Di tengah ambisi besar Indonesia menuju Net Zero Emission 2060 dan janji-janji pembangunan berkelanjutan, sebuah bayang-bayang gelap terus menghantui: korupsi di bidang lingkungan. Ironisnya, di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini, praktik 'eco-greed' atau kerakusan ekologis, yang diselimuti oleh intrik birokrasi dan jaringan bawah tanah, justru menjadi racun mematikan bagi paru-paru Nusantara.
Laporan terbaru dari koalisi masyarakat sipil "Aksara Hijau" mengungkap data mencengangkan. Sejak awal dekade ini, tercatat lebih dari 300 kasus dugaan korupsi yang secara langsung berkaitan dengan perizinan lingkungan, alih fungsi lahan ilegal, dan penggelapan dana rehabilitasi hutan. Angka ini melonjak 40% dibandingkan lima tahun sebelumnya, menunjukkan peningkatan intensitas eksploitasi berkedok pembangunan. "Ini bukan lagi sekadar kasus per kasus, ini adalah sindikat sistematis yang memanfaatkan celah hukum dan kelemahan pengawasan untuk meraup untung dari kehancuran alam kita," ujar Maya Lestari, Koordinator Aksara Hijau, dalam konferensi pers virtual kemarin.
Salah satu modus operandi yang paling mengkhawatirkan adalah manipulasi izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sumber internal yang tidak ingin disebut namanya mengungkapkan, banyak AMDAL 'bodong' atau yang prosesnya dipercepat secara tidak wajar, beredar layaknya komoditas. "Ada tarifnya. Semakin besar proyek dan semakin berisiko dampaknya, semakin tinggi 'biaya pelicin' untuk mendapatkan persetujuan instan," bisik sumber tersebut. Akibatnya, pembangunan pabrik di daerah resapan air atau pembukaan tambang di hutan lindung, yang secara teori mustahil mendapat izin, kini menjadi kenyataan pahit yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Kasus lain yang mencuat adalah penggelapan dana mitigasi dan rehabilitasi lingkungan. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pemulihan lahan gambut, reboisasi, atau penanganan limbah berbahaya, justru lenyap di tengah jalan atau dialihkan untuk kepentingan pribadi. "Kami menemukan indikasi kuat adanya proyek 'penghijauan fiktif' di mana dana besar cair, tapi pohon yang ditanam hanya di atas kertas atau tidak sesuai spesifikasi. Sementara itu, banjir dan kekeringan terus melanda warga," terang Haris Dharmawan, seorang ahli forensik lingkungan independen yang terlibat dalam investigasi.
Fenomena "Hantu Hijau" ini bukan hanya masalah ekologi, tetapi juga keadilan sosial. Masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup bergantung pada hutan dan sungai, menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Mereka kehilangan sumber penghidupan, menghadapi bencana alam yang lebih sering, dan hak-hak mereka diabaikan demi kepentingan segelintir pihak. "Korupsi lingkungan ini adalah kejahatan ganda. Merusak alam dan merampas hak hidup kami," tutur Kepala Adat Suku Rimba di Kalimantan Tengah, melalui sambungan telepon.
Untuk memerangi ancaman ini, diperlukan kolaborasi lintas sektor yang kuat seperti penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, pengawasan publik yang lebih ketat melalui teknologi blockchain untuk transparansi dana lingkungan, serta edukasi berkelanjutan mengenai pentingnya integritas dalam pengelolaan sumber daya alam. Masa depan 'paru-paru dunia' dan kesejahteraan generasi mendatang bergantung pada seberapa cepat dan tegas kita mampu mengusir 'Hantu Hijau' ini dari rimba beton Nusantara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI