Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Beriman, Salah Kaprah

10 November 2020   20:00 Diperbarui: 10 November 2020   20:17 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tidak mungkin!" aku membantah, "Pemerintah Amerika sudah sangat dewasa dalam meluapkan ekspresi dan selebrasi kemenangan. Akan ada konferensi pers yang tertib aturan. Tidak menghalangi kegiatan di tempat umum seperti kemacetan yang terjadi sekarang ini. Publiknya pun datang merayakan dengan membawa misi perubahan yang bernuansa positif."

Demikian protesku terhadap pemikiran liar yang terlintas di kepala. Suara sorak-sorai terdengar dari arah bandara. Aku enggan berdiri ataupun berjalan melihat lebih dekat arak-arakan itu. Yang pasti, aku ingin kemacetan ini segera berlalu. Biarlah mereka yang terlambat dalam penerbangan memperoleh banyak waktu untuk menunggu pesawat berikutnya.

"Hidup! Hidup! Mati! Mati! Hidup! Mati!"

Pekikan antara hidup dan mati membuncah ke udara kotor ibu kota. Aku bingung akan teriakan itu. Siapa yang mati dan siapa yang hidup? Ah, ada-ada saja mereka. Bertahan hidup di jaman ini bukan kembali ke hukum rimba. Demikian juga dalam sikap fanatisme terhadap pemimpin. Kehadiran pemimpin hendaknya mengarahkan pengikutnya pada suatu bentuk Bonum Commune," aku mengkritik dalam hati.

Demikian juga dalam nuansa agama. Saat ini beriman saja tidak cukup. Beriman tanpa akal budi, menyesatan. Hal ini menuntun orang pada kesadaran untuk mendalami bagaimana cara beriman yang benar. Mendengar ajaran saja tidak cukup. Pengajar bisa memberikan ajaran sesat. Perlu penghayatan, tindakan iman dan akal budi.

Mataku terpaku pada gerak kendaraan di jalanan. Namun, logika menarik aku pada pengetahuan akan imanku sendiri. Suasana di depan mata mengantarku pada refleksi iman. Gembala bekerja guna menjaga kawanan domba. Dia tidak bisa menuntun mereka tuk menjauh dari apa yang diharapkan oleh Pemilik Kandang.

Domba yang pintar pasti memiliki insting agar bisa kembali mencari jalan yang benar. Bau gembala yang baik pasti bisa dicium oleh domba yang sehat. Jika domba memiliki insting tuk menemukan gembala yang benar, mengapa manusia yang dianugerahi logika semakin jauh dari kepintaran dan kebijaksanaan.

Gembala tidak selalu salah. Bisa jadi domba terlalu fanatik mencium dan mengikuti bau badan gembala. Insting hanya untuk domba dan kawanannya. Manusia berjalan dalam iman dan akal budi.

"Syukurlah suara macet itu hanya angan-angan yang kebetulan lewat di kepalaku."

Aku mengambil gelas kopi dan mengemasnya dalam ikatan kain serbet. Udara di bawah pohon beringin ini sangat segar. Aku bisa mengembalakan banteng dan domba dengan baik. Kampung halamanku masih jauh dari bangunan-bangunan elit.

Klakson motor, teriakan di jalanan, hinaan di tempat parkir dan pintu masuk membeli karcis, hanyalah suara riuh dedaunan pohon. Pohon apa? Pohon yang tercemar oleh siraman paham radikalisme, konservatisme, eksklusivisme, separatisme dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun