Mohon tunggu...
Auliya Ahda Wannura
Auliya Ahda Wannura Mohon Tunggu... Penulis

Seorang Penulis freelance dan solo traveler.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cara Otak Eksakta dan Non-Eksakta Mengolah Informasi: Sebuah Perbandingan Kognitif

12 September 2025   21:36 Diperbarui: 22 September 2025   15:41 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Pinterest (https://pin.it/2IRyTAuwZ)

Cara Otak Eksakta dan Non-Eksakta Mengolah Informasi: Sebuah Perbandingan Kognitif

Dalam dunia pendidikan dan kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar istilah anak eksakta dan anak non-eksakta, seolah kedua kelompok ini berada di dunia yang berbeda. Anak eksakta, yang biasanya berasal dari jurusan MIPA (Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam) atau teknik, terbiasa dengan logika, angka, dan struktur.

Sebaliknya, anak non-eksakta atau soshum (Sosial dan Humaniora) lebih banyak menghadapi fenomena sosial, budaya, dan interpretasi naratif. Fenomena ini tidak hanya terlihat dalam akademik, tetapi juga dalam cara mereka memproses informasi, menyelesaikan masalah, dan berinteraksi dengan dunia.

Pengertian Eksakta dan Non-Eksakta

Eksakta merupakan bidang ilmu yang mempelajari hukum alam dan fenomena dengan kaidah pasti. Contoh ilmu eksakta adalah matematika, fisika, kimia, biologi, teknik, dan informatika. Ciri khasnya adalah adanya pola, hukum yang konsisten, dan metode analisis yang dapat diuji secara objektif.

Sebaliknya, non-eksakta mencakup ilmu sosial dan humaniora seperti sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, filsafat, dan seni. Non-eksakta menekankan pemahaman konteks, interpretasi manusia, dan analisis subjektif yang tidak selalu memiliki jawaban tunggal.

Perbandingan Kognitif Otak Eksakta dan Non-Eksakta

Penelitian neurosains menunjukkan adanya perbedaan dalam cara otak memproses informasi antara mereka yang dominan eksakta dan non-eksakta. Anak eksakta cenderung mengaktifkan area otak yang berhubungan dengan logika, perhitungan, dan pemecahan masalah abstrak, seperti korteks prefrontal dorsolateral. Mereka mampu melihat pola, menggeneralisasi hukum dari data, dan membuat prediksi berdasarkan prinsip yang konsisten.

Sebaliknya, anak non-eksakta lebih banyak melibatkan area otak yang berhubungan dengan bahasa, interpretasi, dan empati, seperti korteks prefrontal ventromedial dan temporoparietal junction, yang berperan dalam memahami konteks sosial, membaca niat orang lain, dan mencerna narasi.

Sebuah penelitian oleh Neubauer dan Fink (2009) menemukan bahwa individu yang unggul di bidang eksakta menunjukkan kecepatan dan efisiensi dalam memecahkan masalah numerik dan logis, sementara mereka yang unggul di bidang non-eksakta lebih cepat dan efektif dalam tugas yang melibatkan memori verbal, pengenalan pola naratif, dan interpretasi makna sosial.

Hal ini menjelaskan kenapa anak eksakta sering terlihat "praktis dan to the point", sedangkan anak non-eksakta cenderung lebih deskriptif dan kontekstual.

Fenomena Dunia Nyata: Kontras Anak Eksakta dan Non-Eksakta

Dalam kehidupan kampus atau pekerjaan, perbedaan ini sering muncul nyata. Anak eksakta biasanya cepat menguasai materi berbasis angka atau teknik. Misalnya, mereka mampu menghitung kelembaban udara, memproses data IoT, atau melakukan pemodelan lingkungan dengan cepat.

Namun, ketika dihadapkan pada materi non-eksakta seperti psikologi lingkungan, analisis kebijakan, atau valuasi ekonomi, mereka sering merasa seperti "otak nge-bug" karena tidak ada hukum pasti yang bisa diikuti.

Sebaliknya, anak non-eksakta bisa dengan mudah menghafal teks sejarah, memahami konteks budaya, dan menceritakan kronologi peristiwa dengan rinci. Namun, jika diminta memecahkan soal matematis atau melakukan pemodelan data, mereka cenderung mengalami kesulitan karena pola logis dan perhitungan bukan habitat alami mereka.

Sebagai contoh pribadi, saya, yang lahir dan besar dengan basis eksakta, mengalami kesulitan ketika mempelajari Psikologi atau Antropologi.

Walaupun saya nyaman dengan rumus, pemodelan, dan analisis numerik, saya perlu waktu ekstra untuk memahami narasi perilaku manusia, interpretasi kebijakan, dan konteks sosial yang fleksibel.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dominasi Eksakta atau Non-Eksakta

Dominasi satu gaya berpikir tidak sepenuhnya ditentukan oleh pendidikan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor biologis dan lingkungan. Genetika, pengalaman belajar sejak dini, dan stimulasi otak memainkan peran penting.

Beberapa studi menunjukkan bahwa konektivitas neural dan lateralitas otak bisa mempengaruhi preferensi seseorang terhadap eksakta atau non-eksakta.

Anak yang sering dilatih menyelesaikan problem logis sejak kecil cenderung menguatkan jalur neural untuk berpikir eksakta. Sebaliknya, stimulasi berupa membaca naratif, bermain peran, atau kegiatan sosial memperkuat jalur untuk berpikir interpretatif.

Selain itu, faktor budaya dan sosial juga berperan. Di lingkungan keluarga yang menekankan prestasi eksakta, anak cenderung terbiasa dengan logika, angka, dan efisiensi. Sebaliknya, di lingkungan yang menekankan empati, komunikasi, dan pemahaman manusia, anak lebih cepat menguasai non-eksakta.

Implikasi dan Pentingnya Integrasi Keduanya

Kedua tipe berpikir ini memiliki kekuatan masing-masing, namun justru ketika digabungkan, hasilnya menjadi luar biasa. Dalam konteks studi lingkungan, misalnya, kemampuan eksakta memungkinkan pengukuran kualitas air, pemodelan risiko, atau analisis statistik.

Kemampuan non-eksakta memungkinkan interpretasi perilaku masyarakat, strategi komunikasi pro-lingkungan, dan penyesuaian kebijakan agar diterima publik.

Integrasi ini juga penting dalam pendidikan modern. Kurikulum yang memadukan eksakta dan non-eksakta menyiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata yang kompleks, di mana solusi teknis harus selaras dengan aspek sosial dan manusiawi.

Perbedaan kognitif antara anak eksakta dan non-eksakta bukanlah pertentangan, melainkan refleksi dari jalur neural dan pengalaman belajar yang berbeda. Anak eksakta unggul dalam logika, pola, dan analisis numerik, sedangkan anak non-eksakta unggul dalam narasi, interpretasi, dan konteks sosial.

Fenomena ini terlihat jelas di dunia nyata, di mana setiap kelompok memiliki kekuatan dan tantangan masing-masing. Integrasi kedua gaya berpikir ini menjadi kunci untuk menghadapi masalah kompleks, baik di pendidikan, lingkungan, maupun kehidupan sehari-hari. Menghargai perbedaan ini dan belajar menjembatani keduanya adalah langkah penting untuk mengembangkan kemampuan kognitif secara menyeluruh.

Referensi:

  • Neubauer, A.C., & Fink, A. (2009). Intelligence and neural efficiency. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 33(7), 1004-1023.
  • Deary, I.J., Penke, L., & Johnson, W. (2010). The neuroscience of human intelligence differences. Nature Reviews Neuroscience, 11(3), 201-211.
  • Jung, R.E., & Haier, R.J. (2007). The Parieto-Frontal Integration Theory (P-FIT) of intelligence: Converging neuroimaging evidence. Behavioral and Brain Sciences, 30(2), 135-154.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun