Mohon tunggu...
Aura Daraf
Aura Daraf Mohon Tunggu... Freelancer - a human being

Modernity Has Failed Us.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Si Marhaen, Bukan Proletar

10 Oktober 2019   11:10 Diperbarui: 21 Oktober 2020   15:52 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source:  https://tirto.id/m/sukarno-ei

Dalam pidatonya Soekarno bercerita bahwa suatu hari ia berjalan jalan ke sawah Kiduleun Cigelereng, ia berjumpa dengan seorang petani yang sedang memacul, kemudian ia bertanya apakah tanah itu miliknya? petani itu pun mengangguk , Soekarno pun bertanya lagi,  Apakah alat produksi seperti pacul itu miliknya?

Petani itu pun mengangguk lagi dan kebingungan, oleh Soekarno pun ditegaskan dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa ia bukan proletar tetapi jembel yaitu sengsara, miskin, kekurangan tapi bukan proletar karena ia tidak menjual tenaganya kepada orang lain dan memiliki alatnya sendiri. Kemudian Soekarno pun menanyakan nama sang petani yang akhirnya ia gunakan istilah itu untuk menggambarkan rakyat indonesia kala itu sendiri yaitu Marhaen.

Kemudian dari situ timbulah  pertanyaan apa sebab hampir seluruh masyarakat indonesia itu jembel? Soekarno menerangkanya bahwa imperialisme belanda yang bekerja di Indonesia lah penyebabnya. Ini lain hakekatnya dari Imperialisme Inggris di India, yang bersifat Imperialisme dagang. Di mana koloni inggris memberikan pendidikan kepada rakyat India agar tidak terlalu jembel. Sehingga dapat membeli dagangan Inggris.

Dari situlah timbul reaksi yaitu gerakan swadeshi yaitu mengadakan barang sendiri yaitu barang asli India. Tetapi kemudian bagaimana dengan Imperialisme Belanda di Indonesia, Belanda dengan "Finance Capital" yaitu membawa uang ke Indonesia untuk didirikan pabrik serta mengeruk kekayaan di Indonesia. Akibat dari hal ini ialah Handels Imperialisme yaitu buruh buruh dan rakyat tidak diberi pengetahuan yang tinggi sehingga sewa tanah tetap murah dan buruh diupah dengan murah juga.

Oleh karena itulah terjadi di Indonesia yang dinamakan Pauperisering Process dimana indonesia ini lantas  tidak dibantu kenaikan kebutuhanya segalanya lantas di cap kecil; buruh kecil, petani kecil, nelayan kecil, pedagang kecil. Dan itulah menjadi simbol dari orang kecil Indonesia. Simbol dari tenaga rakyat Indonesia, simbol dari bahan peledak untuk mencapai Indonesia merdeka, begitulah pidato sukarno.

Pada akhir pidatonya Soekarno berkata bahwa Imperialisme Belanda di Indonesia tidak dapat digagalkan dengan gerakan swadeshi di India yang dipimpin Mahatma Gandhi tetapi melalui Partai Nasional Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa Imperialisme Belanda di Indonesia dapat di gagalkan dengan massa aksi revolusioner yaitu massa aksi dari seluruh marhaen Indonesia itu sendiri.

Lantas melihat dari pidato sukarno dan juga istilah Marhaen untuk menggambarkan masyarakat Indonesia yang bukan proletar bukan juga majikan, tercapaikah cita cita bung karno tetang kesejahteraan kaum Marhaen itu sendiri?

Seperti diketahui bahwa Bung karno sendiri mengatakan jika Marhaenisme ialah Marxisme yang diterapkan di Indonesia sehingga saat ia tergantikan oleh soeharto yangjelas  bertentang dan menolak dengan paham kiri inilah yang akhirnya membuat marhaenisme seolah menjadi angan angan ataupun frase frase heroik saja. Jadi, ajaran marhaenisme pasca bung Karno adalah Marhaenisme tanpa Marxisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun