Di zaman yang memuja kesibukan dan mendewakan multitasking, kita sering merasa seperti hamster yang berlari kencang di roda tanpa arah. Mungkin kamu juga pernah merasakannya---terjebak dalam daftar to-do yang tak kunjung habis, rapat demi rapat yang membuatmu kehilangan akal sehat, dan tekanan sosial untuk selalu hadir, aktif, dan 'berkontribusi'. Tapi bagaimana kalau ternyata kunci kehidupan yang lebih bermakna justru terletak pada seni... mengabaikan?
Ya, kamu tidak salah baca. Greg McKeown dalam bukunya Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less mengajak kita untuk menempuh jalan berlawanan dari arus besar---bukan melakukan segalanya, melainkan memilih untuk melakukan yang esensial saja, tapi dengan kualitas terbaik. Sebuah gaya hidup yang bisa diringkas dalam tiga kata: Less but better (McKeown, 2014, p. 18).
Realita Brutal: Banyak Lakukan Bukan Berarti Banyak Selesai
McKeown membagikan cerita tentang seorang eksekutif Silicon Valley yang dulu selalu berkata "ya" untuk segala hal---hasilnya? Stres meningkat, kualitas kerja menurun, dan hidup terasa menguap begitu saja. Setelah mencoba saran mentornya---"Lakukan hanya yang akan kamu lakukan kalau kamu adalah konsultan lepas, dan jangan bilang siapa-siapa"---hidupnya berubah. Ia berkata: "Just because I was invited didn't seem a good enough reason to attend" (p. 10). Hasil akhirnya? Ia jadi lebih dihargai, dapat bonus terbesar sepanjang kariernya, dan---ini yang paling menyentuh---"I got back my family life!" (p. 12).
Cerita ini bukan hanya anekdot. Penelitian oleh Stanford University menunjukkan bahwa orang yang mencoba multitasking justru mengalami penurunan performa kognitif. Mereka lebih mudah terdistraksi dan cenderung kurang produktif dibandingkan mereka yang fokus pada satu tugas dalam satu waktu (Ophir, Nass, & Wagner, 2009).
Paradox of Success: Ketika Kesuksesan Jadi Bumerang
Salah satu insight paling mencengangkan dari buku ini adalah "paradoks kesuksesan." Ketika seseorang menjadi sukses, ia menarik lebih banyak peluang. Ironisnya, justru karena terlalu banyak pilihan, fokusnya buyar, dan ia kehilangan arah yang membawanya ke kesuksesan semula. "The effect of our success has been to undermine the very clarity that led to our success in the first place." (McKeown, 2014, p. 19).
Kita terlalu sering terseret ke dalam pola ini karena tekanan sosial yang luar biasa. Dunia digital memperparah keadaan: terlalu banyak pendapat, notifikasi, dan ekspektasi untuk 'selalu ada'. Akibatnya? Kita tidak punya waktu untuk berpikir jernih, apalagi untuk memilih dengan sadar.
Pilihan Adalah Aksi, Bukan Sekadar Opsi
McKeown menekankan bahwa pilihan bukanlah sesuatu yang kita miliki, tapi sesuatu yang kita lakukan. Ia mengutip Madeleine L'Engle: "It is the ability to choose which makes us human." (p. 31). Kita sering lupa bahwa memilih untuk tidak memilih pun adalah sebuah pilihan---yang seringkali mahal harganya.