaan. 

Sebaliknya, seorang individu memiliki kemungkinan untuk memanifestasikan sisi kekerasan mereka jika sebuah kelompok mengizinkan mereka untuk melakukannya. Kekerasan memberikan alternatif lain terhadap dominasi permusuhan terhadap musuh ketika datang ke periode revolusi.

Selain pandangan media di Belanda, Indonesia sebagai negara yang menjadi korban pembantaian Westerling memiliki pandangan terhadap hal tersebut. Dendam sejarah masa lalu masih membuat sebagian orang Indonesia masih menyimpan citra kelabu tentang penjajahan Belanda. 

Permasalahan yang diangkat bermacam-macam di media Indonesia pasca pembantaian Westerling. Adapun memuat bagaimana tanggapan pemerintah Indonesia terhadap sosok kontroversial Westerling menantang untuk diadili atas perbuatannya di Indonesia. Dilansir dari Kompas.com (2022), kasus pembantaian Westerling kembali dibicarakan pada tahun 1979 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Da Costa, seorang anggota Komisi III DPR mengatakan Westerling menantang untuk diadili atas perbuatannya. Da Costa mengetahui hal tersebut setelah membaca laporan surat kabar Belanda. 

Dalam surat kabar tersebut Westerling menanggapi pernyataan dari da Costa meminta pemerintah Indonesia mengekstradisi dan mengadili Westerling. Permintaan da Costa terhadap pemerintah untuk mengadili Westerling adalah upaya untuk tuduhan penjahat perang pembantaian yang disematkan kepada Westerling terungkap. Fakta sejarah perlu dikuak pengadilan terhadap Westerling. 

Menurut da Costa, pemerintah Indonesia seolah-olah membiarkan Westerling hidup bebas di Belanda dan ia kecewa kepada Westerling yang selalu membantah tuduhan membantai 40.000 penduduk Sulawesi Selatan. Westerling hanya mengaku bahwa ia hanya membunuh 9.000 orang saja. Namun, pada 26 November 1987 Westerling tetap tidak tersentuh oleh hukum akibat pelanggaran berat HAM yang dilakukannya hingga ajal menjemputnya.

Adapun media di Indonesia yang mengkritik sikap pemerintah Belanda dalam peristiwa kekerasan yang dialami pada masa revolusi Indonesia, salah satunya pembantaian Westerling yang memakan banyak korban dalam sejarah Indonesia. Melansir dari Kompas.com (2022), seorang sejarawan Restu Gunawan mengkritik pemerintah Belanda untuk melakukan perbaikan dalam penulisan sejarah yang dilakukan Belanda. 

Militer Belanda melakukan kekerasan ekstrim dan diketahui petinggi militer negara, tetapi tidak melakukan tindakan apapun untuk menghukum para pelaku. Kasus kekerasan di masa lalu yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia tepatnya di Sulawesi Selatan dikumpulkan dalam dokumen arsip kejahatan perang Belanda. 

Dokumen ini menjadi salah satu bukti untuk memerintahkan Pemerintah Belanda membayar ganti rugi kepada janda korban pembantaian di Sulawesi Selatan. Peneliti Belanda dan Indonesia menemukan bahwa kekerasan ekstrim yang dilakukan Belanda didukung diam-diam dari pemerintah. 

Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan Belanda dalam situs berita Detik.com (2022) menyatakan bentuk yang termasuk eksekusi di luar pengadilan, perlakuan buruk dan penyiksaan, penahanan yang tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian, perampokan, perusakan, serangan udara yang tidak seimbang, penangkapan sewenang-wenang, suaka massal, dan pemerkosaan. Ini semua ditangani oleh tentara Belanda. Di sisi lain, pihak Indonesia juga menggunakan kekerasan, namanya saja perang. Namun, jumlah korban di pihak Indonesia dan Belanda tidak seimbang.

Ada perbandingan yang signifikan dari segi penyampaian media terhadap pembantaian bila dilihat dari dua sisi antara Belanda dan Indonesia. 

Media massa di Indonesia mencondong terhadap kritik pemerintah Belanda dalam menanggapi pembantaian Westerling dari pasca sampai di masa sekarang. Kerugian yang diberikan Belanda terhadap Indonesia sangat besar dampaknya bagi masyarakat Indonesia. 

Maka dari itu, banyak masyarakat menuliskan pandangannya tentang apa yang mereka rasakan tentang penjajahan Belanda pada masa lalu. Sedangkan, media massa Belanda terbagi menjadi dua pola. Pola pertama, banyak masyarakat menganggap Westerling adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk kemenangan. 

Pada 1954, Dewan menteri menyatakan bahwa Westerling dan komandan perang lainnya tak dituntut. Di Belanda, ia dipuja-puja bak pahlawan. Jumlah korban yang diakui Belanda hanya 2.000. Pola kedua, pandangan yang berasal dari apa yang terjadi yang berasal dari ingatan. Seperti buku yang berjudul “Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya”. Dimana dalam buku ini memberikan pandangan mengenai yang terjadi sebenarnya dalam pembantaian tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun