Belasan mobil berjejer rapi. Antrean kamar mandi juga cukup panjang. Suara jebar-jebur, bau sabun semerbak, bercampur dengan suara deru mesin kendaraan yang antre mengisi bensin dan solar. Ratna dan Jeje ikut di deretan orang yang mengalungkan handuk. Dia menenteng satu pouch alat mandi dan pakaian ganti. Anak keduanya bersama sang suami di sebelah. Kalau begini, ayah harus ikut berbagi tugas.Â
"Sudah?" semua mengangguk pada kepala keluarga sekaligus sopir satu-satunya itu. Dia melenggang pergi ke warung untuk memesan secangkir kopi. Sebab, habis mandi, terbitlah kantuk.Â
Tiga orang lainnya menata kembali barang-barang di mobil. Kursi tengah yang disulap jadi tempat tidur dibersihkan lagi. Bantal dan selimut dilipat rapi. Lalu, Ratna ke minimarket untuk membeli stok jajan dan air putih yang mulai menipis.Â
"Ayo. Mampir sebentar ke warung makan, ya, untuk makan malam di kapal," kata ayah setelah semua kembali.Â
Kalau mudik isinya ya cuma itu, SPBU, rumah makan, jalan rusak, kapal, tol, dan pelabuhan. Nggak ada mampir ke mall untuk cuci mata. Istirahat ya seadanya. Tidur di hotel hanya saat malam hari berada di daerah rawan begal. Sisanya ya tidur di pom dan kapal. Makanannya pun tak jauh dari nasi rames. Namun, di Lampung sudah banyak warung makan yang menunya masakan Jawa. Sayangnya, lagi-lagi bocah kelahiran Malang itu justru memilih nasi rames ketimbang rawon.Â
Perjalanan yang cukup panjang. Usai mampir membungkus nasi, mereka sampai di antrean kapal. Banyak truk dan mobil sedan pribadi dengan berbagai plat nomor. Jeje sibuk mengeja plat-plat itu, lalu bertanya pada sang ayah asal penumpangnya.Â
"Kalau AB dari mana, Ya?"Â
"Jogja."
"Kalau P?"Â
"Jember." Begitu terus sampai dia kehabisan plat.Â
Tak jarang di tengah deretan mobil, ada pengemis, penjual asongan, dan pengamen yang mengetuk kaca mobil. Saat itu, ada seorang anak remaja yang meminta uang pada mobil mereka. Awalnya, kaca mobil itu tak dibuka, tetapi anak remaja tadi terus mengetuknya. Dia benar-benar memaksa.Â