Laskar pelangi, tak kan terikat waktu...
Illa terbangun dari kasurnya yang sudah reyot. Bunyi decitan tempat tidur nyaring menggelitik telinga. Jam dingin yang sudah puluhan kali ganti batrai ikut membangunkan roh Illa yang sedang berjalan. Beleknya masih melengketkan mata yang menghitam. Pinggiran bibir penuh percikan hasil percumbuannya dengan lelaki tampan.
"Sahur woy!" kedua matanya terbuka lebar. Dia tak berpikir bahwa laki-laki itu datang, namun siapa yang pagi-pagi begini ada di kamarnya.
Kepalanya berputar ke sana ke mari. Kali ini dia takut kepergok arwah suaminya. Meski dirinya tak yakin bahwa bercumbu dengan laki-laki lain di mimpi termasuk selingkuh atau tidak. Usai memastikan tak ada bayangan hitam yang mirip sang suami, Illa keluar kamar untuk memasak. Pukul 03.00 WIB, dapurnya sudah mengebul. Api menyala merah di bawah tungku batu bata. Sesekali mulutnya sibuk mengerucut di dalam mulut bambu, menjaga kedamaian api di sana. Itu bukan mulut pangeran tadi malam, rasanya hambar.
Tangan kanan berolahraga dengan sutil kayu, mengoseng irisan bawang dan cabai agar tidak gosong. Baunya sudah menusuk hidung dan membuat semua yang menciumnya bersin tak berhenti. Kangkung segar dimasukkannya. Garam, gula, dan saos tiram memandikan seisi wajan. Gorengan tempe dan tahu pun sudah siap diangkat. Tangannya yang penuh kerutan dan luka kecil lincah menata piring di atas tikar. Tiga piring nasi menyusul terakhir.
"Dani, bangun! Hanan, bangun! Sahur, sudah setengah empat lewat!" Illa berteriak sambil menggosok pantat wajan yang sudah hitam legam. Dasternya mulai basah, kakinya kesemutan, dan punggungnya mulai sakit.
Dia kembali ke ruang serbaguna. Tak ada dentingan karena hanya piring plastik berwarna merah muda dan tangannya langsung yang menyuapi masakan itu ke mulut. Tak ada hiburan dari televisi, hanya suara radio yang sedang memutar lagu Kemesraan. Ocehan pada dua anak di depannya menutupi suara merdu Chrisye. Cipratan ludah pun menambah topping menu sahur pagi ini. Tak ada jawaban dari dua anak kesayangannya itu, namun dia tetap bercerita dan sedikit ceramah.
"Kemarin, Ibu melihat wayang di balai desa. Ramai sekali. Kalian harus cinta sama budaya. Jangan hilangkan wayang-wayang itu. Cerita Perang Baratayudha, kesukaan Dani. Harusnya Ibu kasih namamu Arjuna, tapi Bapak lebih suka Kurawa. Ya sudah, nama kalian nggak ada nama wayang. Daripada Ibu bertengkar sama Bapak."
"Ibu dulu suka diajak Simbah nonton. Semalam suntuk dijabani. Sekarang Ibu nggak kuat. Tiga jam duduk aja udah panas bokongnya," Illa melanjutkan dongengnya sambil jongkok di samping seember air dan sabun cuci. Dua anak itu tak menyahut. Mereka telah kembali ke kamar dan menunggu azan subuh.
Illa tak bisa tidur setelah salat. Dia harus pergi ke pasar, jualan sayur di kios Bu RT. Sebelum berangkat, dia menggantungkan seragam kedua putranya di pintu. Meski anak-anak masih diam terlelap, wanita berusia 43 tahun itu tetap mencium kening mereka. Di tengah jalan, hanya dua tiga motor yang lalu-lalang. Matahari masih malu-malu. Udara pagi segar dihirupnya, tak ada polusi yang mengganggu. Mata kantuk Illa terpejam, sandal jepit diseret kaki kurusnya. Dingin semilir angin menambah kering kulitnya yang sudah hampir mengelupas.Â