Saat ini telah memasuki zaman serba digital dimana media sosial bukan hanya sekedar tempat penggunaanya saling berinteraksi. Namun, mereka juga dapat menyebarkan informasi dan opini termasuk mengenai politik. Pengguna media sosial yang hadir dari berbagai kalangan dapat memiliki akses untuk menyuarakan pendapat politik mereka. Termasuk para influencer dengan jumlah pengikut jutaan di platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan X (Twitter).Â
Pengaruh yang mereka berikan terhadap pengikutnya jelas tidak diragukan lagi karena mereka termasuk sosok yang disorot oleh publik. Menjadi perhatian publik memudahkan mereka untuk menyampaikan opini yang sering kali berdampak besar pada persepsi publik terhadap sesuatu khususnya anak muda. Lalu, bagaimana para influencer menggunakan retorika dalam menyampaikan opini politik serta mengapa penting bagi masyarakat untuk bersikap kritis terhadap opini-opini tersebut.
Aristoteles membagi retorika ke dalam tiga bagian. Pertama, adalah ethos yang menekankan kepada kredibilitas pembicara atau dapat dilihat seberapa kompeten pembicara terhadap topik yang dibicarakannya. Kedua, adalah pathos yaitu bagaimana pembicara dapat menyentuh hati audiensnya. Ketiga, adalah logos berkaitan dengan apakah yang dibicarakannya dapat diterima logika atau rasional.Â
Berkaitan dengan teori retorika tersebut, influencer memiliki kelebihan dalam segi ethos karena mereka telah membangun citra baik dan kepercayaan dari pengikutnya sehingga tidak perlu menjadi ahli dalam bidang politik untuk dapat didengar. Kedekatan emosional mereka dengan pengikutnya pun secara tidak langsung sudah terbangun.Â
Salah satu contohnya, ketika seorang influencer mengunggah video yang menyatakan dukungan terhadap calon presiden tertentu atau menanggapi isu politik, mereka mungkin tidak menyertakan analisis kebijakan secara mendalam. Hanya dengan menyampaikan dukungan mereka terhadap presiden tersebut atau program-programnya dengan caption yang menyentuh sudah dapat ikut mempengaruhi pilihan para pengikutnya. Ini adalah salah satu contoh dari penggunaan unsur retorika pathos.Â
Sementara itu, penggunaan logos dapat dilihat dari influencer yang menyertakan fakta-fakta nyata dalam opini politik mereka. Contohnya pada isu kenaikan gaji DPR yang akhir-akhir ini menjadi topik utama publik. Banyak dari influencer yang menyatakan ketidaksetujuan mereka diikuti dengan analisis kritisnya sehingga opini mereka menjadi kuat dan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Â
Namun, bagi masyarakat awam perlu diperhatikan bahwa penggunaan retorika oleh influencer ini dalam menyampaikan opini politik mereka juga terkadang memiliki konsekuensi. Dilihat dari sisi positif, mereka bisa menjadi penghubung antara dunia politik dan generasi muda yang selama ini cenderung tidak terlalu peduli terhadap isu kenegaraan. Mereka juga dapat menyuarakan suara masyarakat  yang tidak terlalu didengar dengan pengaruh mereka yang besar. Tetapi, ketika opini yang disampaikan tidak menyertakan data, cenderung mengandung unsur provokasi, atau bahkan bermotif personal atau komersial, maka dampaknya bisa sangat merugikan terutama dalam hal pembentukan opini publik yang keliru.
Influencer bukanlah pejabat pemerintahan atau jurnalis yang terikat oleh kode etik profesi. Mereka bebas menyuarakan opini apapun yang mereka anggap benar bahkan jika pendapat tersebut tidak sepenuhnya akurat. Opini tersebut dapat berupa dukungan maupun kritik terhadap jalannya proses pemerintahan. Misalnya, dalam beberapa kasus terdapat influencer yang menyebarkan informasi tanpa diikuti dengan data atau fakta yang mendukung namun tetap dianggap kredibel oleh pengikutnya karena citra pribadi mereka yang kuat. Hal ini menunjukkan bagaimana ethos bisa memiliki dua sisi.Â
Selain itu, beberapa pengguna media sosial juga menggunakan pathos secara berlebihan untuk menarik simpati bahkan ketika isu yang dibicarakan sangat kompleks dan membutuhkan penalaran kritis. Mereka bisa menggunakan narasi-narasi dramatis, musik latar emosional, atau bahasa yang menyentuh untuk menggiring opini publik. Ini bukan hal yang sepenuhnya salah, tetapi jika tidak diimbangi dengan logos atau argumen yang logis dan berbasis data maka opini tersebut cenderung bias dan manipulatif. Dalam konteks politik, hal ini berbahaya karena dapat menciptakan kesalahpahaman publik terhadap isu-isu penting.
Disini peran masyarakat khususnya anak muda sebagai pengguna utama media sosial sangat penting. Para pengguna media sosial perlu memahami bahwa tidak semua opini yang dikemas dengan menarik itu valid. Untuk dapat mempercayai suatu informasi, perlu belajar mengidentifikasi apakah seseorang memiliki ethos yang benar-benar relevan dengan topik yang dibicarakan. Masyarakat juga harus bisa membedakan pathos yang manipulatif serta memastikan bahwa logos yang disampaikan berdasar pada data dan logika dapat dipertanggungjawabkan. Edukasi tentang literasi media dan informasi sangat penting agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh opini yang viral tetapi tidak ada landasannya.
Penggunaan retorika oleh influencer dalam menyampaikan opini politik memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk opini publik. Dengan adanya ethos, pathos, dan logos, mereka mampu mempengaruhi opini publik dan pilihan masyarakat terutama generasi muda. Tetapi, pengaruh tersebut dapat dilihat dari sisi positif atau negatif tergantung bagaimana opini itu disampaikan dan bagaimana masyarakat menyikapinya. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengembangkan sikap kritis, tidak mudah terbawa emosi, dan selalu mencari kejelasan informasi sebelum menerima opini politik yang beredar luas di media sosial dan menyebarkannya. Dengan begitu, media sosial bisa menjadi ruang diskusi yang sehat dan jauh dari propaganda yang dikemas dengan retorika menarik.