Keadilan sosial sudah tercantum jelas dalam sila kelima Pancasila dan menjadi janji negara kepada seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sekadar semboyan semata. Meraih keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seolah harus diperjuangkan hingga air mata bahkan darah menjadi sebuah harga yang harus kita bayar. Padahal, keadilan sosial adalah hak setiap warga negara yang seharusnya bisa diwujudkan tanpa perlu adanya pengorbanan yang tragis. Namun, pada kenyataannya, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah lagi dan lagi menempatkan rakyat pada posisi yang sulit. Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional pada 20 Maret 2025 oleh Dewan Perwakilan Rakyat kembali menimbulkan pertanyaan besar: apakah prinsip keadilan sosial hanya slogan semata di Indonesia?
UU TNI pada Pasal 47 merupakan salah satu poin yang kontroversial karena memungkinkan prajurit TNI berperan aktif untuk menduduki jabatan di 14 kementerian dan lembaga sipil. Sebelumnya, prajurit TNI hanya bisa menduduki jabatan sipil ketika mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif. Sekarang, dengan adanya revisi tersebut, para prajurit aktif mampu menjabat di lembaga-lembaga seperti Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, Kementerian Pertahanan, serta beberapa lembaga lainnya. Kritik terhadap perubahan ini sudah muncul dari berbagai pihak. Revisi ini dianggap berpotensi mengancam supremasi sipil dalam demokrasi dan membuka ruang bagi militer untuk terlibat dalam ranah pemerintah yang seharusnya dijalankan oleh warga sipil.
Menurut data dari Imparsial, pada tahun 2023, terdapat 2.569 prajurit TNI yang telah menduduki jabatan sipil, dengan 29 di antaranya ditempatkan di luar lembaga yang diatur dalam UU TNI. Di tengah realita sosial yang menunjukkan bahwa tinggi angka pengangguran di Indonesia, keputusan tersebut menjadi ironi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2024, terdapat 7,47 juta orang pengangguran di Indonesia, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka yang mencapai 4,91 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 22,34 persen sangat dikhawatirkan di kalangan usia muda pada kelompok usia 15-19 tahun, sementara kelompok usia 20-24 tahun berada pada angka 15,34 persen. Data tersebut menunjukan generasi muda masih banyak yang berjuang keras untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan data yang begitu jelas, pemerintah seharusnya melihat kebutuhan mendesak akan lapangan pekerjaan dan pemberdayaan untuk rakyat.
Sayangnya, pada saat yang sama, negara justru memberikan ruang jabatan sipil kepada para prajurit militer aktif yang telah memiliki jalur karier tersendiri pada sektor pertahanan. Negara yang seharusnya memprioritaskan lapangan pekerjaan bagi rakyat sipil justru mengalihkan peluang tersebut kepada militer yang sudah memiliki pekerjaan; maka keadilan sosial tidak lagi bermakna. Negara demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai keadilan justru semakin membuktikan bahwa keadilan hanyalah wacana dan kepentingan segelintir pihak lebih diutamakan daripada kebutuhan rakyat banyak. Kritik terhadap dominasi militer dalam jabatan sipil bukan tanpa dasar sejarah saja, karena kita pernah berada dalam masa militer di masa Orde Baru.
Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid, pernah berkata, "Tidak ada demokrasi tanpa supremasi sipil, dan tidak ada keadilan tanpa keberpihakan kepada rakyat yang kecil." Kutipan ini kembali relevan dalam konteks yang terjadi saat ini. Ketika kebijakan negara kembali memberikan ruang untuk prajurit TNI dibandingkan rakyat biasa, maka saat ini Indonesia sedang berada dalam ancaman regresi demokrasi yang serius. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga pernah menegaskan betapa pentingnya keadilan sosial dengan kalimat: "Negara Indonesia bukan milik satu golongan, bukan milik satu agama, bukan milik satu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!" Maka, jika militer sudah mendominasi ruang-ruang publik dan pemerintah sipil, makna pada kalimat "milik kita semua" menjadi mati karena kehilangan nyawanya.
Jika demokrasi didefinisikan sebagai pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka dominasi militer dalam ruang sipil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip tersebut. Rakyat sipil harus berjuang keras untuk mendapatkan posisi ASN, berjuang melalui pendidikan, sementara prajurit aktif TNI justru dengan mudahnya masuk ke dalam jabatan strategis. Menjadi pertanyaan yang lantang, negara ini sedang dibawa ke mana arah tujuannya? Apakah keadilan sosial hanya menjadi pemanis dalam pembukaan UUD 1945?
Demokrasi yang sehat seharusnya bukan hanya diwujudkan saat pemilu, tetapi diwujudkan dalam kebijakan yang juga adil. Oleh karena itu, revisi UU TNI bukan hanya perlu untuk ditinjau kembali, tetapi harus dibahas secara transparan dengan melibatkan partisipasi publik yang luas, agar keistimewaan tidak hanya didasarkan oleh satu kelompok saja. Jika memang negara ingin benar-benar adil, maka seharusnya setiap kebijakan disarkan pada prinsip kesempatan yang setara bagi seluruh rakyat. Negara tidak boleh membiarkan kesenjangan struktural terus meningkat. Kebutuhan nasional tidak boleh hanya diukur dari sudut pandang kekuasaan dan keamanan saja, tetapi juga dari keadilan, kesetaraan, dan hak rakyat untuk hidup layak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI