Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Bulan Kemerdekaan RTC] Monolog Cinta Negeri

17 Agustus 2016   01:34 Diperbarui: 18 Agustus 2016   12:37 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku jatuh cinta pada negeri ini. Namun selayaknya makhluk yang jatuh cinta, terus terang, aku belum mampu memberikan apa-apa. Aku hanya meminta, terus merongrong negeri ini. Serupa dahulu, aku hanya menghujat, memaki, bahkan lebih mendewakan negara lain, baik dari segi sosial dan budaya, apalagi ekonominya. Visualisasi mewah negeri-negeri seberang lewat televisi, begitu indah. Tuhan, kini aku menyesal.

Jika kau tahu Katak di bawah tempurung, kurasa sebutan itu pantas disematkan padaku. Hingga kini bahkan, kepada kerabat, aku meminta untuk menamparkan kala aku lupa akan negeri ini. Jika ditanya tahu atau tidak, bukan tak tahu. Namun lebih kepada aku tak peduli dengan budaya di luar kampungku, di daerah yang kuanggap kurang perhatian pemerintah. Tuhan, aku salah lagi.

Benar, saat itu aku bodoh, apabila berkesempatan hidup layak di negera lain, atau menikah dengan lelaki asing, berpikir suatu saat akan melepaskan status Warga Negera Indonesia (WNI). Pikiran tolol itu membuatku terlena hingga aku terlupa. Padahal, dari hasil kekayaan bumi Indonesia, aku dibesarkan hingga kini aku mampu meresapi makna dari tiap sila Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, juga makna Bhinneka Tunggal Ika. Mohon ampun, Tuhan.

*

Kini, aku sangat mencintai negeri ini. Darahku berdesir setiap mendengar lagu-lagu perjuangan, terlebih Indonesia Raya dan memaknai sila-sila Pancasila. Namun ternyata tak semuanya sepertiku. Masih banyak yang ingin merobek Pancasila dan menciderai nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika, juga melarang menghormati Merah Putih.

Tuhan... kadang aku bertanya sendiri, apa yang ada di kepala mereka? Mengapa begitu susahnya bertoleransi? Mengapa tak bisa saling menghormati? Indonesia ini luas, dari Sabang hingga Marauke bersama pulau-pulaunya, bukan hanya selebar daun kelor. Jauh di lubuk hatiku, aku sedih. Aku tak ingin rakyat ini melupakan sejarah, memperkosa bumi pertiwinya, kemudian  menghancurkan dirinya sendiri.

Jika mampu menangis, kurasa para pendiri bangsa meraung-raung melihat anak cucunya melakukan kebodohan. Mereka akan bertanya, "Duhai Putera puteri bangsa, Mengapa sedemikian sulit mencintai negeri yang sudah kami wariskan? Mengapa terlena dengan negeri orang hingga membiarkan budaya negerimu terkikis?"

Aku tahu, cinta terhadap negeri tumpah darahku ini tak sebanding dengan para pendahulu. Mereka bersusah payah merebut kemerdekaan, menjunjung harkat dan martabat bangsa. Maka dari itu Tuhan, komohon, jangan jauhkan aku dari rasa syukur sebab berkebangsaan Indonesia.

*

Sebelum terlambat Tuhan, izinkan aku bermunajat, di usia yang pelan-pelan akan menginjak satu abad, kembalikan rasa memiliki negeri ini kepada kami agar kami tak mudah diprovokasi, sehingga terus berbuat kebodohan. Jadikanlah kami sebagai bangsa kuat, yang mampu menjunjung tinggi sosial dan kebudayaan, Indonesia, hingga seabad setelah merdeka.

Selamat ulang tahun negeriku. Kini aku mencintaimu tanpa pikir-pikir, merawatmu tanpa jeda, membangunmu lewat tiap goresan pena.

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemerdekaan RTC

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun