Mohon tunggu...
Aulia Murtia Sari
Aulia Murtia Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perang Timbung: Warisan Budaya yang Tak Lekang oleh Waktu

10 Juni 2024   11:44 Diperbarui: 10 Juni 2024   11:53 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah kamu membayangkan adanya pertarungan seru di mana beras ketan menjadi pelurunya? Di Lombok, tradisi unik ini bukan hanya khayalan melainkan kenyataan. Namanya Perang Timbung, yaitu sebuah ritual yang memadukan adu ketangkasan, rasa syukur, rasa persatuan dan doa tolak bala. 

Di antara hamparan sawah hijau dan perbukitan indah di Lombok, tersembunyi sebuah tradisi unik yang mengundang decak kagum. Tradisi ini bukan sembarang pertarungan, melainkan adu beras ketan yang dikenal dengan nama Perang Timbung. Perang Timbung bukan sekadar adu fisik, tetapi sarat makna dan nilai-nilai luhur. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Sasak di Desa Pejanggik, Lombok Tengah.

Desa Pejanggik merupakan salah satu desa yang berada di Kabupaten Lombok Tengah Kecamatan Praya Tengah yang masih melestarikan beberapa tradisi dan budaya dari nenek moyangnya secara turun temurun. Tradisi dan budaya yang turun temurun inilah yang masih dilestarikan dan masih kental dilaksanakan oleh masyarakat setempat karena tradisi tersebut diyakini oleh Masyarakat setempat sebagai salah satu bentuk tradisi yang dipercaya untuk menghilangkan bala atau untuk meminta pertolongan sehingga terhindar dari marabahaya dan sebagai pengungkapaan rasa syukur terhadap Tuhan yang maha esa salah satunya dalam Tradisi Perang Timbung.

Setiap Desa pasti mempunyai tradisi, budaya, adat istiadat atau kebiasaan yang berbeda. Tradisi tersebut juga merupakan kekayaan lokal yang dimiliki oleh bangsa, tradisi yang ada di tanah suku Sasak yang begitu banyak, seperti Tradisi Perang senantiasa harus dipertahankan, dilestarikan dan juga dijaga agar tradisi tersebut tidak punah. Dengan adanya tradisi, sebuah tempat akan memiliki ciri khas atau identitas tersendiri untuk adat dan budaya mereka.

Tradisi Perang Timbung merupakan tradisi yang lahir secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu untuk dilakukan sebagai kegiatan masyarakat dalam mewujudkan persatuan dan persaudaraan mulai dari para kyai, tokoh-tokoh agama, dan sekaligus semua lapisan masyarakat khususnya di Desa Pejanggik. Desa Pejanggik dulunya merupakan pusat kerajaan Pejanggik, salah satu kerajaan besar yang dulu pernah berkuasa dan menyebarkan agama islam di pulau Lombok. 

Perang Timbung merupakan salah satu tradisi atau adat yang masih mengakar dalam pandangan masyarakat suku Sasak di Desa Pejanggik. Perang Tembung adalah tradisi yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pejanggik sampai saat ini, yang di mana perspektif masyarakat bahwasanya perang dapat diartikan sebagai sebuah pertempuran yang dilakukan oleh masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Namun di dalam tradisi Perang Timbung ini, perang yang dimaksud adalah tradisi Perang sebagai sebuah ritual serta ditradisikan masyarakat pejanggik sebagai suatu sarana tolak bala serta sebagai bentuk rasa syukur masyarakat setempat kepada Allah SWT atas melimpahnya hasil pertanian dan kesuburan tanah masyarakat.

Sementara timbung sendiri merupakan makanan khas masyarakat Lombok, khususnya Desa Pejanggik. Timbung terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan santan gurih, dimasak dengan cara tradisional menggunakan bambu dan dibakar di atas tungku kayu. Proses memasaknya memakan waktu sekitar 6-7 jam, sehingga menghasilkan aroma harum yang khas dan tekstur pulen yang menggoda selera. 

Timbung tidak hanya dinikmati sebagai camilan biasa, tetapi juga menjadi bagian penting dalam tradisi Perang Timbung, sebuah ritual adat yang diadakan tiap setahun sekali pada hari Jum'at pada bulan keempat penanggalan buku Sasak, di Desa Pejanggik. Penanggalan sasak adalah kalender adat Suku Sasak yang ada di Pulau Lombok, dibuat oleh masyarakat Sasak sendiri. Dalam tradisi ini, Timbung dilemparkan sebagai simbol rasa syukur atas panen yang berlimpah dan doa tolak bala.

Tradisi Perang Timbung ini adalah tradisi yang masih dijaga oleh masyarakat Pejanggik yang dilakukan di Makam Serewa. Makam ini merupakan Makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Desa Pejanggik yang dipercayai disanalah Raja Kedatuan Pejanggik terakhir kali dilihat oleh Masyarakatnya. Masyarakat Desa Pejanggik mempercayai bahwa dalam Tradisi Perang Timbung ini begitu banyak nilai-nilai tersendiri yang tertanam didalamnya seperti upaya tolak bala, bentuk ungkapan rasa syukur, persatuan bahkan yang paling menarik adalah sebagai ajang cari jodoh.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun