Ramadan merupakan bulan yang dapat dikatakan sebagai puncak momen untuk spiritualitas seorang hamba. Di bulan ini, Allah menjanjikan pahala yang tidak akan didapatkan di bulan-bulan lainnya, dan adanya satu malam rahasia yang nilainya setara beribadah 1000 bulan. Jika dikonversi ke dalam tahun, 1000 bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan. Masya Allah!
Dapat kita lihat pula, di bulan ini, orang-orang tiba-tiba menjadi disiplin, lebih religius, dan lebih peduli pada kesehatan. Nah, yang jadi pertanyaan, apakah ini merupakan pertumbuhan diri (self growth) yang berkelanjutan, atau semata ilusi produktivitas karena efek momen?
Steel P. dan Knig C. J. dalam "Integrating theories of motivation" (2006), mengenalkan istilah "temporal motivation theory", yang menjelaskan bagaimana motivasi seseorang meningkat ketika ada tenggat waktu atau momen tertentu yang dianggap spesial. Ramadan menjadi momen spesial yang muncul setahun sekali, dan dianggap sebagai awal bagi seseorang untuk mengadakan perubahan bagi dirinya.
Fenomena "Spiritual Glow-Up" yang Temporer
Kita bisa saksikan pola yang sama setiap tahun. Hari pertama puasa adalah saat paling bersemangat: masjid penuh, semua orang mendaras al-Qur'an, tidak bergosip, dan memperbaiki pola makan. Akan tetapi, setelah Lebaran, realitas kembali seperti biasa -- ibadah tak sekencang ketika Ramadan, makan kembali tak terkendali, dan kebiasaan lama dilakukan lagi. Bahkan, menjelang akhir Ramadan, di mana seharusnya ibadah semakin dikencangkan, kita justru terdistraksi oleh persiapan untuk Lebaran.
Menurut riset yang dilakukan oleh Pew Research Center (2017), praktik keagamaan cenderung meningkat selama Ramadan tetapi mengalami penurunan drastis setelahnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah perubahan tersebut benar-benar mencerminkan self-growth, atau hanya kebiasaan sementara akibat atmosfer Ramadan?
Self-Growth yang Dipaksakan: Antara Harapan dan Realitas
Saat Ramadan, tidak bisa dipungkiri kita akan mengalami tekanan sosial untuk "wajib" menjadi lebih baik saat itu juga. Harus lebih sabar, lebih produktif dalam beribadah, lebih dekat dengan Tuhan. Barangkali, bagi yang telah terbiasa berpuasa sunnah, hal itu mudah saja. Tapi bagaimana dengan mereka yang benar-benar dalam keadaan low faith sebelum Ramadan?
Semua tuntutan itu hanya akan membuat mereka lebih mudah mengalami kelelahan secara mental. Ditambah, kurangnya energi saat puasa menambah berat beban mental tersebut.
Baumeister, R. F., Bratslavsky, E., Muraven, M., & Tice, D. M. dalam "Ego depletion: Is the active self a limited resource?" menjelaskan mengenai "ego depletion" dari psikologi sosial, yang menjawab pertanyaan mengapa banyak orang merasa lelah dan akhirnya menyerah pada kebiasaan lama setelah Ramadan. Ketika seseorang memaksa diri untuk disiplin dalam waktu singkat tanpa strategi keberlanjutan, hasilnya sering kali tidak bertahan lama.
Ramadan sebagai "Sprint", Bukan "Marathon"