Mohon tunggu...
Reinaldi Agustinus
Reinaldi Agustinus Mohon Tunggu... -

seorang desainer dan kadang lebih yang selalu kepo dengan topik kekinian dan hal-hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menakar Urgensi SKKNI

17 Mei 2017   21:40 Diperbarui: 17 Mei 2017   21:52 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini kata “Industri Kreatif” bermunculan dan menjamur di sekitar kita. Hal tersebut sering diperbincangkan oleh masyarakat karena semakin majunya perkembangan zaman dan teknologi yang ada. Industri kreatif erat hubungannya dengan teknologi dan perkembangan zaman yang ada sekarang ini. Perkembangan zaman dan teknologi tersebut membuat manusia harus menyesuaikan dan meningkatkan kemampuan diri dalam mengikutinya. Oleh karena itu, tidak heran dalam kurun waktu beberapa tahun terkahir bermunculan beberapa bidang usaha dan wirausahawan yang berlomba-lomba bergerak di bidang industri kreatif untuk mengikuti tren tersebut.

Namanya juga tren, pasti tidak terlepas dari situasi pro dan kontra. Indutri kreatif membawa kita ke sebuah dimensi kreatif yang lebih lagi dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Hal tersebut tentu membuat bermunculan para konseptor dan kreator yang andal di bidang industri kreatif. Tidak hanya institusi pendidikan formal, namun terdapat juga institusi non-formal yang melahirkan kaum-kaum andal tersebut. Keandalan seseorang tentu harus bisa diukur dan dibuktikan.  Di Indonesia, sudah terdapat sertifikasi SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang disesuaikan dengan berbagai bidang keilmuan yang ada untuk mengukur kompetensi dari sumber daya manusia.

Banyaknya subyek penggerak industri kreatif juga dapat menyebabkan adanya ketimpangan. Banyaknya subyek andal, tentu harus diimbangi dengan banyaknya lapangan pekerjaan dan upah yang layak untuk mengapresiasi keprofesian mereka. Apakah semuanya itu sudah tercapai dengan baik di Indonesia?

Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan kajian untuk menguji asumsi yang ada dengan melakukan wawancara kepada beberapa responden. Kemudian, dari hasil wawancara tersebut diambil perwakilan. Perwakilan yang diambil adalah dua desainer yang dianggap mewakili dan sesuai dengan asumsi yang ingin dibuktikan.

Kedua studio tersebut berasal dari kota terbesar pertama dan kedua di Jawa Timur, yaitu Kota Surabaya dan Kota Malang. Studio yang ada di Kota Surabaya bergerak di bidang desain interior dan studio yang ada di Kota Malang bergerak di bidang desain media digital. Kedua studio tersebut sudah berdiri sejak tahun 2000-an dan sudah memiliki karyawan dan desainer tetap dalam studionya.

Responden dari studio pertama menyebutkan bahwa studio desain interior tersebut sudah berdiri kurang lebih sepuluh tahun lamanya. Salah satu desainer senior dalam studio desain menyebutkan bahwa studio desain dimana tempat ia bekerja sempat hampir gulung tikar. Padahal, ia mengaku bahwa studio tempat ia bekerja dinilai cukup baik dan menerima arus pekerjaan yang cukup lacar pula. Namun, ia menyebutkan bahwa dulunya sistem dan arus keuangan diurus sendiri oleh pemilik studio, sehingga segala profit dan perhitungan persebaran beban yang ditanggung oleh studio terpusat pada satu orang pemilik tersebut. Suatu ketika, pemilik studio memutuskan untuk melakukan perluasan kantor dan pembuatan gudang mandiri untuk menyimpan bahan mentah perabot interior. Ketika itu pula, tiba-tiba perusahaan minim permintaan desain. Hal tersebut mengakibatkan “besar pasak daripada tiang”. Oleh karena sistem keuangan yang terpusat pada pemilik studio seorang, maka tidak ada satu orangpun karyawan yang bisa membantu dalam pemecahan masalah tersebut. Hal itu mengakibatkan studio harus memecat beberapa desainer dan karyawan muda untuk mengurangi pengeluaran biaya yang cukup besar ketika itu. Sejak peristiwa tersebut, pemilik studio akhirnya memutuskan untuk membentuk divisi khusus agar keuangan perusahaan dapat diolah dengan lebih profesional dan membuat para desainer dan karyawan yang ada memiliki upah atau imbalan yang sesuai dan terjamin di hari kedepannya.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya masih ada beberapa studio yang masih belum paham betul dan peduli terhadap kesejahteraan sumber dayanya. Perusahaan tersebut menganggap bahwa apabila keuangan dipegang perorangan, maka segala profit atau keuntungan bisa dikelola sendiri oleh pemiliknya dengan lebih maksimal. Bukannya tidak baik, namun terlihat kurang tepat mengingat bila perusahaan sudah cukup besar, apalagi memiliki sumber daya manusia yang cukup banyak. Perusahaan sebaiknya memiliki divisi khusus untuk mengatur sistem keuangan perusahaan, agar konsentrasi kerja tidak terpecah dan manajemen keuangan berlangsung secara profesional. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab studio desain seolah-olah tutup mata terhadap keberadaan sertifikasi SKKNI bagi sumber dayanya. Hal tersebut dikarenakan apabila sumber daya yang ada memenuhi kompetensi yang cukup banyak dalam poin-poin yang tertera pada SKKNI, maka standar minimum upah atau gaji yang didapat oleh desainer atau karyawan akan lebih tinggi. Apabila standar upah atau gaji desainer semakin tinggi, maka beban materi pada perusahaan yang ditanggung akan semakin tinggi pula.

Responden dari studio kedua menyebutkan bahwa mereka melakukan tes keandalan atau kompetensi sumber dayanya hanya melalui wawancara dan tes tertulis saja. Mereka tidak mengerti apa itu SKKNI dan seandainya mereka tahu, mereka tidak akan menggunakannya untuk menilai kompetensi sumber dayanya dalam beberapa waktu dekat. Menurut mereka, sistem yang mereka gunakan sekarang sudah cukup efektif dan efisien untuk menyaring subyek yang ada. Hal tersebut tentu menjadi pertanyaan besar, jangan-jangan kebanyakan industri kreatif juga berpikir demikian? Lalu jika begitu, untuk apa dibuat SKKNI dan selalu diperbaharui setiap beberapa tahun? Apakah SKKNI hanya dibentuk semata-mata untuk pemanis dan arsip sertifikasi belaka? Hal tersebut bisa juga memang di sengaja oleh pihak industri kreatif untuk tidak dipakai. Mungkin saja pihak industri kreatif takut mengeluarkan upah yang lebih lagi apabila menerapkan SKKNI pada desainer yang ada di perusahaannya, karena tentu bila desainer sudah lolos dari sertifikasi SKKNI, maka otomatis upah yang desainer dapatkan harus sepadan dengan banyaknya poin kompetensi yang dipenuhi pada SKKNI itu. Bagi perusahaan yang sistem keuangannya belum stabil atau masih dikelola secara perseorangan, tentu adanya sistem SKKNI bisa jadi mengancam siklus keuangan, bahkan keberadaan perusahaan yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diambil dua kesimpulan mengapa desainer di Indonesia belum diapresiasi sebagaimana layaknya profesi lain yang ada di Indonesia. Pertama, karena masih banyaknya studio desain yang berskala kecil dan memiliki siklus keuangan yang minim. Hal tersebut kemungkinan diakibatkan oleh sedikitnya permintaan akan desain. Oleh karena sedikitnya permintaan akan desain, maka mengakibatkan siklus keuangan yang dimiliki oleh sebuah studio desain juga terbatas. Minimnya permintaan desain menandakan bahwa desain belum menjadi prioritas yang diperlukan di Indonesia. Jadi, hal tersebut mengakibatkan desainer yang ada di Indonesia belum semuanya mendapatkan apresiasi atau upah yang pantas sebagaimanya profesi lain yang ada.

Kedua, karena belum pahamnya studio desain akan keberadaan dan pentingnya SKKNI. Tidak diketahuinya SKKNI ini masih terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama memang studio desain yang ada belum mengetahui jika SKKNI benar-benar ada. Yang kedua mereka tahu ada SKKNI, namun tidak mengerti fungsi dari SKKNI tersebut. Oleh karena ketidaktahuan akan SKKNI menyebabkan desainer yang ada di Indonesia belum dapat diapresiasi sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.

Fakta-fakta representatif di atas menjelaskan bahwa industri kreatif juga memiliki situasi yang kontra dengan harapan yang diinginkan. Indonesia ingin menggalakkan sebuah industri kreatif untuk lebih aktif lagi. Namun, hal tersebut belum didukung dengan terealisasinya sistem SKKNI yang sebenarnya bisa digunakan untuk membantu perusahaan dalam mengetahui dan menyeleksi kompetensi sumber dayanya. Belum lagi kondisi perusahaan, terutama mengarah pada manajemen keuangannya yang belum berjalan dengan baik. Apabila manajemen keuangan sebuah perusahaan belum baik, maka jangankan mengimplementasikan sertifikasi SKKNI dalam perusahaannya, untuk membayar sumber daya dengan rutin saja masih resah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun