Latar Belakang
Belajar adalah aktivitas yang dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dan lansia. Kegiatan ini bisa berlangsung di mana saja dan kapan saja, asalkan ada kemauan yang sungguh-sungguh. Namun, di era modern saat ini, belajar seringkali tidak lagi menjadi kebiasaan yang diminati. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang merasa enggan atau jenuh untuk belajar, seperti tuntutan untuk berkonsentrasi tinggi, waktu dan energi yang harus dikeluarkan, serta dorongan untuk meninggalkan aktivitas yang lebih menyenangkan seperti bermain ponsel, game online, atau kegiatan lain di lingkungan sekitar, baik yang bersifat positif maupun negatif. Meski demikian, hal yang paling mendasar dari permasalahan dalam belajar tersebut adalah membutuhkan konsentrasi belajar yang tinggi.
Menurut Purnawinadi dan Lotulung (2020), konsentrasi adalah kemampuan untuk memusatkan pikiran, kehendak, perasaan, serta seluruh pancaindra pada satu objek dalam suatu aktivitas tertentu, tanpa teralihkan oleh hal-hal lain yang tidak relevan. Sementara itu, Yarissumi (2017) menjelaskan bahwa konsentrasi merupakan fokus pikiran pada satu hal dengan mengesampingkan segala sesuatu yang tidak berkaitan. Dalam konteks pembelajaran, konsentrasi berarti memusatkan perhatian pada suatu mata pelajaran sambil menyingkirkan gangguan yang tidak berkaitan dengan materi tersebut.
Dalam proses belajar, konsentrasi memiliki peran yang sangat penting karena turut menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menjadi indikator kemampuan kognitif mahasiswa. Konsentrasi yang baik dapat menunjang pencapaian prestasi akademik. Namun demikian, keberhasilan dalam menjaga konsentrasi sangat bergantung pada kemampuan individu itu sendiri. Bahkan dalam kondisi belajar yang ideal sekalipun, tidak jarang pikiran seseorang bisa melayang pada hal-hal di luar materi yang sedang dipelajari.
Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi konsentrasi, di antaranya faktor fisik, sosial, dan psikologis. Salah satu faktor fisik yang terbukti berpengaruh adalah kondisi tubuh, khususnya terkait dengan asupan energi. Seseorang yang tidak sarapan atau hanya mengonsumsi makanan dengan kandungan energi di bawah 15% dari Angka Kecukupan Energi (AKE), cenderung mengalami gangguan konsentrasi. Hal ini karena kebutuhan energi untuk menunjang kerja otak belum terpenuhi secara optimal. Ketika nutrisi yang dibutuhkan untuk proses pengolahan informasi oleh sistem saraf tidak mencukupi, maka akan terjadi hambatan dalam jalannya proses belajar (Dewi et al., 2020)
Sebagai bagian utama dari pola makan harian, sarapan berfungsi untuk menyuplai energi dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh di awal hari. Idealnya, sarapan menyumbang sekitar 45–65% karbohidrat, 10–25% protein, dan 30% lemak dari total kebutuhan harian, serta dilakukan sebelum pukul 9 pagi untuk membantu mencukupi kebutuhan kalori (Dewi et al., 2020).
Pentingnya sarapan sebelum memulai aktivitas belajar tidak dapat diabaikan, karena asupan nutrisi dari sarapan berperan sebagai sumber energi utama bagi otak. Nutrisi ini mendukung fungsi otak dalam menjaga fokus dan konsentrasi selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan kata lain, sarapan yang cukup dan bergizi dapat membantu peserta didik mempertahankan konsentrasi dan meningkatkan efektivitas belajar.
Oleh sebab itu, penting untuk menelaah lebih dalam mengenai hubungan antara kebiasaan sarapan pagi dengan tingkat konsentrasi belajar pada mahasiswa. Pemahaman ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam upaya meningkatkan kualitas proses pembelajaran serta mendukung kesejahteraan akademik mahasiswa. Penelitian terkait korelasi antara sarapan pagi dan konsentrasi belajar diharapkan mampu memberikan bukti empiris mengenai peran penting sarapan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan kognitif, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap pencapaian akademik. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam tentang hubungan antara kebiasaan sarapan pagi dengan tingkat konsentrasi belajar pada mahasiswa.
Rumusan Masalah
- Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar pada mahasiswa?
- Seberapa besar pengaruh kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar pada mahasiswa?
Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui adanya hubungan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar pada mahasiswa
- Untuk mengetahui pengaruh kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar pada mahasiswa
Hipotesis Penelitian
- H0 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar pada mahasiswa. (ρ = 0)
- H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar pada mahasiswa. (ρ ≠ 0)
Kajian Pustaka
A. Sarapan
1. Pengertian
Sarapan atau makan pagi merupakan aktivitas penting yang dilakukan sebelum memulai aktivitas fisik di pagi hari, yaitu dengan mengonsumsi makanan yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, atau kudapan, dengan porsi sekitar sepertiga dari total kebutuhan makan dalam sehari. Jumlah kalori yang dianjurkan untuk dipenuhi saat sarapan berkisar antara 300 hingga 500 kkal. Sarapan biasanya dilakukan antara pukul 06.00 hingga 09.00 pagi. Fungsi utama sarapan adalah menyediakan asupan karbohidrat yang siap digunakan tubuh untuk meningkatkan kadar gula darah. Ketika kadar gula darah berada dalam kondisi normal, energi dan konsentrasi kerja cenderung meningkat, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap produktivitas seseorang (Tri Niswati Utami et al., 2016).
2. Kebiasaan Sarapan Pagi
Anasiru dan Misnati (2017) menyatakan bahwa kebiasaan sarapan mencerminkan perilaku individu dalam memenuhi kebutuhan makan pagi, yang mencakup sikap, kepercayaan, serta preferensi terhadap jenis makanan yang dikonsumsi. Sarapan berperan dalam memenuhi kebutuhan zat gizi pada pagi hari, yakni sekitar 15–30% dari total kebutuhan gizi harian. Bagi pelajar, sarapan yang cukup terbukti mampu meningkatkan konsentrasi belajar dan stamina tubuh, yang pada akhirnya dapat berdampak positif terhadap prestasi akademik. Suatu makanan dikategorikan bergizi apabila mengandung kalori, protein, lemak, dan mineral dalam jumlah yang cukup serta memiliki komposisi yang seimbang antara karbohidrat, protein, dan lemak. Sarapan dianggap sebagai perilaku positif apabila dilakukan secara teratur dan menjadi kebiasaan. Kebiasaan sarapan pagi diklasifikasikan sebagai baik apabila dilakukan minimal empat kali dalam seminggu dan mencukupi sekitar 15–30% dari kebutuhan energi harian atau sekitar 300–500 kkal.
3. Komposisi Makan Pagi Yang Baik
Frisca Siahaan (2017) menjelaskan bahwa komposisi gizi dalam menu sarapan sebaiknya seimbang, dengan kandungan gula menyumbang sekitar 58% dari total energi—yang terdiri atas dua pertiga gula kompleks dan sepertiga gula yang cepat diserap tubuh. Lemak sebaiknya menyumbang 30% dari energi harian, dengan dua pertiga berasal dari lemak tak jenuh (nabati) dan sepertiga dari sumber hewani seperti ikan atau daging ternak. Agar nilai gizinya lengkap dan seimbang, menu sarapan idealnya mencakup beberapa kelompok pangan berikut:
- Susu dan produk olahannya. Susu, keju, dan yoghurt merupakan sumber protein hewani, kalsium, serta vitamin A, B2, dan D. Meskipun kaya gizi, susu masih kurang dalam kandungan asam amino esensial tertentu, terutama metionin. Namun, susu merupakan sumber kalsium terbaik yang penting bagi pertumbuhan tulang dan perkembangan tubuh. Satu liter susu memiliki kandungan protein setara dengan empat butir telur. Vitamin B2 dalam susu berfungsi membantu tubuh dalam mengolah zat gizi, sementara vitamin A penting bagi kesehatan mata dan kulit, serta vitamin D mendukung penyerapan kalsium
- Telur. Telur dikenal sebagai sumber protein berkualitas tinggi dan sering dijadikan standar dalam penilaian mutu protein. Kandungan asam amino esensial seperti treonin dan metionin dalam telur cukup tinggi, meski masih kalah dalam kandungan isoleusin dan leusin jika dibandingkan dengan susu. Namun, dibandingkan dengan daging, telur lebih unggul dalam sebagian besar asam amino esensial kecuali lisin dan histidin.
- Nasi, roti, dan produk serealia. Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, dan serealia menyediakan energi yang dibutuhkan sepanjang pagi. Produk ini juga kaya akan vitamin B dan mineral. Roti dapat dikombinasikan dengan margarin, mentega, atau madu sebagai pelengkap, yang sekaligus menjadi sumber vitamin A. Konsumsi makanan rendah lemak di pagi hari sangat dianjurkan, terutama bagi individu yang memiliki masalah kolesterol atau sedang menjalani program penurunan berat badan. Selain sebagai sumber energi, serealia juga mengandung protein yang cukup untuk melengkapi protein dari susu, terutama karena kadar metioninnya yang tinggi.
4. Komposisi Makan Pagi Yang Tidak Baik
Sebagian besar menu sarapan yang kurang baik biasanya didominasi oleh kandungan karbohidrat dan lemak, seperti nasi kuning, pisang goreng, ubi goreng, mie instan, dan sejenisnya. Selain itu, makanan dan minuman yang tinggi gula, seperti cokelat, permen, atau minuman manis seperti teh dalam kemasan, juga sering dikonsumsi saat sarapan. Pola konsumsi semacam ini cenderung tidak memberikan asupan protein yang cukup bagi tubuh (Azis, Pagarra, & Asriani, 2018). Menurut Dewi et al. (2020), jumlah kalori yang ideal dikonsumsi pada pagi hari adalah sekitar 15–30% dari Angka Kebutuhan Energi (AKE), atau sekitar 300–500 kkal. Menu sarapan sebaiknya mencakup makanan seperti susu, nasi, lauk-pauk, sayur-mayur, dan buah-buahan, sesuai dengan prinsip gizi seimbang. Menu ini harus mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin agar dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh. Karbohidrat dapat diperoleh dari bahan makanan seperti nasi, roti, dan singkong, yang berperan sebagai sumber energi utama tubuh. Karbohidrat ini akan menggantikan glukosa yang digunakan selama proses metabolisme saat tidur. Sementara itu, protein diperoleh dari sumber seperti tahu, tempe, daging ayam, telur, dan susu. Protein memiliki peran penting sebagai zat pembangun dan pemelihara jaringan tubuh, serta berfungsi dalam pembentukan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin untuk mengirimkan pesan kimiawi antar sel.
5. Manfaat Sarapan Pagi
Sarapan memiliki banyak manfaat penting bagi tubuh. Ketika seseorang mengonsumsi makanan di pagi hari, tubuh memperoleh karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula darah yang stabil akan membantu meningkatkan semangat serta konsentrasi dalam bekerja, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap produktivitas. Selain itu, sarapan juga berperan dalam menyuplai berbagai zat gizi penting seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral (Sandra, 2017). Melakukan sarapan di pagi hari sangat dianjurkan karena dapat mendukung kemampuan konsentrasi dalam belajar dan berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan gizi tubuh yang berperan dalam proses fisiologis. Makanan yang dikonsumsi saat sarapan sebaiknya mengandung gizi lengkap. Gula darah yang diperoleh dari makanan tersebut akan diubah menjadi energi melalui proses metabolisme, dan energi inilah yang kemudian digunakan oleh sel-sel tubuh untuk menjalankan berbagai fungsi penting, seperti berpikir, bergerak, serta menjalani aktivitas sehari-hari lainnya. Sarapan juga bermanfaat untuk menjaga daya tahan tubuh selama beraktivitas, meningkatkan produktivitas kerja, serta mempertahankan kebugaran fisik. Dalam konteks pendidikan, sarapan pagi dapat membantu memusatkan pikiran saat belajar dan mempermudah proses penyerapan materi pelajaran. Idealnya, sarapan juga menyediakan cadangan kalori untuk digunakan dalam dua jam pertama aktivitas pagi hari. Setelah itu, makanan ringan sekitar pukul 10.00 dapat membantu menggantikan energi yang mulai berkurang (Sandra, 2017).
6. Dampak Tidak Sarapan
Melewatkan waktu sarapan dapat menimbulkan rasa lapar akibat kondisi perut yang kosong. Ketika seseorang tidak sarapan, kadar gula darah dalam tubuh cenderung menurun. Tubuh kemudian akan berupaya untuk menstabilkan kadar gula darah dengan memanfaatkan cadangan energi berupa glikogen (Hartoyo et al., 2015). Glukosa yang berperan sebagai sumber energi utama bagi tubuh sangat dibutuhkan, terutama untuk fungsi otak. Penurunan kadar glukosa dalam darah dapat memengaruhi seluruh fungsi organ, termasuk menurunnya kinerja otak. Hal ini diperkuat oleh Saragi (2015), yang menyatakan bahwa kekurangan glukosa akibat tidak sarapan berdampak langsung terhadap penurunan kemampuan berpikir dan konsentrasi. Dampak dari tidak sarapan juga dapat dirasakan secara fisik, seperti menurunnya konsentrasi, munculnya rasa lesu, kantuk berlebih, serta menurunnya kemampuan menjalani aktivitas harian secara optimal (Sukiniarti, 2015). Hardinsyah dan Aries (2012) menambahkan bahwa individu yang sering melewatkan sarapan cenderung mengalami kondisi tubuh yang lemas, tidak bertenaga, mudah mengantuk, dan bahkan sering merasa pusing. Sebaliknya, individu yang memiliki kebiasaan sarapan secara rutin menunjukkan performa kognitif yang lebih baik, terutama dalam hal daya ingat. Kebiasaan ini berdampak positif terhadap konsentrasi belajar dan dapat mendorong peningkatan prestasi akademik (Devi, 2012). Oleh karena itu, sarapan memiliki kaitan erat dengan kemampuan berkonsentrasi, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap keberhasilan belajar siswa (Setiawan & Haridito, 2015).
B. Konsentrasi
1. Pengertian
Konsentrasi merupakan kemampuan seseorang untuk memusatkan pikirannya pada satu objek tertentu (Priambodo, 2010). Kemampuan ini sangat diperlukan dalam berbagai aktivitas manusia karena individu yang mampu berkonsentrasi umumnya dapat menyelesaikan tugas dengan lebih cepat dan memperoleh hasil yang optimal. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Setiawan (2015) yang menyatakan bahwa konsentrasi merupakan bentuk pemusatan pikiran atau perhatian terhadap suatu objek untuk memperoleh informasi secara lebih efektif.Konsentrasi tidak hanya penting dalam proses belajar, tetapi juga memiliki peran krusial dalam kegiatan sehari-hari seperti berkomunikasi (Fajar, 2020). Konsentrasi dapat tercapai apabila individu mampu mengesampingkan berbagai gangguan yang muncul dari lingkungan sekitarnya (Lestari et al., 2015).Mulyadi dan Adriantoni (2021) menjelaskan bahwa konsentrasi adalah bentuk upaya seseorang dalam mengelola pikirannya agar tetap fokus pada suatu hal, dengan mengabaikan respons terhadap gangguan yang mungkin muncul. Sementara itu, Winata (2021) menambahkan bahwa konsentrasi terjadi ketika seseorang memfokuskan perhatiannya secara penuh terhadap suatu objek, sehingga mampu memahami informasi dengan baik serta menghindari hal-hal yang berpotensi mengganggu perhatian tersebut.
2. Indikator Konsentrasi Belajar
Indikator konsentrasi belajar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil modifikasi dari gabungan beberapa indikator yang telah ada sebelumnya. Secara khusus, indikator tersebut merujuk pada tujuh indikator konsentrasi belajar yang telah dikembangkan dan ditambahkan dengan dua indikator tambahan berdasarkan pendapat Slameto. Dengan demikian, terdapat total sembilan indikator konsentrasi belajar yang dijadikan acuan (Setyani & Ismah, 2018), yaitu:
- Adanya perhatian atau fokus terhadap materi pelajaran yang disampaikan
- Munculnya respons aktif terhadap materi yang diajarkan.
- Gerakan tubuh atau anggota badan yang sesuai dengan instruksi dari guru.
- Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh.
- Kemampuan dalam menganalisis informasi atau materi yang dipelajari.
- Kemampuan mengemukakan ide atau pendapat secara mandiri.
- Pengetahuan yang dimiliki dapat segera digunakan saat dibutuhkan.
- Ketertarikan terhadap mata pelajaran yang sedang dipelajari.
- Tidak merasa jenuh selama mengikuti proses pembelajaran.
3. Faktor Pendukung Konsentrasi Belajar
Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya konsentrasi belajar dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama, yakni faktor internal dan faktor eksternal (Setyani & Ismah, 2018).
Faktor internal
Faktor internal merupakan aspek utama dan pertama yang sangat berperan dalam menentukan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi. Secara umum, faktor ini mencakup kondisi fisik (jasmaniah) dan kondisi mental atau spiritual (rohaniah).
- Faktor jasmaniah. Faktor ini berkaitan dengan kondisi fisik seseorang secara keseluruhan. Konsentrasi belajar cenderung lebih optimal apabila individu berada dalam keadaan tubuh yang sehat dan prima. Beberapa indikator kondisi jasmaniah yang mendukung konsentrasi antara lain: tubuh dalam keadaan sehat dan tidak mengidap penyakit serius; berada dalam kondisi fisik yang bugar; memiliki waktu tidur dan istirahat yang cukup; memperoleh asupan makanan dan minuman yang sesuai dengan standar gizi; fungsi seluruh pancaindra berjalan normal; tidak mengalami gangguan neurologis seperti kejang, epilepsi (ayan), atau hiperaktivitas; tidak memiliki gangguan sistem saraf; tidak merasakan nyeri akibat penyakit tertentu; memiliki detak jantung yang stabil; serta memiliki pola pernapasan yang normal dan teratur.
- Faktor rohaniah. Agar mampu mencapai konsentrasi yang efektif, kondisi rohaniah seseorang idealnya memenuhi beberapa kriteria. Di antaranya adalah menjalani kehidupan sehari-hari dalam suasana yang cukup tenang, memiliki kepribadian yang baik seperti kesabaran dan konsistensi, serta menjalankan ibadah secara rutin sebagai sarana untuk mendukung ketenangan batin dan kemampuan pengendalian diri. Individu juga sebaiknya tidak sedang dilanda masalah berat, bebas dari emosi yang berlebihan, dan tidak berada dalam tekanan stres yang intens. Rasa percaya diri yang memadai, ketekunan dalam menghadapi tantangan, serta semangat yang tidak mudah surut menjadi faktor pendukung penting. Selain itu, penting bagi seseorang untuk terbebas dari gangguan psikologis seperti rasa takut yang berlebihan, kekhawatiran terus-menerus, dan kegelisahan.
Pada masa usia 12 hingga 20 tahun, individu juga diharapkan tidak mengalami krisis identitas. Krisis ini merupakan kumpulan masalah psikososial yang mencakup ketidakjelasan citra diri, kesulitan dalam menjalin hubungan sosial yang sehat, kurangnya kesadaran terhadap pentingnya manajemen waktu, serta ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugas yang memerlukan fokus dan konsentrasi (Setyani & Ismah, 2018).
4. Faktor Penghambat Konsentrasi Belajar
Keberhasilan dalam memusatkan pikiran sangat bergantung pada individu itu sendiri. Bahkan ketika berada di lingkungan yang paling kondusif sekalipun, seseorang masih bisa kehilangan fokus karena pikirannya melayang ke hal-hal lain di luar aktivitas yang sedang dijalani. Menurut Setyani dan Ismah (2018), terdapat sejumlah gangguan yang dapat menyebabkan mahasiswa mengalami penurunan konsentrasi dalam belajar. Gangguan-gangguan tersebut umumnya terbagi ke dalam dua kategori utama, yaitu:
- Faktor internal. Faktor internal merupakan penyebab gangguan konsentrasi yang berasal dari dalam diri individu. Secara umum, faktor ini terbagi menjadi dua kategori utama. Pertama, faktor jasmaniah, yaitu kondisi fisik seseorang yang tidak dalam keadaan prima atau sedang mengalami gangguan kesehatan. Contohnya seperti rasa mengantuk, lapar, haus, gangguan pada pancaindra, masalah pencernaan, jantung, atau pernapasan. Kedua, faktor rohaniah, yakni kondisi mental atau psikologis seseorang yang dapat menghambat kemampuan untuk berkonsentrasi, seperti perasaan tidak tenang, mudah gugup, emosional, kurang sabar, mudah cemas, stres, hingga depresi.
- Faktor eksternal. Faktor eksternal adalah penyebab gangguan konsentrasi yang berasal dari luar individu, yaitu kondisi lingkungan di sekitarnya. Gangguan semacam ini sering muncul ketika seseorang merasa tidak nyaman saat menjalankan aktivitas yang membutuhkan fokus penuh. Contohnya meliputi ruang belajar yang terlalu sempit, lingkungan yang kotor, udara yang tercemar, atau suhu ruangan yang terlalu panas. Diperlukan upaya ekstra untuk mengurangi dampak dari gangguan-gangguan tersebut. Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana seseorang, tetap mampu menjaga konsentrasi belajar yang baik agar tetap dapat menjalankan aktivitas secara optimal, meskipun berada dalam kondisi lingkungan yang kurang ideal.
Metodologi Penelitian
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Pendekatan kuantitatif korelasional merupakan jenis penelitian yang mengandalkan data berupa angka dan dianalisis secara statistik untuk mengungkap dan mengukur hubungan antara dua atau lebih variabel. Tujuan dari metode ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara variabel-variabel yang diteliti, serta sejauh mana kekuatan dan arah hubungan tersebut. Dalam konteks penelitian ini, rancangan tersebut digunakan untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan sarapan pagi dengan tingkat konsentrasi belajar mahasiswa.
Populasi dan Sampel
- Populasi. Populasi merupakan keseluruhan objek yang menjadi fokus dalam suatu penelitian atau pengamatan, di mana objek-objek tersebut memiliki karakteristik yang serupa. Jumlah populasi bisa sangat besar, mencakup ribuan individu, atau bisa juga lebih spesifik hanya terdiri dari ratusan orang (Nuryadi et al., 2017). Menurut Surahman et al. (2016), populasi adalah keseluruhan elemen yang memiliki karakteristik tertentu dan dapat diteliti. Dalam penelitian ini, populasi yang dimaksud adalah seluruh mahasiswa aktif dari berbagai program studi, mulai dari semester 2 hingga semester 8, baik yang berasal dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) maupun dari universitas lainnya.
- Sampel. Sampel merupakan bagian dari populasi yang dipilih untuk mewakili keseluruhan populasi dalam suatu penelitian. Menurut Polit dan Beck (2012), pengambilan sampel adalah proses memilih sebagian dari populasi yang dianggap dapat mewakili keseluruhan. Sampel diambil dari populasi yang terjangkau dan digunakan sebagai subjek penelitian melalui proses sampling. Nursalam (2020) menjelaskan bahwa sampling merupakan proses pemilihan sebagian unit dari populasi yang dinilai mampu mewakili karakteristik populasi secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, sampel terdiri dari 30 mahasiswa aktif semester 2 hingga 8, baik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) maupun dari universitas lain.
Variabel Penelitian
- Variabel Independen (X) (Variabel bebas). Variabel independen merupakan variabel yang memengaruhi atau memberikan dampak terhadap variabel lainnya. Dalam penelitian ini, variabel independennya adalah kebiasaan sarapan pagi, yang diduga memiliki pengaruh terhadap tingkat konsentrasi belajar mahasiswa.
- Variabel Dependen (Y) (Variabel Terikat). Variabel dependen adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel ini menjadi fokus pengamatan dan pengukuran untuk mengetahui apakah terdapat hubungan atau pengaruh dari variabel independen (Nursalam, 2020). Dalam penelitian ini, variabel dependen yang diteliti adalah tingkat konsentrasi belajar mahasiswa.
Teknik Pengumpulan Data
- Instrumen. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner tersebut mencakup dua bagian utama, yaitu data mengenai kebiasaan sarapan pagi dan tingkat konsentrasi belajar mahasiswa.
- Kuesioner A. Kuesioner A yaitu kuesioner kebiasaan sarapan menggunakan kuesioner penelitian dengan skala likert dengan pilihan jawaban, tidak pernah=1, jarang=2, kadang-kadang=3, sering=4, selalu=5 sebanyak 10 pernyataan.
- Kuesioner B. Kuesioner B yaitu kuesioner konsentrasi belajar menggunakan kuesioner penelitian dengan skala likert dengan pilihan jawaban, tidak pernah=1, jarang=2, kadang-kadang=3, sering=4, selalu=5 sebanyak 10 pernyataan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
- Lokasi. Penelitian ini dilaksanakan secara daring tanpa terikat pada lokasi fisik tertentu. Proses pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner digital melalui platform Google Form. Tautan kuesioner disebarkan kepada responden melalui berbagai saluran komunikasi digital, seperti media sosial, grup percakapan, serta pesan pribadi
- Waktu penelitian. Penelitian dimulai pada tanggal 5 Juni 2025 sampai dengan 7 Juni 2025
Kriteria Uji
- Jika r rank / p ≥ r tabel maka terima Ha dan tolak Ho
- Jika r rank / p ≤ r tabel maka tolak Ha dan terima Ho
- Taraf Signifikan 0,05 / 5%
Hasil
Dalam penelitian ini tidak adanya hubungan yang signifikan pada hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar mahasiswa
Hasil Uji Kolerasi Spearman Rho
Hasil menunjukkan dengan tingkat signifikansi α = 0,05 atau 5% dengan jumlah sampel 30 responden maka rs (hitung) (0,088) < rs (tabel) (0,362) dengan demikian, tidak adanya hubungan atau korelasi yang signifikan antara variabel X dan variabel Y
- Nilai rs (hitung) = 0,088
- Nilai rs (tabel) = 0,362
Pengujian Hipotesis
rs (hitung) (0,088) < rs (tabel) (0,362)
maka:
- Hipotesis H0 : diterima
- Hipotesis H1 : di tolak
Dengan demikian, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar mahasiswa. Artinya, kebiasaan sarapan pagi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat konsentrasi belajar. Temuan ini mengindikasikan bahwa terdapat faktor lain di luar kebiasaan sarapan pagi yang kemungkinan lebih berkontribusi terhadap kemampuan konsentrasi, seperti tingginya motivasi belajar, minat terhadap materi yang dipelajari, gaya belajar yang digunakan, maupun pengaruh dari lingkungan sosial seperti teman sebaya.
Pembahasan
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar mahasiswa. Dikarenakan rs (hitung) (0,088) < rs (tabel) (0,362) dengan taraf signifikansi 5% atau 0,05 dengan jumlah sampel 30 . Maka, H0 diterima dan H1 ditolak. Temuan ini bertolak belakang dengan asumsi awal dalam hipotesis, yang menyatakan bahwa sarapan pagi berpengaruh positif terhadap konsentrasi belajar. Pada kenyataannya, konsentrasi belajar tidak semata-mata ditentukan oleh asupan makanan seperti sarapan pagi, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut antara lain: motivasi belajar, minat atau ketertarikan terhadap materi, kondisi fisik dan psikis, tekanan psikologis, pengalaman belajar sebelumnya, tingkat kecerdasan, serta lingkungan belajar yang mendukung. Selain itu, kondisi emosional seperti rasa gelisah, stres, marah, cemas, dan dendam, serta suasana belajar yang tidak kondusif seperti kebisingan dan ketidakteraturan, juga dapat menjadi penghambat konsentrasi. Faktor-faktor lain seperti ketidakaktifan dalam belajar dan kurangnya penguasaan strategi belajar yang efektif juga turut memengaruhi (Hasminidiarty, 2015). Meskipun banyak sekali pendapat yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar, namun pada penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 30 responden dari berbagai universitas dan program studi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar. Hal ini berdasarkan hasil uji korelasi Spearman Rho yang dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel, mendapatkan nilai rs (hitung) (0,088). Dengan membandingkan nilai tersebut dengan nilai rs (tabel) (0,362) pada taraf signifikan 5% atau 0,05 untuk sampel sebanyak 30, ditemukan bahwa rs (hitung) (0,088) < rs (tabel) (0,362). Karena rs (hitung) lebih kecil daripada rs (tabel) (0,362), maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Firdaus, M.Pd. (Dosen PGSD Untirta)
Aulia Wahyu Firdaus (Mahasiswa PGSD Untirta)
Daftar Pustaka
- Virginia, A., & Sudyasih, T. (2024, October). Hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan konsentrasi belajar di SMP Muhammadiyah 1 Minggir. In Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat LPPM Universitas' Aisyiyah Yogyakarta (Vol. 2, pp. 215-219).
- Anggraini, Vira Liza. 2017. “Hubungan kebisaan sarapan pagi dengan status gizi dan prestasi beajar murid di sekolah dasar Pesanggrahan 02 Jakarta.” Universitas Sumatra Utara Medan.
- Frisca Siahaan, Riana. 2017. “Mengawal Kesehatan Keluarga Melalui Pemilihan Dan Pengolahan Pangan Yang Tepat.” Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera 15(2):57–64.
- Noviati, Ratih, Muh Misdar, and Helen Sabera Adib. 2019. “Pengaruh Lingkungan Belajar Terhadap Tingkat Konsentrasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Akidah Akhlak Di Man 2 Palembang.” Jurnal PAI Raden Fatah 1(1):1–20.
- Purnawinadi, I. Gede, and Christa Vike Lotulung. 2020. “Kebiasaan Sarapan Dan Konsentrasi Belajar.” Nutrix Journal 4(1):31.
- Verdiana, Lydia, and Lailatul Muniroh. 2018. “Kebiasaan Sarapan Berhubungan Dengan Konsentrasi Belajar Pada Siswa Sdn Sukoharjo I Malang.” Media Gizi Indonesia 12(1):14.
- Riinawati, R. (2022). Hubungan konsentrasi belajar siswa terhadap prestasi belajar peserta didik pada masa pandemi Covid-19 di sekolah dasar. Edukatif-Jurnal Ilmu Pendidikan.
- Mawarni, E. (2021). Hubungan sarapan pagi dengan konsentrasi siswa. Jurnal Kesehatan Tambusai, 2(4), 159-167.
- Herayeni, D. F., Hernanda, R., Wijayanto, W. P., & Setiawan, A. E. (2024). Hubungan Kebiasaan Sarapan Pagi Dengan Konsentrasi Belajar Pada Anak di SD Mis Sa Al-Husna Purbolinggo. Health Research Journal of Indonesia, 3(1), 20-28
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI