Beberapa tahun terakhir, kita sering dengar istilah e-government. Pemerintah mulai gencar memanfaatkan teknologi digital untuk berbagai layanan publik --- dari urusan administrasi, pengadaan barang dan jasa, hingga pengelolaan anggaran. Semua ini diklaim sebagai langkah menuju birokrasi yang lebih cepat, transparan, dan bebas korupsi.
Tapi pertanyaannya, apakah benar dengan sistem serba online ini praktik korupsi otomatis hilang? Kenyataannya, tidak sesederhana itu. Teknologi memang mempermudah banyak hal, tapi bukan berarti menutup semua celah kecurangan. Bahkan, di era digital seperti sekarang, korupsi justru bisa bertransformasi menjadi lebih rapi, canggih, dan sulit dideteksi.
E-Government: Harapan Besar Pemerintahan Modern
Konsep e-government awalnya membawa harapan besar. Dengan sistem digital, proses pelayanan publik jadi lebih cepat, tidak ribet, dan bisa dilacak jejaknya. Misalnya lewat sistem e-budgeting, setiap pengeluaran dapat terekam secara jelas sehingga peluang "main belakang" jadi lebih kecil.
Begitu juga dengan e-procurement atau lelang elektronik. Tender proyek dilakukan secara terbuka lewat sistem online. Secara teori, semua ini dirancang untuk mengurangi interaksi tatap muka yang sering menjadi pintu masuk pungli dan suap.
Selain itu, masyarakat juga terbantu. Urusan membuat KTP, membayar pajak, atau mengurus izin tidak perlu antre panjang atau "kenalan dalam" untuk mempercepat proses. Digitalisasi memberi kesan bahwa pemerintahan kita semakin modern dan bersih.
Namun, Korupsi Ikut BerevolusiÂ
Sayangnya, korupsi bukan lawan yang mudah dikalahkan. Ketika sistem berubah, modus pun ikut berubah. Salah satu contoh paling terkenal adalah kasus proyek E-KTP. Proyek digital ini seharusnya menjadi simbol kemajuan sistem identitas nasional. Namun kenyataannya, dana triliunan rupiah dikorupsi lewat pengaturan tender dan penggelembungan anggaran. Teknologi yang mestinya jadi solusi, malah dijadikan ladang basah.
Selain itu, ada juga kasus penyalahgunaan akses sistem oleh oknum internal. Karena tidak semua pegawai memiliki literasi digital yang baik, sistem bisa saja "dimainkan" oleh pihak yang lebih paham teknologi. Misalnya, mengubah data transaksi, menghapus jejak, atau membocorkan data pribadi ke pihak luar.
Modus seperti ini jauh lebih halus dibanding korupsi konvensional. Tidak ada amplop coklat, tidak ada pertemuan rahasia. Semua terjadi lewat kode, sistem, dan celah keamanan.
Kenapa Bisa Terjadi?
SDM belum siap
Banyak instansi pemerintah masih kekurangan orang yang benar-benar paham teknologi. Akibatnya, mereka sangat bergantung pada konsultan atau vendor luar. Kalau pihak luar itu nakal, sistem bisa dimanipulasi dengan mudah.Pengawasan digital belum maksimal
Meski data sudah terekam secara online, pengawasan dan audit digital belum berjalan optimal. Banyak instansi belum memiliki sistem keamanan berlapis atau tim forensik digital yang andal.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!