Mohon tunggu...
Auranita Darmawan
Auranita Darmawan Mohon Tunggu... Copy Editor and Creative Writer - Freelance

Sebagai lulusan Sastra Indonesia, berbicara tentang sastra, bahasa, budaya, dan olahraga jadi pilihan yang tepat. Tak hanya nonfiksi, fiksi juga jadi bidang yang saya geluti.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ikhlas Itu Sulit, tapi...

1 April 2025   01:00 Diperbarui: 1 April 2025   07:12 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikhlas ala Filosofi Teras menuju titik tenang (Sumber: Freepik/syarifahbrit) 

Ikhlas jadi salah satu ilmu yang paling sulit dilakoni. Sebab, hidup tak selalu tentang beruntung. Tentu banyak situasi atau orang yang menjengkelkan kita.

Rasa sakit dan kecewa sudah jadi bagian dari hidup. Namun, memaafkan semua perasaan itu bukanlah hal yang mudah.

Saya harus memberi hormat setinggi-tingginya untuk orang yang sudah mencapai di titik itu. Pasalnya, saya belum sepenuhnya bisa mengikhlaskan segala kekecewaan di belakang.

Tulisan ini tidak akan menggurui, tetapi mari belajar bersama tentang keikhlasan atas rasa sakit hati ala Filosofi Teras.

Manampiring punya pendapat bahwa manusia saling menyakiti dan menyinggung sesamanya. Menurut saya, memang itulah hidup. Bertemu dengan orang baik juga belum tentu selamanya bernasib baik. Tidak ada yang bisa menjamin seseorang itu selalu berlaku baik.

Sebab, dunia tidak berporos padamu. Ada saja keadaan yang tidak mengenakkan. Orang lain bisa mendapatkan perlakuan buruk, begitu pun kita. Stoisisme meminta kita juga harus siap untuk itu.

"Musibah terasa paling berat bagi mereka yang mengharapkan hanya keberuntungan" -Seneca

Ingat pula bahwa semua situasi buruk tersebut berada di luar kendali kita. Tidak ada seorang pun yang bisa mengendalikan perilaku orang lain.

Satu-satunya hal yang bisa kita kendalikan ialah reaksi terhadap perlakuannya. Misal, ada seseorang yang mendekatimu, lalu tiba-tiba dia pergi.

Orang itu berniat memberimu harapan palsu, namun kamu tidak merasa bahwa dia memberimu harapan. Dengan begitu, dia tidak akan bisa membuatmu merasa buruk karena kamu yang memutuskan untuk tidak menerima perlakuannya.

"Menghina ada di bawah kendali orang lain, merasa terhina ada di bawah kendali kita" -Henry Manampiring

Namun, kita tidak perlu mengabaikan rasa sakit apabila memang ada hal yang menyakitkan. Setelah memvalidasinya, berhenti terlebih dulu untuk berpikir dan identifikasi sumber sakit itu.

Cobalah memahami perspektif lain. Balik lagi, berpikirlah bahwa setiap orang pasti punya salah dan situasinya bukan di bawah kendali kita.

Siapa tahu orang itu tidak berniat menyakiti kita? Siapa tahu itulah yang baik menurut perspektifnya?

Jangan juga untuk abai. Tegurlah dengan baik, beri tahu rasa sakit hati kita atau kesalahan yang dia perbuat. Apabila orang itu tidak mau berubah dan perlakuannya bisa mencelakai kita, tinggalkan. Jangan terlalu banyak membuang waktu.

Contoh lagi, ada orang yang menekan ekspektasi tentang pencapaian hidup saya. Idealisme saya tersenggol, marah karena terus-terusan ditekan.

Setelah merasakan emosi negatif mulai muncul, saya berhenti sejenak. Berpikir pula, "Mungkin dia tidak tahu karena saya tidak memberitahunya." 

Ngedumel atau menggosip saja tidak memecahkan masalah. Kemudian, saya tegur bahwa tekanan itu membuat saya stres; bahwa apa pun keputusan hidup saya tidak ada hubungannya dengan dia; bahwa saya juga sedang mengusahakannya.

Akan tetapi, dia tidak peduli, tetap menekan, bahkan tidak mendukung keputusan saya. Karena saya sadar hal itu bisa membuat saya 'gila' (berbahaya untuk mental), saya pergi dan tidak ingin berurusan dengannya, terutama saat dia mulai berbicara tentang pencapain seseorang. 

Dari sana, kita bisa belajar mengikhlaskan situasi. Maafkanlah tanpa harus mengharapkan timbal balik. 

Sulit, tetapi itulah indahnya ilmu ikhlas. Belajarnya seumur hidup, ujiannya mendadak. Prosesnya pun panjang. 

Ingatlah bahwa tidak masalah jika sesekali mengingat kejadian itu. Namun, jangan bosan untuk belajar mengikhlaskan.

Sebab, dendam itu tidak enak, hati selalu resah dan gelisah. Sebaliknya, keikhlasan dalam memaafkan rasa sakit dan kecewa bisa menenangkan, baik hati maupun pikiran.

Teruslah berproses sampai kepada titik tenang setiap menerima perlakuan buruk. Allah pun menjanjikan pahala yang besar untuk hamba-Nya yang berlaku ikhlas. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun