Mohon tunggu...
A.RN
A.RN Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

City life enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Salahkah Berjalan di Eskalator?

22 Juli 2019   16:56 Diperbarui: 22 Juli 2019   23:54 4725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rush hour commuters on London Underground escalators, UK. (Alex Segre/Getty Images) 

"Peraturan berjalan di eskalator sudah bagus, kenapa diperdebatkan?"

Belakangan ini di dunia maya terjadi "keributan" pro dan kontra tentang jalur berjalan di eskalator yang dibuat oleh MRT Jakarta dan Commuter Line.

Di area stasiun-stasiun Commuter Line, aturan ini sebenarnya sudah berlaku selama 2 tahun (sejak 2017), dan MRT Jakarta pada awal pembukaannya di Maret 2019 lalu.

Peraturan ini layaknya mencontoh sistem Metro (MRT/LRT) di negara lain. Yang mana aturan tersebut sudah lama menjadi budaya masyarakat urban sana untuk memberi jalan kepada penumpang yang terburu-buru agar mereka bisa memangkas waktu perjalanan dan transit.

Contoh sistem transportasi negara lain yang tertib menerapkan aturan tersebut adalah MRT Singapura, Tokyo Metro, dan London Tube.

Ketika Jakarta Mengadopsi Aturan Ini

Saya ingat betul, pertama kali aturan ini diterapkan yaitu di stasiun Tanah Abang, salah satu stasiun tersibuk di Jakarta.

Pada Awalnya masih banyak penumpang transit yang abai, mereka tetap diam di sebelah kanan, hingga petugas stasiun menjaga eskalator untuk menegur penumpang yang masih diam di sebelah kanan agar berjalan.

 

Sejumlah penumpang kereta menggunakan tangga berjalan (escalator) yang mulai dioperasikan di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (10/3/2017). Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) mulai di ujicoba untuk pengguna jasa KRL berpindah antar peron.(KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)
Sejumlah penumpang kereta menggunakan tangga berjalan (escalator) yang mulai dioperasikan di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (10/3/2017). Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) mulai di ujicoba untuk pengguna jasa KRL berpindah antar peron.(KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Kini aturan berjalan di sisi kanan dan diam di sisi kiri sudah diterapkan di seluruh stasiun Commuter Line yang memiliki fasilitas eskalator. Pelanggan harian kereta yang umumnya pekerja terlihat sudah tertib menggunakannya sesuai kebutuhan.

Namun tidak sedikit juga penumpang yang masih tidak paham, biasanya mereka bukan pengguna rutin yang menyerbu di setiap akhir pekan, walaupun sudah terpampang jelas imbauan di sekitar tentang tata cara menggunakan eskalator, mereka tetap santai dan bergerombol.

Percayalah, saat weekend, naik Commuter Line rasanya lebih emosi melihat kelakuan penumpang yang tidak mau tertib. Penumpang seperti ini membuat kesal, jangan heran banyak yang marah-marah di eskalator karena menghambat gerak dan waktu orang.

Bagi saya, peraturan ini sudah sangat bagus diterapkan. Mengingat kota Jakarta sama sibuknya dengan kota besar lain yang masyarakatnya berpacu pada waktu. Selain itu, sebagai edukasi diri kita sendiri, kita tidak kaget ketika jalan-jalan di luar negeri dengan MRT/Subway karena menerapkan budaya yang sama.

Pro dan Kontra di MRT Jakarta dan Viral Kampanye untuk Tidak Berjalan di Eskalator

Mass Rapid Transit (MRT), bagi orang Jakarta adalah moda transportasi baru (yang sebenarnya menurut saya tidak ada bedanya dengan Commuter Line, hanya lebih nyaman dan prestis saja). Diresmikan pada awal tahun ini. Moda transportasi ini digadang-gadang sebagai tolok ukur majunya peradaban suatu kota.

MRT Jakarta juga menerapkan hal serupa pada eskalator di semua stasiunnya. Namun tetap saja, masih banyak masyarakat yang belum teredukasi. Padahal banyak yang mengharapkan, kehadiran MRT bisa menciptakan budaya yang lebih tertib sebagaimana di negara maju.

Imbauan menggunakan eskalator pun sudah dilakukan oleh PT MRT di semua platform media sosial jauh-jauh hari sebelum moda transportasi ini beroperasi.

Sejak MRT beroperasi netizen berubah menjadi "polisi" membagikan foto atau video pelanggar yang tidak tertib.

Melihat kelakuan mereka mungkin kita bertanya-tanya, kenapa sulit sekali menerapkan aturan ini? Tidak bisakah berbaris di sebelah kiri saja jika tidak terburu-buru? Peraturan sudah terpampang jelas, ketika ditegur baru mereka sadar. Toleransi sesama pengguna seakan belum ada ketika menggunakan transportasi umum.

Ternyata ada juga yang tidak setuju dengan peraturan ini. Hal ini lantas menjadi perdebatan panjang di dunia maya, menimbulkan pro dan kontra:

Saat Jakarta baru saja membuat peraturan untuk memisahkan jalur diam dan berjalan di eskalator. Kota Jepang dan London justru mulai mengampanyekan untuk diam di kedua sisi eskalator.

Loh! Gimana nih?

Alasannya adalah keselamatan dan penghematan. Berjalan di eskalator membahayakan, bahkan banyak yang cedera terjatuh karena terlalu cepat. Selain itu eskalator jadi mudah rusak dan tidak awet karena tidak seimbang di kedua sisi.

Baca: IYA, IYA, NAIK ESKALATOR EMANG HARUSNYA DIEM AJA

Di London, Kampanye ini diuji coba pada tahun 2016 lalu selama enam bulan di stasiun Holborn (mungkin seperti stasiun Tanah Abang, sangat sibuk dan besar). Stasiun ini memiliki eskalator terpanjang.


Di dalam laporan Tirto.id, disebutkan pengelola transportasi London terinspirasi dengan Mass Transport Railway (MTR) Hong Kong yang sudah menerapkan aturan berjalan di eskalator sejak tahun 2015.

Dari uji coba tersebut ternyata dapat memecah traffic lebih cepat, waktu tunggu yang lebih cepat, dari 138 detik untuk mengantre menjadi hanya 59 detik.

Berdiri di kedua sisi eskalator mampu mengurangi kemacetan sekitar 30 persen. Sebelumnya, penumpukan manusia selalu terjadi di sisi diam, sebab hanya 40 persen orang yang menggunakan sisi berjalan. Baca selengkapnya di artikel "Berhentilah Berjalan di Eskalator", tirto.id

Namun uji coba ini tidak disambut baik oleh banyak orang. Pengguna yang terbiasa menggunakan sisi berjalan merasa dirugikan. Peraturan ini membuang waktu banyak orang dan mereka merasa bodoh jika hanya diam di sisi yang "seharusnya berjalan".

Perilaku ini nyatanya sulit diubah, karena pengelola London Tube sendiri yang bertahun-tahun menyuruh orang-orang untuk tertib berdiri di sebelah kanan untuk diam. Sehingga sudah menjadi budaya yang toleratif dan positif untuk memberikan ruang sebelah kiri khusus yang berjalan.

Bagaimana Seharusnya Jakarta?

Di Twitter kini viral bahwa Jakarta bisa ikut mencontoh Tokyo Metro yang menerapkan aturan baru untuk diam di kedua sisi.

Tapi ini belum tentu bagus untuk Jakarta

Peraturan ini memang baik untuk keselamatan. Alasan Tokyo mengampanyekan itu karena banyak kasus cedera, mereka terlalu cepat berjalan mengejar kereta. Tidak heran, masyarakat Tokyo sungguh menghargai ketepatan waktu.

Padahal bila mereka tertinggal kereta, bisa saja mereka menunggu 3 menit lagi karena headway kereta yang sering.

Pertama, Kalau ini diterapkan di Jakarta. Headway Commuter Line pada jam tertentu sangat jarang, bahkan bisa 20 menit. Sedangkan MRT Jakarta 10 menit sekali. Bayangkan jika jalur berjalan di eskalator tidak dibuka, akan banyak waktu yang terbuang.

Kedua, fasilitas eskalator dan tangga di stasiun-stasiun Commuter Line dan MRT Jakarta masih terbilang sedikit jika dibanding London Tube, MTR Hong kong, Tokyo Metro, dan MRT Singapura. Di Luar sana, eskalator bisa ada berjejer 4.

The Holborn Station in London at rush hour. To help reduce backups at the bottom of escalators, the station is experimenting with asking riders to stand side by side instead of leaving the left lane open for walking.CreditCreditAndrew Testa for The New York Times 
The Holborn Station in London at rush hour. To help reduce backups at the bottom of escalators, the station is experimenting with asking riders to stand side by side instead of leaving the left lane open for walking.CreditCreditAndrew Testa for The New York Times 

Bayangkan jika tidak ada jalur ekspress, orang-orang akan menunggu lebih lama. Kalau sedang terburu waktu untuk transit dari stasiun MRT Dukuh Atas ke stasiun Commuter Line Sudirman untuk ke Bogor, mau ketinggalan kereta dan menunggu lagi 20-30 menit hanya karena diam di eskalator?

Di Tanah Abang saja, orang berebut naik eskalator untuk mengejar transit ke Bogor/Duri atau ke Rangkasbitung. Teriak penumpang terdengar nyaring menegur mereka yang lelet dan santai. Terkadang kedua jalur justru digunakan untuk berjalan.

Ingat, Jadwal kereta di Jakarta tidak sebanyak di Tokyo dan tidak sering gangguan!

Ketiga, jika Tokyo beralasan demi keselamatan. Di Jakarta, orang-orang tidak akan berlari di eskalator. Karena eskalator sudah terlalu penuh dan banyak pelanggar. Bagaimana untuk berlari kalau berjalan saja susah? Masyarakat masih belum sadar dan tertib.

Keempat, di London dan Tokyo peraturan untuk diam di kedua sisi tidak sepenuhnya disambut baik. Meski pernah diuji coba, tetap saja begitu uji coba selesai, budaya berjalan di eskalator berlaku kembali.

Jadi Jakarta, jangan bingung. Aturan berjalan di eskalator sudah bagus, kita butuh bergerak cepat.

Boleh saja kalau nanti diberlakukan diam di kedua sisi, namun jumlah eskalator di stasiun harus diperbanyak, jangan cuma satu.

Kecepatan eskalator juga harus ditambah, seperti yang ada di MTR Hong Kong yang tercepat di dunia. Makanya saya tidak heran kalau di Hong Kong memberlakukan kedua sisi berdiam. eskalatornya cepat kok!


Kalau di Jakarta, apakah eskalatornya secepat ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun