Mohon tunggu...
Athila Defian Rizkimu
Athila Defian Rizkimu Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

E-Government or E-Corruption? Menelisik Celah di Era Serba Online

5 Oktober 2025   00:30 Diperbarui: 5 Oktober 2025   00:30 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi korupsi digital --- Sumber: Freepik 

Beberapa tahun terakhir, kita sering dengar istilah e-government. Pemerintah mulai gencar memanfaatkan teknologi digital untuk berbagai layanan publik --- dari urusan administrasi, pengadaan barang dan jasa, hingga pengelolaan anggaran. Semua ini diklaim sebagai langkah menuju birokrasi yang lebih cepat, transparan, dan bebas korupsi.

Tapi pertanyaannya, apakah benar dengan sistem serba online ini praktik korupsi otomatis hilang? Kenyataannya, tidak sesederhana itu. Teknologi memang mempermudah banyak hal, tapi bukan berarti menutup semua celah kecurangan. Bahkan, di era digital seperti sekarang, korupsi justru bisa bertransformasi menjadi lebih rapi, canggih, dan sulit dideteksi.

E-Government: Harapan Besar Pemerintahan Modern

Konsep e-government awalnya membawa harapan besar. Dengan sistem digital, proses pelayanan publik jadi lebih cepat, tidak ribet, dan bisa dilacak jejaknya. Misalnya lewat sistem e-budgeting, setiap pengeluaran dapat terekam secara jelas sehingga peluang "main belakang" jadi lebih kecil.

Begitu juga dengan e-procurement atau lelang elektronik. Tender proyek dilakukan secara terbuka lewat sistem online. Secara teori, semua ini dirancang untuk mengurangi interaksi tatap muka yang sering menjadi pintu masuk pungli dan suap.

Selain itu, masyarakat juga terbantu. Urusan membuat KTP, membayar pajak, atau mengurus izin tidak perlu antre panjang atau "kenalan dalam" untuk mempercepat proses. Digitalisasi memberi kesan bahwa pemerintahan kita semakin modern dan bersih.

Namun, Korupsi Ikut Berevolusi 

Sayangnya, korupsi bukan lawan yang mudah dikalahkan. Ketika sistem berubah, modus pun ikut berubah. Salah satu contoh paling terkenal adalah kasus proyek E-KTP. Proyek digital ini seharusnya menjadi simbol kemajuan sistem identitas nasional. Namun kenyataannya, dana triliunan rupiah dikorupsi lewat pengaturan tender dan penggelembungan anggaran. Teknologi yang mestinya jadi solusi, malah dijadikan ladang basah.

Selain itu, ada juga kasus penyalahgunaan akses sistem oleh oknum internal. Karena tidak semua pegawai memiliki literasi digital yang baik, sistem bisa saja "dimainkan" oleh pihak yang lebih paham teknologi. Misalnya, mengubah data transaksi, menghapus jejak, atau membocorkan data pribadi ke pihak luar.

Modus seperti ini jauh lebih halus dibanding korupsi konvensional. Tidak ada amplop coklat, tidak ada pertemuan rahasia. Semua terjadi lewat kode, sistem, dan celah keamanan.

Kenapa Bisa Terjadi?

  • SDM belum siap
    Banyak instansi pemerintah masih kekurangan orang yang benar-benar paham teknologi. Akibatnya, mereka sangat bergantung pada konsultan atau vendor luar. Kalau pihak luar itu nakal, sistem bisa dimanipulasi dengan mudah.

  • Pengawasan digital belum maksimal
    Meski data sudah terekam secara online, pengawasan dan audit digital belum berjalan optimal. Banyak instansi belum memiliki sistem keamanan berlapis atau tim forensik digital yang andal.

  • Aturan belum secepat teknologi
    Dunia teknologi berkembang super cepat, tapi regulasi kita sering tertinggal. Akibatnya, banyak celah hukum yang bisa dimanfaatkan oknum untuk melakukan e-corruption.

Teknologi Bukan Obat Mujarab

Teknologi memang penting, tapi ia bukan obat mujarab untuk semua masalah korupsi. Pada akhirnya, yang paling menentukan adalah integritas manusia yang menggunakannya. E-government bisa menjadi senjata ampuh melawan korupsi, tapi tanpa pengawasan yang kuat, sistem tersebut justru bisa disalahgunakan oleh mereka yang licik.

Pemerintah perlu memperkuat kompetensi SDM, memperbarui regulasi, serta meningkatkan sistem keamanan digital. Pengawasan publik juga harus diperluas --- karena sistem digital tanpa partisipasi masyarakat hanya akan menjadi "pajangan transparansi" belaka.

Era digital memberi kita peluang besar untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Tapi kalau peluang itu disia-siakan, korupsi akan terus beradaptasi dan semakin sulit dilacak. Jadi, kita harus waspada: jangan sampai e-government berubah menjadi e-corruption.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun