Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Watu Susu Rongga, "Air Susu" Orang Rongga

25 Mei 2019   12:48 Diperbarui: 25 Mei 2019   12:49 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Nurbaiti Abdulah (Grup fb Waelengga Milenial Literasi)

Tindakan merusak bumi adalah sebuah kekeliruan menangkap cinta seorang ibu. Maka, merusak Watu Susu Rongga artinya secara langsung menyayat "buah dada" seorang ibu yang selalu memberi air susu kehidupan. 

Apakah kita rela menyakiti hati seorang ibu yang telah memberikan air susunya? Watu Susu Rongga sekarang ini mengalami duka seorang ibu. Banyak pohon ditebang dan banyak binatang diburu. Jika tindakan ini dilakukan maka harmoni cinta yang dilagukan oleh alam dari suara binatang, pohon, dan bunyi aliran air akan kembali pada malam gelap dan sepi bersama tiga pemuda Rongga yang menggotong dua batu menuju gunung Komba.

Ada ketakutan di masa depan bahwa Watu Susu Rongga tidak akan menjadi "Air Susu" Orang Rongga terutama ketika ada tangan yang merusak bukan merawat dan menjaganya.

Ibu selalu menangis karena perbuatan kita saat ini. Dia takut bahwa air susunya akan kering ketika anak dan cucunya dilahirkan. Demikian juga Watu Susu Rongga akan hilang jika kita sekarang dan saat ini tidak mampu menjaga dan melestarikannya secara bijak. 

Keberadaan Watu Susu Rongga menjadi benteng perkasa yang mampu menangkis arus perkembangan zaman yang semakin pesat agar generasi kita tidak tercerabut dari akar kebudayaan peninggalan nenek moyang.

Semuanya menjadi mungkin jika generasi zaman ini mampu menunjukkan rasa kepemilikan yang besar akan alam ciptaan Tuhan. Kita semua adalah ibu yang akan memberikan "air susu" bagi anak cucu di masa depan.

* Informasi seputar sejarah dan asal-usul dalam tulisan ini adalah hasil wawancara penulis dengan Bapak Blasius Jehamat yang saat ini menjadi staf pengajar di SMP Katolik Wae Mokel, Waelengga, Manggarai Timur. Tulisan ini sudah diterbitkan di Majalah Skolastikat Claretian Yogyakarta, CANDELA, No. 33, Th XXI, Ags-Des 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun