Mudik sudah melekat dengan budaya Indonesia. Perjalanan antara tanah rantau dan tanah kelahiran jadi momen paling menarik untuk diceritakan. Sebab, setiap tempat punya cerita dan memorinya sendiri.Â
Di balik perjalanannya pun selalu ada kenangan yang tak pernah bisa dilupakan, bahkan hanya sekadar bekal nasi rames untuk makan siang.Â
***
Lintas Sumatra-Jawa, 2013
"Bang, nasi rames ayam goreng empat, ya. Bungkus, kuah dipisah semua," Ratna berteriak di dekat kuping abang-abang karyawan di sebuah rumah makan di Palembang.Â
Rumah makan itu dipadati orang yang hendak melakukan perjalanan panjang. Suara pembeli dan penjual saling bersautan mengisi ruang kosong di tengah himpitan manusia. Jeje, anak pertama Ratna, tak peduli dengan keributan itu. Matanya sedang menikmati pertunjukan para pegawai rumah makan Padang. Si Abang cekatan menyusun nasi menggunakan kertas bungkus dua lapis dan daun pisang jadi lapisan ketiga. Dua tangan menari dan jari-jari telaten menjepit sendok sayur gori (nangka), lalu dipindahkannya ke plastik-plastik. Rekannya turut menari pakai piring. Selalu asik melihat perjalanan tumpukan piring berisi makanan kaya rempah itu dari dapur sampai meja pengunjung. Binaran matanya terpancar pada warna masakan di atas piring-piring itu.Â
Hidung Jeje juga tak kalah sibuk. Dia menghirup bau rendang dan gulai yang kuat. Lambungnya mengirimkan kode SOS setiap kali bau itu menyentuh indera penciumannya. Jeje lebih betah menghirup rendang daripada bunga mawar. Kesadarannya pun tengah dibawa arwah sapi yang menemani hidangan terenak nomor satu di dunia itu. Sampai tangan kanan Ratna menarik sang anak kembali ke mobil, sedangkan sisi lainnya sudah menggenggam keresek yang berisi empat bungkus nasi rames. Jeje terseret dengan pandangan yang masih menyorot tajam pada setumpuk piring.Â
"Dah, ayo," sang ibunda ratu menyuruh suaminya melanjutkan perjalanan. "Ini untuk makan siang, ya. Berhenti di pom bensin, baru dimakan. Kalau lapar ada jajan di belakang." Mereka tidak puasa, pakai dalih musafir.Â
Semua mengiyakan perintah Ratna, tanpa ada protes sedikit pun. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu sudah lupa dengan pemandangan yang membuat kesadarannya hilang sekejap. Dia sudah meraih bantal dan empengnya, lalu bunga tidur menyusul ke bawah alam sadarnya. Sang adik yang lima tahun lebih muda dari dirinya belum terbangun.Â
Pukul 13.30 WIB sampailah mereka di sebuah pom bensin di Lampung. Mobil terparkir di depan musala. Nasi rames yang tadi dibuka satu per satu di teras tempat salat itu. Jeje berlari ke arah toilet untuk membasuh tangan. Rambut keritingnya terbang terbawa lariannya yang cepat. Dia benar-benar tak sabar melahap makanan favoritnya.Â