Sebagai anak kos, kehidupan ramadan selalu punya cerita yang unik. Namun, itulah yang paling dirindukan. Kilas balik pasal cerita sahur saat merantau sebenarnya banyak yang menyedihkan, tetapi mari aku ceritakan satu hari yang menghibur kesendirianku.Â
"Sahur besok gimana?" tanyaku pada Ayu, sahabatku di kampus. Hari itu, aku menginap di kosnya karena bosan.Â
"Ke burjo aja, ya? Cari pengalamanlah pagi buta ke luar cari makan." Aku mengangguk setuju. Benar, aku belum pernah mencari makan pada jam segitu. Biasanya, menu sahur sudah aku simpan di malam sebelumnya.Â
Tidurku seperti biasa, jam 12 malam mata baru bisa tertidur nyenyak. Suara kipas menjadi lullaby paling nyaman. Anginnya cukup menyamarkan panasnya Yogyakarta di malam itu.Â
Tak ada mimpi, tidur seperti itulah yang patut aku syukuri. Dua alarm sudah berbunyi di waktu yang berbeda. Alarm Ayu mendobrak gendang telinga pada pukul 02.45 WIB, sedangkan milikku pukul 03.00 WIB.Â
Kami bangun saat giliran alarm-ku. Karena dikejar waktu, tangan kami langsung meraih jaket dan kerudung. Ayu menyabet kunci motornya dan aku sudah menunggu di depan.Â
Singkat cerita, motor sudah terparkir di depan warung burjo dekat kos. Orang yang pernah tinggal di Yogyakarta pasti tahu gambaran warung burjo. Banyak mahasiswa yang luntang-luntung menunggu menu sahurnya di sana. Beginilah suasana yang aku bilang dirindukan. Saat ke luar, kami tak akan merasa sendiri. Meski tak kenal, kami senasib seperjuangan bukan?Â
Aku memilih tempat kosong dan Ayu memesan satu nasi orak-arik, mi dok-dok, dan dua teh hangat. Ah, betapa nikmatnya menu sederhana dengan harga Rp13.000 itu.Â
Tergoda aku tuk berpikir dia yang tercinta...
"Sahur ini menyakitkan," ucapku asal. Ayu tertawa mendengarnya. Bukankah bulan ramadan biasanya warung-warung jadi sok suci mendengarkan playlist Opick? Tak berlaku di warung burjo ini, masih mau menyiksa hati anak kos yang patah hati.Â